Rizky & Nada

Andini Lestari
Chapter #13

Verynata Agustian Satja

~~~***~~~

Saya minta maaf telah mengagetkan kamu di podium waktu itu. Saya ke kelasmu tadi di jam istirahat pertama. Teman kamu bilang kamu pergi berdua bersama Fadil. Saya tidak tahu apa yang kalian lakukan, tapi saya harap kalian, lebih tepatnya kamu baik-baik saja.

Pesan itu mengingatkanku sesuatu.

Masalah Melodi membuatku lupa ada beberapa masalah lagi yang harus aku selesaikan. Pengakuan Kak Nata yang mendadak di podium sempat membuatku gelagapan.

Siang itu kelasku tengah ujian seni budaya. Seperti biasa, satu persatu menunjukan bakatnya di podium. Aku, yang notabennya tidak tahu lagu lain selain milik Afgan dan Rosa karena lagu itu sering diputar di kamar Melodi akhirnya menyanyikan itu. Tapi di tengah-tengah penampilan ada suara yang menyeimbangi nadanya denganku. Aku tidak tahu bagaimana Kak Nata sudah ada di podium—mengakhirinya dengan berduet denganku. Saat dia bilang "Saya suka kamu Nada." Aku menggeleng tidak percaya dengan apa yang terjadi sampai Kak Nata turun podium dan pergi. Itu saja.

Awalnya aku biasa saja, tapi teman-temanku mengatakan itu luar biasa dan patut dibanggakan. Terlebih Jo, cowok itu langsung menepuk dadanya dengan kepalan tangan sambil bercanda, “Aku cemburu!” katanya dengan nada didramatisir. Aku hanya menggeleng sambil tertawa.

Aku tidak menyangka kejadian itu menjadi berita sensasional yang akhirnya masuk majalah St dengan judul, APAKAH MANTAN KETUA MPK BENAR JATUH CINTA? Dengan fount Harington dan bold yang menghiasinya, berita itu ramai setelah majalah naik cetak, lebih tepatnya hari ini.

Aku menatap majalah terbaru itu dengan gamang, seterusnya aku melirik ponselku yang terus bergetar.

Tidak apa-apa Kak. Saya minta maaf dengan apa yang saya lakukan. Saya baik-baik saja.

Selanjutnya aku menemukan sebuah buku di dekat brankar permanen yang Melodi tiduri, kusimpan buku itu di rak kecil di sampingnya.

Setelah kritis tadi, malam ini keadaan Melodi membaik. Tebak, apa yang dilakukan ayah setelah aku mengatakan itu, beliuau langsung memutar tubuhku dan menyuruhku berbalik untuk wudhu. Aku menurutinya dan itu membuatku lebih baik. Walaupun aku tetap kukuh pendirian dengan keputusanku itu.

Bukan secara sengaja aku tahu majalah yang beredar di sekolah walau aku tidak datang ke sana. Hanin, yang merupakan teman sebangku, kuminta untuk datang dan mengantarkan sebagian buku dari loker yang kutinggalkan—buku itu merupakan buku PR hari besok. Dan selain datang membawa buku, dia juga datang dengan majalah itu. Di sana, wajahku benar-benar buruk untuk di lihat. Terkejut, bingung, sekaligus ada binar bahagia di mata sana.

Tunggu ... kok ekspresiku bisa seburuk ini? Apa benar aku menyukai Kak Nata? Ya Tuhan, aku bingung!

Setelah tahu alasanku tidak masuk dan mengapa dia harus mengantar semua buku itu ke rumah sakit, Hanin menampakkan wajah simpatinya padaku kemudian menepuk bahuku pelan. Dia mungkin sedang menguatkan aku dan menyalurkan kekuatan.

Aku memang tidak menceritakan mengenai adik yang masuk rumah sakit padanya atau pun teman sekelas yang lain. Selain datang ke sekolah dan sibuk di sana-sini, aku juga enggak mau jika mereka menatapku dengan wajah kasihan seolah aku terlantar. Aku paling anti untuk dikasihani.

“Nad ... kayanya kelas kesepian enggak ada kamu.” Hanin memulai, dia berbalik setelah menatap adikku dengan kasihan.

“Apa deh? Lebay, biasanya aku tidak gabung bareng kalian juga. Aku kan suka asik dan sibuk sendiri,” elakku.

“Enggak! Aku enggak boong, serius! Tadi anak-anak pada diem pas baca majalah itu, apalagi Jo bilang, ‘Yah ... Nadanya enggak ada padahal fotonya bagus nih buat di-bully!’ gitu katanya!”

Sial! Sedetik kemudian Hanin tertawa diriingin wajah kecutku. Biarlah dia tertawa sampai perut sakit, baru tahu rasa.

“Senyum dong Nad, ah enggak seru! Kamu harus tersenyum! Adek kamu kan udah sadar, kamu harus buktiin bahwa kamu enggak ngerasa dikecewain. Hibur dia Nad, kamu ih!”

Aku memaksakan diri tersenyum setelah mengangkat kacamata, “Puas?”

“Setidaknya itu lebih baik,” jedanya, “eum ... Nad, aku mau ngomong, penting.”

“Itu ngomong, cepet deh tidak usah pakai pengantar!”

“Hehehe, kalau galakmu sudah keluar, aku yakin perasaanmu sudah membaik,” katanya lalu nyengir setelah melihat aku melotot. “Jadi gini, enggak sengaja juga sih ya, jangan bilang aku enggak sopan! Jangan motong! Dan jangan teriak!”

Lihat selengkapnya