Aku enggak percaya Anta bilang begitu di depanku. Awalnya aku enggak ngerti apa yang dia bilang, tapi lama kelamaan aku paham.
Setelah kurenungi, ada yang aku sesalkan dari sore tadi. Bukan karena aku menolaknya. Ini lebih dari itu! Beberapa menit setelah aku mengerti ucapan Anta, aku langsung menamparnya dan pergi begitu aja. Jujur, aku merasa ditipu dengan sikapnya selama ini, tapi aku sadar aku juga enggak kalah enggak sopannya dengan apa yang dia lakukan.
“Rizky! Berisik tahu enggak! Kamu itu dikit-dikit Fadil, dikit-dikit Fadil! Dia terus! Ke sekolah itu niat belajar atau ngecengan anak orang sih?”
“Rizky! Jangan Fadil terus, kerjain tugas matematika kamu!”
Aku juga masih ingat ketika Anta menarik pergelangan tanganku saat aku duduk dengan tenangnya menyaksikan Kak Fadil di lapangan. Dia bilang, “Ayo Rizky, Bu Lia udah mau masuk kelas kamu harus kembali!” katanya sepanjang perjalanan sambil mengomel.
Awalnya, kupikir ... dia hanya sedang memperdalam tugasnya sebagai ketua kelas, atau dia berusaha bertanggung jawab dengan ketertiban kelasnya.
Tahunya .... Anta suka aku.
Aku tidak berfikir sejauh itu.
Dia pasti cemburu pada Kak Fadil gara-gara tingkahku.
Ahhhhh! Aku merasa gila dengan ini semua! Anta bisa-bisanya menembakku di masa kalut gini! Dia benar-benar enggak tahu situasi dan kondisi! Keki! Keki! Keki!
Sepertinya, sebentar lagi aku bisa masuk rumah sakit jiwa, dengan alasan pendukung menjambak rambut dan telungkup di atas kasur sambil menjerit-jerit.
Setelah berguling di atas kasur pink-ku itu aku menatap langit-langit. Jadi gini ya rasanya ditembak cowok? Bingung enggak jelas walaupun cowok itu bukan orang yang disuka. Jadi salah tingkah mau lakuin apa aja. Tunggu, memangnya Anta nembak aku?
Ah! Aku juga enggak enak dengan tamparanku di pipi cowok itu. Jangan-jangan dia marah dan malah mengusirku beneran dari kelasnya? Atau ... paling buruk mungkin aku dilaporkan ke BK dengan alasan kekerasan, kemudian BK memanggil orang tuaku. Pupus sudah pandangan Mamih yang menyangka aku anak baik-baik.
Maaf, aku buat kamu kaget.
Tapi pesan yang muncul di layar ponselku membuat aku terdiam. Enggak patut Anta minta maaf. Harusnya aku yang minta maaf karena sudah menamparnya dengan keras begitu.
Kalau kamu enggak nyaman, anggap aku enggak pernah bilang itu.
Pesan berikutnya membuat aku terdiam. Bisa ya semudah itu Anta bilang ‘lupain aja’?
Jadi, perasaan kagetku, perasaan anehku, dan perasaan yang dia rasa itu harus dilupain aja? Bego Anta! Bego!
~~~***~~~
“Kalian tahu enggak?” tiba-tiba Fiona datang dengan heboh, aku sudah berusaha melupakan masalah kemarin. Jadi, jika hari ini aku bertemu Anta, aku akan lakuin sesuai yang Anta ketik, lupain! Lebih tepatnya pura-pura itu enggak pernah terjadi, seperti hari-hari sebelumnya.
Semua memang berjalan lancar, seperti biasa Anta dan Dimas mengobrol di tempat mereka. Keadaan tidak jauh beda dengan sebelumnya. Aku dan Anta memang jarang bertegur sapa bahkan nyaris tidak pernah. Tapi kali ini aku merasa beda. Aku masih merasa tidak enak dengan tingkahku sore itu. Walau Anta memerintahkan aku melupakan itu, tapi tidak semudah yang dibayangkan dan diharapkan. Karena aku memang melakukan kesalahan.