Bagian 1: Negeri Abu-Abu
Kereta berhenti perlahan di depan sebuah peron yang sepi. Tak ada suara, tak ada sambutan.
Begitu mereka turun, satu hal langsung terasa: semuanya abu-abu.
Langitnya kelabu, tanahnya pudar, pepohonan seperti sketsa pensil.
Bunga-bunga layu tanpa warna. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah datar, tanpa ekspresi, seakan lupa cara tersenyum.
“Tempat apa ini…?” bisik Alira.
TIKTOKO membuka sayapnya, berbicara pelan, “Inilah Dunia Tanpa Warna. Sebuah negeri yang lupa bagaimana rasanya merasakan.”
---
Bagian 2: Kota Yang Lupa
Mereka berjalan menuju pusat kota.
Gedung-gedung menjulang tapi kusam. Anak-anak duduk diam di taman tanpa tertawa.
Penjual es krim menawarkan rasa... tapi semua rasanya sama: hambar.
Doni mencicipi satu. “Kaya es batu. Beneran. Gak ada rasa strawberry, coklat, apalagi durian keju.”
Alira mencoba menyapa seorang nenek.
“Nek, kenapa di sini sepi banget?”
Si nenek menjawab dengan suara pelan dan datar, “Sudah lama warna hilang. Kami pun lupa rasanya senang, sedih, atau cinta.”
---
Bagian 3: Tanda dari Masa Lalu
Di tengah alun-alun, berdiri patung besar seorang wanita memegang kuas dan palet warna.
“Siapa dia?” tanya Rizqi.
TIKTOKO menjawab, “Dia adalah Pelukis Warna Pertama. Dulu, ia memberi warna pada dunia ini. Tapi sesuatu terjadi… warna menghilang bersamaan dengan hatinya.”
Mereka melihat tulisan kecil di bawah patung:
"Untuk mendapatkan warna kembali, seseorang harus mengorbankan rasa miliknya sendiri."
---
Bagian 4: Perjalanan Dimulai
Ketiganya setuju untuk membantu. Mereka diberi misi: menemukan Jejak Warna Pertama, yang tersebar di tiga tempat:
1. Danau Cermin Kosong – di mana airnya memantulkan hanya bayangan abu-abu.
2. Hutan Sunyi – tempat pepohonan tidak lagi berbisik.
3. Kuil Ekspresi – kuil yang dulunya tempat orang belajar tertawa dan menangis.
“Wah ini mah pencarian emosi, bukan sekadar warna,” celetuk Doni.
Rizqi mengepalkan tangan, “Ayo. Kita bawa warna itu pulang.”
Bagian 5: Danau Cermin Kosong
Perjalanan pertama membawa Rizqi, Alira, dan Doni ke tepi Danau Cermin Kosong—tempat airnya begitu bening dan diam, tak memantulkan apa pun selain bayangan kelabu.
Danau itu seperti kaca mati. Tidak ada ombak. Tidak ada riak. Hening.
“Aneh… kok gak bisa liat bayangan kita sendiri?” tanya Doni sambil menatap air.
Alira menjawab lirih, “Karena… mungkin kita sendiri mulai kehilangan warna di dalam hati.”
Tiba-tiba, permukaan air bergetar. Muncul sosok menyerupai Rizqi, tapi lebih pucat dan ekspresi kosong—Bayangan Diri.
---
Pertemuan dengan Bayangan Diri
Bayangan itu berbicara dengan suara datar:
> “Kau ingin membawa warna kembali?
Tapi apakah kau tahu bagaimana rasanya kehilangan?”
Rizqi terdiam. Bayangan itu mengangkat tangannya, dan dunia di sekeliling mulai memudar makin parah.
TIKTOKO berseru, “Kau harus jujur pada dirimu, Rizqi! Tunjukkan perasaanmu yang sesungguhnya!”
Rizqi menarik napas panjang, dan akhirnya berteriak:
> “Aku takut kehilangan teman-temanku! Aku takut semua ini cuma mimpi! Tapi aku gak mau menyerah!!”