Riwayat Al-Arada

Vitri Dwi Mantik
Chapter #1

Bab 1 - Saksi Allah dan Kejadian Semesta

​​Gunung Tampomas berdiri seperti dinding yang menopang langit dengan tangguh, puncaknya kokoh tak tergoyahkan. Penduduk di Kecamatan Cimalaka boleh merasa aman dan tenteram, merasa dipeluk oleh tangan semesta yang melindungi. Sampai saat ini, BMKG tidak pernah menemukan tanda-tanda keaktifan di gunung merapi tersebut. Penduduk bahkan lupa, kapan terakhir ia memuntahkan api. 

Dari Kampung Pasantren, gunung setinggi 1684 meter di atas permukaan laut itu terlihat jelas tidak memiliki kaldera. Puncaknya runcing, seperti ujung pensil yang baru diserut, siap mencatat kejadian manusia yang berkembang biak dengan cepat. Ibarat semut hitam dalam hikayat Nabi Sulaiman, mereka merambahi dan menduduki kaki-kakinya.

Sore itu selepas sholat jama’ah Ashar, di teras depan Kelas 3 Pesantren Al-Arada yang menghadap ke utara, lima puluh orang santri berusia rata-rata 7 sampai 13 tahun duduk setengah melingkari Kyai Ahmad Maulana Al-Hafiz. Guru mengaji yang sudah pergi berhaji sebanyak tujuh kali itu, mengenakan gamis dan peci serba putih. Sejatinya, ia adalah titisan Prabu Guru Aji Putih, Raja Sumedang Pertama, yang kehidupannya terlihat oleh leluhur dan diangkat ke dalam Sasakala Gunung Tampomas. Yaitu orang suci yang menghidupkan pusat ilmu kebatinan, dikenal dengan nama Medang Kahiyangan. 

Dari pandangan mata elang, bentuk bangunan Pondok Pesantren Al-Arada sangat mirip dengan huruf J dengan titik atas di arah utara. Akan tetapi, semua murid sependapat dengan Kyai Ahmad, bahwa dengan tiang bendera di tengah lapangan upacara, huruf itu lebih mirip huruf Lam, atau L dalam Arabik. Semua orang sangat bangga dengan state of art dari arsitektur bangunan Pesantren yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini. 

Di ujung atasnya adalah rumah Kyai, kemudian Asrama Santri lalu Ruang Guru dan Ruang Tata Usaha. Ada pun Asrama Santri itu berupa sepuluh kobong berukuran kecil yang masing-masing diisi dengan dua ranjang susun dan sebuah 1-person bed biasa. 

Di sisi selatannya adalah enam kelas yang terbagi ke dalam dua lantai. Setiap kelasnya bisa diisi oleh 20 sampai 25 orang murid. Dari 135 orang santri yang bersekolah di Madrasah Diniyah Ula ini, hanya 50 orang saja yang bisa menjadi santri mukim, 85 orang santri lainnya adalah santriwan dan santriwati kalong, yaitu santri yang tidak mondok di Asrama Santri. 

Dengan bangunan paling megah menghiasi sisi baratnya, Masjid Al-Arada yang dicat serba putih itu halaman samping kanannya dirimbuni pohon-pohon mangga arumanis yang rindang. Dari sebuah gundukan kecil di tengah kebun itu memancar mata air jernih yang dipergunakan sebagai air wudhu. Sebuah jalan setapak ditata dengan rapi dengan batu-batu lempeng di atas bebatuan kerikil, melingkari kolam air yang menampung mata air jernih yang melimpah. Jalanan setapak itu selalu basah setiap hari tersiram oleh tetesan air wudhu jama’ah masjid yang tak jarang mengulang wudhu mereka, hanya demi merasakan kesejukannya. Dengan air yang melimpah itu, santri mukim bergiliran menyirami lapangan olah raga setiap pagi. Sehingga nuansa dan aura di Pesantren itu terasa resik, dan memberi semangat untuk memulai hari.

Kyai Ahmad mengacungkan telunjuknya ke puncak Gunung Tampomas. Melalui lapangan upacara yang juga dipakai untuk kegiatan olahraga badminton itu, semua pandangan para santri melayang ke arah yang ditunjuk. “Coba kalian tebak, kapan Gunung Tampomas terakhir memuntahkan laharnya?” tanya Kyai Ahmad.

Tidak ada yang mengacungkan tangan. Semuanya menggeleng. 

“Itu tidak salah.”

“Lho, kok tidak salah, Kyai?” tanya santri di sisi kanan yang bernama Abdullah. 

“Kalau kita jujur mengaku tidak tahu, itu bukan sesuatu yang buruk. Karena itu jawaban yang jujur, maka saya tidak menyalahkannya.”

Semua santri alih-alih malah mesem, tak tahu apakah mereka harus merasa senang atau malu.

“Jadi, jawabannya apa, Kyai?” tanya Dul lagi. 

“Coba kalian jawab sendiri dulu. Ayo, siapa yang bisa?” Kyai menolak untuk menyerahkan jawaban begitu saja.

Muhammad Abdullah, santri berusia 13 tahun yang duduk tepat di sebelah kiri Kyai, dipanggil dengan nama akrab Hammadi, tangannya setengah teracung. Tapi wajahnya yang rupawan menampakkan kepercayaan diri yang kuat, seakan ia mantap dengan jawabannya. Hanya saja, perhatiannya saat itu beralih kepada seorang anak perempuan dekil duduk mengapit dua buah boneka berjilbab di bibir teras, yang menjadi ujung gang antara kelas dengan asrama. Dia adalah Anahita, anak tukang masak beragama Hindu yang sopan dan baik hati. Mereka memanggilnya Ana. Tapi Sukmayati, ibunya memanggilnya dengan nama kesayangannya, Ahita.

“Kenapa kamu tidak coba jawab, Dul?” kata Kyai Ahmad pada Abdullah yang dipanggil dengan Dul. 

Dul menyebutkan jawabannya. “Tahun masuknya Islam ke Indonesia?”

“Tahun berapa tepatnya Islam masuk ke Indonesia?”

“Tahun 1650?” jawab Dul, lebih berupa pertanyaan, meminta kepastian.

“Belanda saja sudah masuk pada masa itu. Lebih lama lagi, ayo!” tantang Kyai.

“Tahun Gajah,” kata Khalid Khawalid, santri paling badung, yang lebih senang dipanggil Alit, sebab dia anak bungsu di keluarganya itu. 

Mendengar celetukan usil Alit yang khas, ketiga puluh santri tertawa cekikikan menutup mulut mereka. Termasuk Ahita, ia menggoyangkan Bibi dan Beby, dua bonekanya ikut cekikikan.

“Yang bener, atuh… Sok, tahun berapa? Siapa yang tahu?”

Taluk, deh Kyai,” kata Dul menyatakan takluk.

Lihat selengkapnya