Riwayat Al-Arada

Vitri Dwi Mantik
Chapter #2

Bab 2 - Khatam Yang Ke-3 Kali

Bismillahi Rahmani Rahim…

Suara Hammadi mengisi seluruh ruang Masjid Al-Arada. Bening seperti embun yang membasahi dedaunan di kebun-kebun dan sawah-sawah Kampung Pasantren setiap pagi. Menyejukkan seperti semilir udara yang mengusap keringat para pekebun dan petani. Dan kuat seperti batuan Tampomas yang tak terguncang atau pun mengeluarkan api lagi. Dari suaranya yang bersih, dan lafal yang jelas, tampak sekali, bahwa ia memiliki penguasaan diri yang baik. Setiap orang bisa merasakan karomah, yaitu kehormatan dan kemuliaan akhlak yang baik pada dirinya, sebuah hidayah dari Allah.

Hammadi menghirup nafas lewat hidungnya yang mancung. Lalu perlahan-lahan melantunkan Surat Ad-Dhuha dengan tenang seperti mata air untuk berwudhu di kebun samping Masjid Al-Arada, yang tak surut direguk kawanan burung pipit, bahkan ikut terbang menguap oleh matahari. Meninggi, melayang, bergeming menjadi awan, hingga runtuh kembali ke bumi dalam kepasrahan.

“Waḍ-ḍuḥā… Wal-laili iżā sajā… Mā wadda‘aka rabbuka wa mā qalā… Wa lal-ākhiratu khairul laka minal-ūlā… Wa lasaufa yu‘ṭīka rabbuka fa tarḍā… Alam yajidka yatīman fa āwā…”

Kyai Ahmad menghayati bacaannya, seakan huruf-huruf Arab yang terangkai dengan indah itu bergulir dari kepalanya yang telah mengkhatamkan Al-Qur’an belasan kali. Walau begitu, ia selalu merasa bahwa Hammadi adalah pengantar energi positif dalam hidupnya. Ia menganggap Hammadi sebagai cucunya, bukan hanya anak muridnya. Khotimin yang sudah pernah dua kali mengkhatamkan Al-Qur’an di bawah bimbingannya itu, akhirnya menuntaskan Surat pertama dari 22 Surat yang harus diselesaikannya dalam acara khataman ini. 

“Wa wa jadaka ḍāllan fa hadā… Wa wa jadaka ‘ā'ilan fa agnā… Fa ammal-yatīma falā taqhar… Wa ammas-sā'ila falā tanhar… Wa ammā bini‘mati rabbika fa ḥaddiṡ.”

Sejak mensujudkan kepala dalam shalat Dhuha setengah jam yang lalu, tak ada yang lebih mengisi kepala sang Kyai dengan pencerahan selain dari tilawah Surah Insyirah yang kemudian melantun dengan merdu.

Hari ini, empat puluh sembilan orang murid yang secara khusus bergamis putih dan peci dengan warna yang sama, seperti menyerap apa yang mereka pelajari tiga kali lipat lebih jelas dari hari sebelumnya. Dul membuka peci, menutupkannya ke wajahnya, untuk menyembunyikan air mata, saat delapan ayat tersebut dilanjutkan dengan delapan ayat Surat Al-Alaq. Anak-anak itu mulai mengalami transendensi. Kepala mereka mengangguk-angguk, badan mereka berguncang halus, seiring dengan bacaan wahyu Allah yang pertama diturunkan kepada Sang Nabi.

Alit mencopot peci dari kepalanya sendiri, memasangkannya ke kepala Abdullah alias Dul sambil menahan tawa. Bahu anak-anak itu makin berguncang menahan tawa. Termasuk Dul sendiri.

Kyai Ahmad memberi kode tenang dengan mengacungkan telunjuknya di depan mulut. 

Sementara itu di luar masjid, Ahita duduk memainkan dua boneka. Boneka itu dua-duanya berambut pirang, akan tetapi, ia mendapatkannya dalam keadaan berkerudung dari Mukhlisah, istri Kyai Ahmad, yang dipanggil dengan nama akrab Ma Lis. Ahita menamai boneka itu Bibi dan Beby. Bibi berkerudung ungu, sementara Beby berkerudung merah. Kedua kain kerudung itu didapat dari sisa-sisa kemeja ungu dan rok merah yang dijahitkan Ma Lis untuknya. 

Dari mulut Ahita yang agak belepotan kalau ngomong itu, sebuah percakapan monolog terjadi, diperagakan oleh Bibi dan Beby. Ahita masih belum bisa melafalkan huruf F dan V dengan tepat, dan kadang tertukar dengan huruf P.

“Demi waktu dhuha,” katanya seperti berpuisi sambil menggoyangkan Bibi. “Dan demi malam apabila telah sunyi.”

“Kenapa dhuha?” Beby menggoyangkan kepalanya.

Bibi mendoyongkan kepala. “Karena itu adalah waktu, jam sepuluh pagi, yang menandakan usia dini,” katanya.

“Tapi, Bibi…?”

“Apa, Beby?”

“Bukankah dini itu jam 5 pagi?”

“Itu dini hari, dhuha adalah ukuran waktu, ketika matahari naik sepenggalah.”

“Apa yang terjadi di kedua waktu tersebut?”

“Nikmat dari Allah. Cahaya yang masih terang dan menyehatkan jiwa dan raga pada waktu dhuha itu menandakan bahwa Tuhan tidak meninggalkanmu. Namun, walaupun cahaya tenggelam dimakan waktu, Tuhan tidak pula membencimu. Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan.”

Lihat selengkapnya