~~~***~~~
“Kamu terlalu indah untuk dikatakan sebagai penyebabku jatuh cinta, kamu lebih istimewa dari sekadar ‘jatuh’. Kalau memang benar, bukankah kamu telah membuatku membangun cinta setelah berkali-kali pertahanan itu runtuh?
~~Dena Rizky Julianggi~~
~~~***~~~
“Makasih, Ta,” kataku setelah turun dari motornya. Anta mengangguk dengan lembut di hadapanku.
“Aku ke sekolah ya, jangan nangis lagi.”
Hari ini aku memilih izin pulang. Anta yang tahu keadaanku memilih untuk meminta izin pada guru piket atas nama PMR untuk mengantar yang sakit. Cukup mudah guru yang sedang piket itu mengizinkannya. Walaupun aku yakin beliau sedikit curiga.
“Hati-hati, Ta.” Aku melambaikan tangan padanya yang sudah mulai menjauh, tapi tiba-tiba dia memutar arah dan kembali ke hadapanku. “Ada apa?”
“Ky, sore ini kamu enggak ada acara kan? Bisa tidak kamu temani aku jalan?”
Setelah mencerna ucapan itu beberapa menit aku masih terdiam, “Jalan ... ya?”
“Maksudku jalan dalam makna denotasi jalan.”
“Ouh, hehe ... aku salah ya?”
“Cuma kurang tepat, jadi gimana?”
Aku mengangguk, kurasakan ada hawa panas di pipiku, jangan Ya Tuhan ... jangan memerah!
“Ya udah, aku pergi,” kata Anta yang kemudian berlalu. Aku pun berbalik lantas membuka gerbang rumah. Menunggu Anta, aku harus tidur dulu. Aku kembali ranjang yang empuk.
Setengah jam kemudian aku masih belum tertidur, aku sibuk menggeser layar ponsel hanya untuk memperhatikan lnstagram Kak Fadil. Sejak dia jarang terlihat, sejak itu pula semua sosial medianya hilang entah ke mana. Bosan, aku beralih ke akun Lineku, chat yang paling terakhir adalah dari Nada. Seketika itu rasa sebalku muncul, kubanting ponsel itu ke dinding. Masa bodoh benda pipih itu hancur. Aku sama sekali tidak mau membaca namanya.
“ARGHHH!”
Aku menyembunyikan kepalaku di balik bantal. Ingin sekali aku menghilangkan semua memori bersama cewek tidak tahu diri itu. Ingin sekali aku menghapus dia dari hidupku.
Tanpa sengaja aku melihat benda-benda pemberiannya. Kubanting semua itu. Tiada guna aku menyimpannya. Buat apa kamera yang dia kasih tiga tahun yang lalu itu kusimpan. Untuk kenangan dan memori katanya? Itu cuma buat aku enggak bisa lupa bahwa aku punya sahabat yang telah berhianat!
Oh, tolong! Aku tidak akan memanggilnya sebagai sahabat lagi.
~~~***~~~
Sial! Sial! Sial!
Setelah menangis terus-terusan aku tertidur beberapa menit kemudian. Begitu bangun aku mendapati kamarku acak-acakan melebihi terkena tsunami. Tisu berserakan di mana-mana, barang-barang berceceran banyak yang pecah. Bahkan aku enggak sempat merapikannya karena Anta tiba-tiba sudah menunggu di ruang tamu. Mamih menyuruhku bangun dan katanya aku harus segera berganti baju. Dia sempat mengomel dengan keadaan kacauku sekaligus kamarku ini. Kalau aku tidak merapikannya saat pulang nanti, uang jajanku akan dipotong, terlebih Mamih tahu HP-ku itu hancur. Sadis!
“MAAF TELAT!” teriakku sembari menuruni tangga.
Aku bukan tipikal anak yang akan kebingungan untuk menemukan baju. Semua pakaianku modis dan sangat pantas jika aku pakai. Jika aku bosan maka aku akan memberikannya pada keponakanku yang selalu malas membeli baju, toh pakaiannya masih bagus.
Aku tidak memakai dress seperti cewek kebanyakan. Aku lebih senang mengenakan celana jeans selutut, kali ini kupasangkan dengan sweater abu bergambar kucing. Aku memang begitu senang dengan mamalia itu. Hanya saja mamih tidak memperbolehkan aku memeliharanya di rumah karena papih yang alergi bulu kucing. Sedih sekali.
“Emang suka banget sama kucing ya?” Anta menatapku dengan senyum geli dari sofa ruang tamu. Aku segera berlari ke pintu.
“Ayo!”
“Enggak sabar buat jalan apa gimana?”
Aku hanya menggeleng saat Anta tetap mengikuti di belakangku untuk berjalan ke gerbang. “Mamih kamu bilang aku enggak boleh bawa kamu main lebih dari jam enam sore, katanya juga jangan dibawa berduaan doang ke tempat sepi ... dan pesan terakhir buat aku geli.” katanya sambil terkekeh. “Jangan kelamaan pacaran,” lanjutnya.
Aku hanya memasang wajah datar, “Jangan dianggap, Mamihku emang gitu.”
“Jadi sekarang kita pacaran? Mamihmu setuju tuh!”
“Pacaran aja sana sama Mamihku.”