Rival

Bentang Pustaka
Chapter #2

Chapter 1: Salah Ngomong

Kata-kata adalah senjata manusia

yang paling berbahaya sebab luka

yang dibuatnya tak akan ada obatnya.

Pak Budi sibuk menceramahi Dipa dan Eda sejak mereka masuk ruang kantornya. Pertama, tindakan mereka berjualan di area sekolah melanggar peraturan. Kedua, barang dagangan mereka melanggar etika pelajar. Ketiga, kegiatan berjualan mereka merusak moral dan disiplin murid-murid sekolah.

“Gara-gara kalian ini, anak-anak jadi nggak disiplin dan malas. ‘Ah, bolos aja, nanti juga bisa beli catatan dari Eda’. ‘Ah, ketinggalan seragam juga nggak apa-apa, nanti bisa sewa dari Dipa’.

“Kalian sekarang berpikir hal-hal seperti masuk kelas, mencatat pelajaran, pakai atribut sekolah itu nggak penting. Tapi, tunggu sampai lima-sepuluh tahun lagi saat kalian bekerja. Boleh, nggak, coba kalau kalian ngantor, lalu bilang, ‘Waduh, Pak, saya malas meeting, nanti pinjam protokolnya aja, ya?’ atau, ‘Waduh, Bu, datanya ketinggalan di rumah. Saya sewa aja, ya?’ Ya mana bisa!”

Dipa hanya diam. Dia tak mencemaskan soal hukuman yang nantinya akan dia hadapi. Dia lebih cemas soal sumber penghasilannya yang kini hilang. Dipa memutar otak, bagaimana cara dia bisa mendapatkan uang tambahan setelah bisnisnya kena razia?

Mungkin dia bisa minta pekerjaan dari Bu Weda, salah satu pedagang kantin yang berjualan siomay Bandung. Ya, anaknya Bu Weda, Sapto, sebentar lagi masuk SMP. Jam sekolahnya akan lebih panjang dan tidak bisa membantu Bu Weda berjualan lagi.

“Dipa!”

Dipa tersentak mendengar namanya dihardik Pak Budi.

“Iya, Pak!”

“Kamu ini kalau orang ngomong didengerin, dong! Malah bengong!” Pak Budi mendengkus kesal.

“Siap, Pak! Maaf, Pak!”

“Saya tadi tanya, kalian berdua kenapa bukannya fokus belajar, malah berjualan di sekolah?”

Dipa menoleh menatap Eda. Sejak tadi, Eda juga hanya diam dan menunduk.

“Saya jawab duluan, Pak?” celetuk Dipa. Matanya melebar dengan pandangan polos.

“Ya, siapa aja terserah! Yang penting jawab.”

“Gimana kalau Eda duluan aja, Pak?” Dipa membuka telapak tangannya dan mengarahkannya kepada Eda, seolah mempersilakan.

Akan tetapi, Eda tetap membisu dengan kepala tertunduk.

“Eda? Kenapa kamu sampai seperti ini?” tanya Pak Budi. “Kamu, kan, murid teladan sejak kelas X. Saya betul-betul kecewa sama kamu.”

Eda masih diam dan tertunduk.

“Nggak mau jawab?” cecar Pak Budi. “Nggak mau ada pembelaan? Pasrah aja dihukum?”

Lihat selengkapnya