~~~***~~~
“Saya sudah tahu kamu punya masalah, tapi saya menunggu kamu menceritakannya. Saya tidak mengerti walaupun Alda sudah memberikan gambaran untuk terbuka sama ketua kalian. Kamu itu tidak memberi tahu apa-apa terhadap saya, padahal kita sudah jadi ketua dan wakil, bisa dibilang kita sudah menjadi adik dan kakak. Tapi sepertinya kamu masih menganggap saya asing.”
Hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis, Nada menunduk di depan kursi tunggu rumah sakit. Melodi boleh pulang. Masalah bagian ini sudah selesai. Tapi ada satu masalah Nada yang dia tidak sadari. Bukan Melodi, bukan Rizky, tapi tentang dirinya sendiri.
“Jangan kira saya tidak tahu mengenai kamu dengan Kak Nata, tapi saya pinta ... kamu ingat, ini organisasi. Ya, meskipun setengah tahun lagi Kak Nata keluar, tetap saja ini tidak akan sesuai dengan yang diinginkan. Kalaupun mau, pendapat saya, tidak mengijinkan ataupun melarang. Itu tergantung kamu dalam membuat keputusan. Tapi Nad, menurut saya, cinta dalam organisasi itu enggak baik.”
Nada mengangkat kepala, diperhatikannya Fadil yang sedang menatapnya dalam. Nada menggigit bibir bawahnya. “Kak Nata dan saya tidak ada apa-apa. Bukannya cinta dalam organisasi itu terjadi antara Kakak dan Ka Lala?”
“Saya yang buat majalah tentang kamu dan Kak Nata. Saya tahu hubungan kalian. Mengenai lala kamu salah paham, kami tidak pernah ada hubungan, dari mana kamu tahu berita seperti itu?”
Nada terdiam kemudian menggeleng dengan cepat. “Kami enggak punya hubungan apa-apa. Kemarin itu Kak Nata iseng.”
Cowok itu mendengus, “Iseng, ya?”
“Hah?”
“Dia menitipkan sebuah puisi untuk dipajang di majalah minggu depan pada saya. Apa kamu mau baca?”
Sebelum rasa penasarannya muncul, Nada lebih dulu menggeleng. Dia segera berdiri dan berkata dengan santun, tapi tetap saja gugupnya itu terlihat.
“Saya mau menemui Melodi dulu, permisi.”
Nada mengindar, dan Fadil sadar, sehingga tangan cewek itu dicekal Fadil sebelum dia melangkah. “Dan juga, bilang sama sahabat kamu, jangan berharap sama saya. Saya tidak ada rasa sama sekali padanya. Dan katakan, kita berdua, tidak ada apa-apa.”
Sempat Nada bingung dengan ucapan Fadil ini. Memang aneh, Fadil jago dalam bertingkah tergantung situasi. Dia bisa kekanak-kanakan dari usianya, tapi dapat lebih dewasa dibandingkan siapa saja teman yang dikenalnya. Wajar Rizky menyukai Kak Fadil, dia begitu berkharisma dengan apa yang dia punya. Tapi sayang, dia harus menyampaikan kabar buruk ini padanya.
Fadil tidak menyukai Rizky, tidak sama sekali.
“Akan saya katakan Kak, tapi ... kenapa saya harus jelaskan hubungan kita? Kita kan cuma adik dan Kakak?” Nada bertanya heran, beberapa detik kemudian pertanyaan itu terarah pada sebuah jawaban yang awalnya memang membingungkan.
Rizky menganggapnya penghianat karena dia dekat dengan Fadil.
“Saya rasa perkiraan Rizky mengenai hubungan kita, sama seperti perkiraan kamu mengenai hubungan saya dengan Lala?” pertanyaan itu segera keluar setelah Fadil melihat Nada menarik napas dengan wajah kagetnya. “Saya sudah tahu ini sejak awal. Sejak dia selalu duduk di kursi depan kelasmu. Awalnya saya kira dia sedang menunggu kamu, tapi rasanya aneh saat kamu sama sekali tidak keluar untuk menemaninya yang cuma berniat membaca sebuah buku. Sampai tanpa sengaja saya lihat ekspresinya saat kita akan pergi ke rumah sakit berdua. Juga saat saya mengantar kamu ke rumah. Dia terlihat sakit hati Nada, saya tahu dia suka pada saya.”
“Lalu kenapa Kakak tidak bilang ke dia langsung? Kenapa kakak kasih dia harapan? Kenapa kakak boomlike foto dia? Kenapa jailin dia saat bikin keranjang takakura? Kenapa Kakak selalu senyumin dia kalau memang kakak enggak suka? Kenapa Kakak gendong dia ke ruang kesehatan saat dia jatuh dari pohon? Dan yang terakhir, kenapa harus saya yang bilang dan nyakiti dia lebih dalam? Kakak enggak mau kehilangan penggemar?!” tanya Nada meninggi.
Wajahnya penuh kekesalan dan emosi tidak terbaca.
“Jaga nada dan ucapan kamu, ini tergantung situasi! Saat itu saya sebagai mentornya, wajar saya selalu menolong dia, saya selalu tersenyum dan menjailinya, lihatlah itu forum apa? Saya anggap dia adik kelas, kamu tahu sendiri bagaimana saya memperlakukan seorang adik, bagaimana perilaku saya sama kamu? Beda, kan? Sewajarnya, saya dan kamu pakai aku dan kakak, tapi ... kita berada dalam forum yang berbeda. Begitupun dengan dia. Saya bertingkah sebagai kakak dan adik kelas, bukan wakil dan ketua. Untuk hal menolongnya ke UKS, saya tanya? Apa saya harus biarkan dia tergeletak di taman sekolah begitu saja?”