~~~***~~~
“Ternyata dunia ini hanya drama, lalu apa jatuh cinta juga hanya drama hati yang mengelak untuk merasa kesepian di dunia yang ramai ini?
~~Dena Rizky Julianggi~~
~~~***~~~
Sejak hari aku pingsan, Nada sama sekali enggak menjenggukku. Jangankan menjenguk atau bertanya kabarku, menyapa saja enggak. Aku jadi ragu dia masih peduli padaku. Mungkin aja dia udah enggak ingat punya sahabat.
“Aduh!” Tanganku terbentur seseorang yang berlari tidak jelas.
“Maaf-maaf! Teriaknya sambil berlari. Aku memperhatikan orang itu dengan teliti. Hah! Itu Nada. Bisa-bisanya dia nabrak aku tanpa mengucapkan maaf dengan tatap mata sama sekali! Mungkin dia sedang buru-buru, jadi enggak sempat melirikku. Aku harus meminta kejelasan mengenai masalah kami.
Kukejar ke mana Nada berlari pergi. Dia pergi ke lapangan parkir. Jadi sekarang dia bawa motor? Bukannya dia enggak bisa menjalankannya, ya? Jangan berharap motor berkupling, matic saja enggak bisa! Lalu kenapa dia memilih ke tempat ini?
Kulihat Nada menunggu di pintu gerbang, dengan wajah paniknya yang kentara dia harap-harap cemas sambil memperhatikan seseorang yang mengeluarkan motor. Satu yang membuatku heran. Orang itu adalah Kak Fadil. Nada memakai helm yang diberikan Kak Fadil kemudian naik ke boncengan kakak manis itu. Catat, Nada dibonceng Kak Fadil!
Aku jadi ingat obrolan kami beberapa minggu yang lalu—salah satu obrolan penyebab kami ribut.
“Ky ... cowok kaya dia enggak penting juga. Udah ah, tuh lihat ada Kak Lala. Mau bilang enggak soal gabung jurnalistik. Tapi kayanya dia mau pulang deh. Tuh dianya juga sudah gendong tas. Yakin mau sekarang?” tanya Nada setelah melihat Kak Lala berdiri di area parkir.
“Eh! Kak Lala nunggu siapa tuh? Kok malah berdiri aja? Samperin cepet!”
Sejenak aku melupakan rasa marahku dan langsung menarik tangan Nada ke area parkir dimana Kak Lala sedang berdiri. Tapi belum sempat kami mendekat, sebuah motor sudah mendahului berhenti di depan Kak Lala, langkahku terhenti. Kak Lala dibonceng Kak Fadil dan kami baru melihat hal itu pertama kali.
“Ky, kayaknya hubungan mereka enggak cuma temenan. Enggak mungkin juga temenan sedekat itu. Udah deh nyerah aja. Cowok itu masih banyak kali, Ky.”
“Ah! Enggak seru! Lagian kan keduanya belum mendeklarasikan mereka jadian. Masih hak dong aku deketin Kak Fadil. Kamu juga punya kebebasan buat deketin Natamu itu. Aku deketin Kak Fadil, aku saja tidak mengurusi hidupmu. Kamu jangan urusi hidupku. Aku bosan kamu mengaturku tentang Kak Fadil terus! Ada waktunya kamu sadar bahwa aku juga punya hal penting yang enggak bisa dicampurtangani oleh orang lain!” kataku kesal kemudian berlari ke gerbang utama meninggalkan Nada sendirian.
Semenjak hari itu, perang dingin kami dimulai dan berlangsung hingga sekarang.
Nada dibonceng Kak Fadil pastinya ada apa-apa. Mereka pasti akan pergi berdua.
Akhir-akhir ini aku memang tidak melihat Kak Fadil bareng Kak Lala. Mungkin dia berlalih ke Nada. Aku yakin, wajah cemas Nada juga menunjukkan bahwa hubungan mereka tidak boleh diketahui orang-orang.
Aku enggak tahu niat dia seburuk itu. Dia ingin jauhkan aku dengan Kak Fadil dan dia dekati cowok yang sedari dulu kukejar itu. Janjinya waktu itu cuma omong kosong! Aku tahu air mata ini sudah mengalir deras. Tapi kali ini aku tidak bisa menyekanya, aku ingin air mata ini meluluhkan seluruh rasa sakit hatiku.
Nad, aku enggak tahu kamu kaya begini, batinku sambil duduk di kursi taman. Aku terisak di sana sendirian.