Rizky & Nada

Andini Lestari
Chapter #12

Cara Berpikir Jernih

~~~***~~~

“Mengapa ketika kumulai memahami bahwa jatuh cinta tidak seburuk itu, Tuhan seakan bilang aku tidak boleh merasakannya?

~~Rizlianada~~

~~~***~~~

Anemia sel sabit, penyakit dari Bunda yang seorang penderita dan ayah yang seorang pembawa gen mungkin adalah penyebab penyakit itu menurun ke adikku. Kata dokter, beberapa minggu terakhir adikku sering merasakan nyeri lambung, nyeri tulang, serta mual-mual. Tapi Melodi menutupinya dari aku dan Ayah karena mengira itu hanya mag akibat telat makan dan mual karena masuk angin. Atau bisa jadi dia sengaja menyembunyikannya karena takut kami mengkhawatirkannya.

Melodi dan aku terlahir dari Bunda dan Ayah yang sama. Kata Ayah, Bunda mempunyai gen sickle cell anemia. Sehingga, kemungkinan penyakit itu menurun ke kami sangat kecil, terlebih tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan itu terjadi. Dan keyakinan itu berakhir di hari dimana dokter mengatakan Melodi mempunyai gen itu, sedangkan aku tidak, ayah baru sadar bahwa dia juga seorang pembawa sifat penyakit itu. Sehingga mungkin ada peluang dimana di antara kami berdua menderita penyakit yang sama dengan Bunda.

Aku merasa gagal jadi kakak. Kenapa Tuhan tidak menakdirkan aku saja yang menderita gen terkutuk itu. Aku tidak bisa menyaksikan adikku sendiri terbaring di sana. Berusaha bertahan sementara waktu nyaris merenggut nyawanya. Kenapa penyakit ini telat terdeteksi? Dari dulu adikku masuk rumah sakit dan ditangani dokter yang katanya pintar, tapi mereka sama sekali tidak bilang. Aku pun tidak punya rasa curiga dengan itu semua.

Aku tidak mengerti, ayah sudah mondar-mandir sejak tadi pagi. dia tidak ke kantor, begitu pun aku langsung ke sini dari sekolah. Setelah pengukuhan itu berlangsung, aku langsung meninggalkan sekolah dibantu Kak Fadil. Kami berusaha mendapat perizinan untuk keluar gerbang dengan membawa kendaraan bermotor di jam pelajaran. Awalnya begitu sulit sampai Kak Fadil menceritakan segalanya pada guru piket.

Aku hanya diam tidak bisa bicara. Aku yakin Ayah meneleponku merupakan hal yang serius. Sesuatu yang tidak mungkin jika Ayah meneleponku agar meninggalkan sekolah untuk main-main. Aku mengerti situasi yang sekarang terjadi.

“Kakak boleh kembali,” kataku begitu kulihat Kak Fadil bosan duduk di kursi tunggu.

“Enggak apa-apa, nanggung.”

Sejak pertemuan kami waktu itu, Kak Fadil sering mengajakku untuk berangkat dan pulang rumah sakit. Dia sudah cerita, ibunya juga dirawat di sana. Sebuat kecelakan kecil membuat kaki bagian bawahnya harus diamputasi. Penyakit diabetes yang diderita adalah alasan kenapa kaki yang menjadi penunjang itu harus hilang.

Singkatnya kaki Ibu Kak fadil tertusuk duri, karena merasa ini hal sepele, beliau tidak peduli sampai infeksi menyerang hampir sebagian telapak kaki. Akhirnya mau tidak mau, jalan pintas yang kurang menyenangkan harus dilakukan jika ingin ibunya ini aman.

Jika aku pikirkan, kenapa Tuhan menakdirkan kami berada di posisi yang hampir sama. Di balik keceriaan yang kami tampilkan, ada kisah suram yang tidak diketahui siapapun. Di balik senyum lebar yang kami tunjukkan, ada rasa sakit yang berusaha tidak terlihat.

Lihat selengkapnya