~~~***~~~
Aku deg-degan! Baru kali ini aku bertingkah bodoh. Aku lupa kalau hari ini adalah jadwalnya pemilu Ketua OSIS sekaligus pengumuman pengurus OSIS-MPK periode baru. Gara-gara aku terlalu fokus pada adik di rumah sakit aku malah jadi lupa kalau hari ini harusnya pakai seragam batik! Bodoh! Kenapa juga aku lupa dan malah pakai baju putih abu? Masih mending kalau cuma lupa dan malah-malah pakai baju yang tidak ada atributnya. Itu kan bisa ditutupi sama rambut. Tapi ini? Baju putihkan kelihatan beda sendiri.
Kegugupanku masih terasa saat para calon pengurus digiring ke aula. Setelah aku duduk di bangku paling belakang dan meyakinkan diriku untuk pesimis diterima—agar tidak frustasi jika itu terjadi, tibalah lima calon Ketua OSIS yang telah melakukan orasi minggu lalu itu berbaris rapi di depan ruangan. Jumlah suara telah ditentukan, tapi kelimanya belum mengetahui siapa yang menang.
Ketua umum adalah Kak Alda yang awalnya menolak mencalonkan diri menjadi seorang ketua umum.
Awalnya aku bimbang harus memilih siapa, apalagi dulu Rizky memintaku memilih Kak Lingga, saudara jauh dari Rizky yang ternyata terpilih menjadi ketua 2. Tapi, aku dilanda dilema, aku yakin Kak Lingga tidak berniat sama sekali buat jadi ketua umum. Dilihat dari cara dia berorasi dan tingkahnya yang tidak menuntut pujian. Jadilah saat itu aku memilih Kak Riri, kakak kelasku yang merupakan pengurus teater, cewek yang menjawab dengan yakin saat puluhan pertanyaan menyudutkannya ketika orasi di lapangan. Aku tidak memutuskan untuk memilih Kak Dian, kakak kelas yang keliatan main-main, aku juga tidak memilih Kak Roby yang pendiam.
Saat ini, aku cukup puas saat hasil itu dibagi, apalagi setelah aku ditentukan sebagai pengurus di sekbid seni. Tapi, satu yang membuatku keki, karena ternyata aku terpilih menjadi seorang wakil dari Fadil Alit Febrian.
Iya! Fadil yang itu! Fadil yang sering Rizky teriaki! Fadil yang sering Rizky puji-puji!
Kali ini aku semakin deg-degan setelah seluruh pengurus dibariskan di depan. Aku berusaha menahan getar tangan karena bahagia, apalagi saat satu persatu orang mendapat ucapan selamat dari kelas dua belas yang sudah hampir sah melepas jabatan mereka.
Satu persatu pengurus yang mengenalku mengucapkan selamat lebih dari dengan kata. Ada yang menepuk bahu, menampar, sampai ada juga yang tersenyum sambil mencubit pipi tembamku. Aku cukup lega saat tidak ada yang memarahiku, hanya mengingatkanku tentang pakaian putih abu yang aku pakai setelah aku menjelaskan alasannya.
Hingga saat Kak Nata ada di depanku, aku lupa bagaimana aku bisa berdiri, lututku terasa seperti jeli. Sebelum padaku, yaitu pada teman yang lain dia hanya berjabat tangan sambil mengucapkan selamat. Tapi saat denganku, aku tidak sadar bahwa Kak Nata sudah berdiri beberapa saat. Cowok itu menatap mataku kemudian membawa pada salam pertemanan, setelah itu, Kak Nata menepuk pundakku tiga kali. Di kali ketiga tangannya bertengger di pundakku cukup lama. Kak Nata menatapku lekat-lekat sambil berkata, “Selamat ya ... ini amanat. Kamu harus jaga dengan baik. Beban sekarang ada di pundakmu, saya percaya sama kamu. Dan pakaianmu ini ... jangan diulang lagi,” katanya sambil menepuk pundakku lagi.
Aku ingin menangis, apalagi Kak Nata meremas pundakku seakan menyalurkan kekuatan di sana. Sebuah tanggung jawab kini kuemban, sangat haram aku melalaikannya. Getar langsung terasa di tubuh, aku memejamkan mata beberapa saat kemudian tersenyum saat Kak Nata melepas pegangannya. Aku berharap pipi ini tidak merona, aku harap merah itu hanya dari tamparan selamat saja.
Pada saat itu aku baru mengingat lagi bagaimana para panitia penyeleksi pengurus OSIS membentak-bentak calon pengurus selama satu minggu. Aku masih ingat bagaimana Kak Nata yang awalnya selalu senyum, minggu-minggu itu jadi selalu memasang wajah bengisnya. Tapi tingkahnya yang selalu ramah meluluhlantahkan perjuangan Kak Nata untuk menjadi senior sok meraja. Tetap saja akhirnya Kak Nata tersenyum walaupun tipisnya melebihi kripik singgong yang menjadi makanan favorit di kantin sekolah.
Dan saat itu aku mulai berhipotesa alasannya diterima adalah karena ramah dan senyum manis yang luar biasa sampai meluluhkan si Ketua MPK. Gitu kali ya? Aku membenturkan kepala. PD banget aku sama wajah imut yang kumiliki. Aku rasa, mungkin ini ketularan Rizky—atau mungkin pengaruh ekstrakulikuler teater yang mengolahku setiap hari agar percaya diri.
“Nama kamu Nada kan?” tanya Kak Fadil sambil berbalik setelah kendali sadarku kembali.
“Iya, Kak Fadil kan?”
Kak Fadil mengangguk kemudian berseru, “Semoga kita bisa jadi patner yang baik!”
~~~***~~~
Berhari-hari itu aku disibukkan dengan latihan pengukuhan. Berhari-hari itu aku pulang ke rumah sakit untuk menjenguk adik yang belum sepenuhnya sehat. Berhari-hari itu aku tidak bertegur sapa dengan Rizky karena lupa waktu. Berhari-hari itu aku seakan hidup sendiri.