Seorang gadis termangu di sisi pagar pembatas Taman Pelangi senja itu. Angin menerbangkan beberapa anak rambut hingga mengganggu wajah manisnya. Mata gadis itu terpejam menikmati sentuhan setiap hembus angin tanpa peduli rambutnya jadi teracak. Di sisinya berdiri seorang pemuda berambut cepak turut menikmati keindahan senja di puncak bukit Payung Pelangi.
Ya, taman itu terletak di puncak sebuah bukit bernama Payung Pelangi. Dari puncak bukit dapat dinikmati hamparan pemandangan yang memanjakan mata. Saat senja turun seperti ini, area perkotaan jauh di bawah bukit mulai memperlihatkan kecantikannya. Lampu mulai saling berkelip. Debur ombak di sepanjang garis pantai sisi utara kota pun tertangkap pandangan mata. Indah, menenangkan, pun membawa rasa syukur dalam hati.
Namun semua itu tak berlaku bagi seorang gadis manis dengan rambut hitam legam yang terurai hingga siku. Ia justru mulai terisak. Air mata yang ditahannya sekuat tenaga akhirnya luruh. Ia paling lemah menghadapi senja. Ia mengaku kalah saat lembayung mempermainkan skenario kisah silam dalam ingatannya. Sekeras apa pun ia mengubur setiap luka yang ia ciptakan sendiri, sekeras itu pula luka yang tercipta menggerogotinya dari dalam.
"Pulang yuk, Mama pasti udah nungguin kita."
"Sebentar lagi ya Gay, gue masih pengin di sini." Suara parau si gadis menyahut.
"Oke, gue tunggu di mobil ya." Gayuh menepuk pelan pundak Keyra yang masih terisak. Pemuda itu memilih menjauh karena tak sanggup melihat gadis yang amat ia sayangi itu berada pada titik terlemahnya.