~~~***~~~
“Makasih ya, Kak!” Nada berseru riang. Ini melebihi sebuah kebahagiaan. Masalah dan keganjilan dalam hidup memang seharusnya dihadapi. Masalah ada bukan untuk dihindar tapi untuk membelajaran ke depannya lagi. Nada baru sadar itu hari ini.
“Makasih juga Nad,” kata Fadil dengan senyum bahagia yang terpancar dengan jelas di wajahnya. Nada hanya mengangkat alis, seakan bertanya untuk apa, “Kamu sudah menjadi adik saya yang menyenangkan, kamu juga cepat belajar dewasa. Kamu tahu kapan kamu harus mengalah.”
“Kakak—”
“Saya bangga punya adik kamu,” katanya sambil mengacak rambut Nada yang sudah tidak berupa, dilepaskan juga kacamata yang bertengger di sana. Fadil menunjuk mata nada dari pelipis kirinya. “Lain kali, mata ini jangan keluar air mata terus,” tuntutnya.
Nada hanya menggangguk patuh dengan senyum yang terbit di wajahnya. Tapi kemudian senyum itu menghilang.
“Kak, sebelum Kakak pergi ... boleh kita mengobrol sebentar?”
“Tentang apa Nada?”
Nada berjalan membuka gerbang, kemudian duduk di depan kursi rumahnya. “Kakak boleh duduk dulu,” katanya.
Fadil berjalan, langkahnya sedikit tidak meyakinkan. Nada berubah aneh detik ini. Atmosfer berubah kaku, candaan-candaan yang tadi seperti melebur bersama udara, yang tersisa sekarang adalah keheningan.
Nada terdiam, matanya menerawang langit, sedikit berkaca-kaca.
“Kak, kalau burung burung yang terbang itu tiba-tiba mati mungkin nggak?” tanya Nada menerawang.
“Mungkin, Nad.”
“Kalau tiba-tiba gedung runtuh tanpa getaran mungkin nggak?”
“Mungkin juga.”
“Kal—“
Fadil memandang Nada yang ada di sampingnya, kali ini matanya menatap cewek berkacamata itu aneh sambil menyela. “—Kayanya seluruh pertanyaan kamu jawabannya pasti ‘mungkin’ deh Nad,” tebaknya.
“Suatu hari, apa yang saya lakukan, kemajuan yang saya perbuat, ataupun kedewasaan saya yang tiba-tiba meningkat atau menurun itu pasti kemungkinan yang terjadi,” Nada berkata, kemudian cewek itu memperhatikan kakak yang masih menatapnya penuh penasaran, “Dan ketika itu terjadi, mungkin Kakak bakal nyerah dan merasa, ‘Loh, ini bukan adik yang saya kenal? Loh, kok dia bertingkah seperti ini? Loh kok dia memalukan? Loh kok dia kaya enggak punya pendirian?’ dan loh, loh yang lain. Jangan sampai Kakak menyembunyikannya ya, Kak. Katakan pada saya untuk memperbarui diri saya. Dan mohon maklumi saya kalau proses itu terkadang lambat atau bahkan tidak terihat sama sekali.”
Nada terdiam beberapa saat, terlebih Fadil belum berhenti menatapnya. “Saya, mungkin bukan wakil yang baik, bukan adik yang terbaik, tapi ... harapan saya, saya bisa bikin Kakak bangga, bisa bikin Kakak benar-benar merasa punya adik yaitu saya, dan nantinya saya bisa sebaik Kakak.”
Fadil menebar senyumnya, tapi dia belum mengeluarkan kata, dia hanya mengangguk-angguk kemudian mengisi kekosongan sela jari kanannya dengan jari kiri, ditatapnya jari-jari itu.
“Kamu ... tidak percaya diri, Nad?”
“Bukan, Kak, tapi saya manusia, saya tahu mungkin suatu saat saya merasa lelah sehingga melakukan hal salah.”
“Nad, lihat jari-jari Kakak,”—Fadil mengasongkan kesepuluh jarinya yang masih menyatu, Nada hanya menurut—”Jari-jari ini saling melengkapi, nah itu memang tugas kita satu sama lain. Melengkapi itu jangan cuma tentang pacaran, atau hal-hal berbau perasaan lainnya. Ini semua tentang tugas, tanggung jawab, dan kemampuan kita untuk saling mengisi dan mengimbangi layaknya jempol yang pasangkan dengan jempol juga. Itu, kita.” Kembali, Fadil menatap Nada yang telihat teringat sesuatu. “Masa iya Kakak sendiri berniat menjerumuskan adiknya? Saya selalu berharap dan akan terus berdoa agar kamu tidak sama baik dengan saya, kamu harus lebih baik.”
Awalnya Nada hanya bergeming, tidak angkat bicara, kemudian dua sudut itu tertarik ke atas, wajah yang matanya berbinar di balik kaca mata tebal itu terangkat, tepat pada mata Fadil yang sama ada binarnya.
“Ini semua tentang bagaimana kamu mengatur diri Nad, tentang kamu yang belajar dan berusaha. Kakak, tidak akan menilai bagaimana kamu pertama kali, tapi menilai bagaimana perubahanmu ke yang lebih baik sejauh ini. Orang yang cerdas itu mengikuti perkembangan tetapi tidak kalah oleh zaman, bukan terbawa suasana sampai lupa zaman. Di mana pun kamu bisa menyesuaikan diri, itu berarti kamu lebih baik,” katanya diakhiri dengan senyuman, Fadil kemudian berdiri dan menggosokkan kedua tangannya, “Udah ya? Kakak pulang dulu, semangat berjuan Nada!” Fadil berdiri, kemudian merapikan kemejanya yang sedikit berantakan. Setelah menepuk sedikit bagian kecil pada bajunya, Fadil mengangkat kepala—tidak lagi menunduk. “Oh, ya? Masalah membuat Kakak bangga, Kakak sudah merasa bangga sebelum kamu berharap seperti itu.”
Senyum simpul yang terakhir Nada lihat, kata-kata terakhir yang Nada dengar, menjadi alasan dan penyemangat, bagaimana dia bisa berjuang dan selalu berusaha yang terbaik.
“Kak!” Nada melambaikan tangan ketika motor Fadil menjauh. Fadil sedikit menoleh. “Makasih!” teriaknya.
Nada menarik napas. Lega rasanya telah mengatakan semua secara gamblang.
Ternyata, begini rasanya memiliki Kakak, begini rasanya merasakan kasih sayang dari Kakak. Ini fungsi seorang Kakak, memberi adiknya cahaya ketika lilin yang dibawanya padam tertiup angin.
Nada jadi teringat.
Apa Melodi juga merasa kan hal yang sama? Apa Melodi juga menyayanginya? Kuharap begitu, Batinnya sambil melangkah ke dalam rumah.