~~~***~~~
“Bagiku, jatuh cinta adalah hal yang paling istimewa dari Tuhan, maka aku tidak dapat menjalaninya dengan biasa aja. Ada sensasi yang perlu aku rasakan. Ada debar yang perlu dinikmati dengan jutaan cerita yang yang tak pernah terlupakan.”
~~Dena Rizky Julianggi~~
~~~***~~~
“Jadi kamu pikir, dia suka sama kamu?!” Pertanyaan itu langsung memotong ceritaku.
Aku balas melotot, jelas jika dia berkata seperti itu, nadanya benar-benar mengejek tingkat tinggi. Seharusnya sebelum aku menyelesaikan cerita, dia tidak usah memotong terlebih dahulu.
“Setidaknya, dari cara dia memandangku dan selalu ada di sampingku. Aku dengan yakin menjawab, ‘IYA,’” kataku sambil berpangku tangan dan menatap mata Nada yang bulat di balik kaca matanya itu.
Nada berdecak lalu menggeleng tidak percaya. Aku menambahkan, “Jadi ... sampai di mana tadi? Oh ya! Setelah para mentor dan kami siswa baru memperkenalkan diri, dia menatapku terus. Tekankan, ya! Dia itu sering curi-curi pandang. Terus, waktu pulpenku jatoh dia ban-” Nada memotong—lagi—ucapanku dengan mengangkat tangannya.
“Stop it! Kamu pikir, dengan dia bantu ambilin pulpen, dia suka kamu? Dengar ya, bagian pulpen itu juga terjadi denganku waktu MPLS, dan yang membantu mengambilkannya ada tiga orang, Ky! TIGA!”
Ah, oh? Tapi aku berusaha menyela, mungkin saja di bagian cowok itu memperhatikanku dia bisa memberi toleransi.
“Dan jangan kira, aku setuju dengan pendapat kamu saat kamu utarakan bahwa cowok itu memandangimu terus. Mungkin saja dia merasa kenal kamu atau merasa aneh dengan namamu dan mengira kamu cowok yang nyamar jadi cewek?” Pertanyaan yang lebih pernyataan Nada sukses membuatku bungkam. “Ingat kan? Waktu SMP jenis kelamin pada lembar absenmu itu L yang artinya laki-laki? Aku harap kamu enggak lupa.”
Yeah, aku tidak lupa bagaimana wajah para mentor MPLS SMP saat melihat seorang anak kecil imut dengan delapan kunciran di kepalanya mengangkat tangan dengan bangga. “Saya Dena Rizky Julianggi, Kak!” kataku saat itu. Mereka benar-benar heran sambil terus bergantian menatap kertas absen dan menatap wajahku. Aku tahu bahwa absenku pada kertas yang selalu dibawa kakak mentor itu berjenis kelamin laki-laki setelah tanpa sengaja menemukan rekap absen di meja guru. Sejak saat itu aku tahu kenapa mentor-mentorku itu menatapku aneh.
Seminggu setelah itu Nada bertanya padaku. Omong-omong, dia cewek berkacamata dan baru mengajakku berkenalan di jam istirahat. Dia bertanya untuk yang kedua kali apa benar itu namaku. Karena katanya, namaku itu nama cowok dan tidak cocok nama Julianggi sementara aku lahir di bulan Agustus. Walaupun katanya, Anggi dalam namaku setidaknya membantu untuk menjelaskan apakah aku cewek atau cowok.
Ketika itu aku hanya tersenyum dan menjawab, “Berarti aku unik."
Jawaban itu bukan menyatakan bahwa aku bangga, aku hanya copas ucapan orang tuaku setiap aku menanyakan namaku. Iya, orang tuaku memang aneh, sangking anehnya aku mendapat gen keanehan itu.
“Hem ... setelah dipikir-pikir ... kamu benar,” kataku dengan nada tidak terima. Dengan aku berkata seperti itu berarti aku menyerah, bukan?
Ah, sebenarnya aku tidak mengiklaskan kenyataan bahwa cowok itu tidak menyukaiku. Tapi melihat Nada yang sudah kesal karena bersikerasku yang keterlaluan, aku membiarkannya menang dengan argumen yang selalu masuk akal. Sial! Dengan begitu barusan aku mengatakan bahwa Nada mengatakan hal yang masuk akal dan manusiawi. Sama saja aku setuju padanya kalau aku tidak punya akal.
~~~***~~~
Jadi, setelah dengan terpaksa aku mengiyakan ucapan Nada waktu itu, hari ini aku mendapati ucapan Nada tidak selalu benar walaupun dalam argumennya dia membawa pasal dan ayat dalam Undang-Undang. Karena pagi ini, setelah satu bulan tidak bertemu sejak perpisahan mentor dan anak didik di hari terakhir MPLS, aku bertemu lagi dengan kakak kelasku yang begitu manis itu.