Memperebutkan keberuntungan
hanya akan berujung kecewa
sebab setiap manusia sudah memiliki sendiri-sendiri garis hidupnya.
“Udah, belum? Lama amat!” Dipa menggerutu.
Hampir pukul 3.00 sore dan sinar matahari sangat terik menyengat, membuat baju seragam Dipa basah oleh keringat yang sedari tadi tak berhenti mengalir.
Dipa berdiri di depan kios kecil sambil menenteng belanjaan. Ada satu kantong penuh berisi spidol, buku kosong, beberapa lusin pena, beberapa kotak teh, dan sekaleng biskuit.
Ia bersama Eda yang baru saja keluar dari kios kecil dekat tempat Dipa berdiri. Sama seperti Dipa, wajah Eda juga dibasahi oleh peluh. Di tangan Eda ada secarik kertas. Keningnya berkerut. Sudah setengah jam Eda dan Dipa keliling pasar untuk membeli barang belanjaan mereka yang terakhir: satu stoples kopi.
Eda takut kalau belanjaannya salah, Pak Budi malah makin marah. Nanti Pak Budi malah mengadukan Eda ke Mama. Aduh ... mudah-mudahan Pak Budi menepati janjinya.
Bukan karena Eda takut dimarahi Mama, justru sebaliknya. Eda tahu Mama tidak akan marah, tapi Mama akan kecewa. Melihat Mama kecewa itu lebih menyakitkan bagi Eda. Bukan hanya itu, Eda tidak mau menambah beban pikiran Mama. Tidak pada saat seperti ini.
“Kenapa mesti kopi merek itu, sih? Yang lain aja, kenapa?” Dipa masih terus menggerutu.
“Disuruhnya, kan, merek ini, Dip,” balas Eda.
“Aduh ... kopi, mah, semuanya sama aja. Udah, deh, beli aja yang ada.”
“Enak aja! Emang rasanya sama? Beda!”
“Sok tahu lo.”
“Lo yang sok tahu.”
“Lo tahu dari mana? Emangnya lo ngopi?”
“Nyokap gue koki, menurut lo?”
Balasan Eda membuat Dipa mengunci mulutnya. Dipa hanya mengangkat bahu.
Dia mengekor di belakang Eda, yang masih pantang menyerah mencari merek kopi seperti yang tertulis di daftar belanjaan mereka.
“Coba gue tanya ke toko itu.” Eda menuding sebuah toko sembako yang ada di ujung jalan.
Dipa mengerang. “Udah, ya? Itu yang terakhir, ya? Kalo nggak ada juga, beli aja yang ada, deh. Kita ini udah ada di penghujung pasar, lho.”
“Iya, iya. Tanya dulu. Lo tunggu di bawah pohon itu aja, tuh, adem.”
“Bukan masalah panasnya juga. Ini udah jam berapa? Belum balik ke sekolah, terus nyikat WC,” dumel Dipa.
“Kenapa, sih, buru-buru banget? Emangnya lo ada urusan?”
“Pokoknya gue harus udah balik dan duduk manis di panti jam 7.00 malam.”
“Dip, ini bahkan belum jam 3.00 sore. Tenang aja, deh.”
Dipa menggumam tak jelas. Alih-alih menunggu di bawah pohon seperti yang disarankan Eda, dia malah mengikuti langkah Eda masuk toko kelontong.
“Permisi, Mas. Jual Kopi Cap Talang, nggak?” tanya Eda.
“Talang? Nggak ada, Neng,” jawab pelayan toko. “Talang di mana-mana lagi kosong! Susah dapet barangnya.”
“Oh ...,” sahut Eda kecewa. Eda menatap Dipa. “Jadi gimana, nih?”
“Udah, beli aja yang ada. Tuh, tuh. Itu kopi apa, tuh? Banyak stoknya,” Dipa menunjuk tumpukan stoples kopi dengan hiasan-hiasan cerah di dekat pintu masuk toko.
“Itu Kopi Cap Badak, Dik. Enak juga. Malah lebih laku itu daripada Kopi Cap Talang,” celetuk pelayan toko.