Bagian 1: Kota yang Tak Bisa Diingat
Langkah pertama mereka masuk ke Kota Puzzle terasa… aneh.
Bangunannya mengambang, saling tumpang tindih seperti potongan rubik yang belum selesai. Jalanan melingkar-lingkar, ada yang melayang ke langit, ada yang masuk ke dalam tanah. Setiap sudut kota seperti mencoba melupakan dirinya sendiri.
“Kayak otak orang pas lagi mikirin mantan, ruwet banget,” gumam Doni sambil garuk-garuk kepala.
“Doni… fokus dong,” kata Alira, meski ujung bibirnya menahan tawa.
Tiba-tiba, sekelompok balon muncul dan menyanyikan lagu aneh:
> 🎵 “Selamat datang di kota ingatan,
Di mana yang hilang akan ditemukan~” 🎵
Rizqi melongo. “Balon bisa nyanyi?”
Doni nyengir. “Kalo balon bisa nyanyi, berarti kucing bisa stand up dong.”
Mereka tertawa, tapi perasaan aneh menyelimuti. Di kota ini, semuanya seperti hidup—dan semuanya seperti ingin berbicara.
---
Bagian 2: Potongan yang Hilang
Tiba-tiba, sebuah suara lembut muncul dari arah utara kota.
> “Rizqi… kau sudah sejauh ini. Apakah kau siap menghadapi kebenaran?”
Langkah Rizqi terhenti. Suara itu… seperti suara kakeknya.
Sebuah pintu muncul di tengah jalan. Tapi anehnya, pintu itu mengambang di udara—tanpa dinding. Di atasnya tertulis:
> “Kenangan yang Dikunci.”
Rizqi menyentuh gagangnya.
BRAK!
Dia terhisap masuk. Doni dan Alira berteriak, mencoba mengejar—namun kota memisahkan mereka, membuat jalanan berputar cepat seperti labirin.
---
Bagian 3: Dunia Dalam Diri
Rizqi terjatuh di sebuah ruang penuh tumpukan puzzle. Tapi puzzle-nya aneh—berisi potongan wajahnya, wajah ibunya, dan… wajah kakeknya.
Ia mulai menyusun satu potong demi satu potong. Tapi setiap kali salah memasang, suara tangisan terdengar. Semakin sering salah, semakin keras tangisan itu.
> “Kenapa kamu lupa janjimu padaku, Rizqi?”
Tiba-tiba, cahaya biru muncul dari lencananya. Di dalamnya, bayangan sang kakek muncul—tersenyum hangat.
“Rizqi… aku percaya kamu akan jadi anak yang membawa terang. Dunia ini penuh teka-teki, tapi selama kau jujur pada hatimu, kau akan menemukannya.”
Air mata Rizqi jatuh.
> “Maaf, Kek… aku sempat lupa. Tapi aku akan lanjutkan semua ini. Demi semua warna di dunia ini…”
Tiba-tiba, puzzle-puzzle itu menyatu menjadi Kunci Warna—bentuk baru yang lebih besar dan bercahaya enam warna.
Bagian 4: Kota yang Menangis
Sementara itu, Doni dan Alira tersesat dalam bagian kota yang aneh—jalanan terbuat dari huruf-huruf, gedung-gedung bicara dalam teka-teki, dan ada awan yang menangis hujan… dari kertas!
“Apa ini kota, atau kamus rusak?” gerutu Doni sambil menatap papan nama jalan bertuliskan:
> “Lupakanmu Adalah Jalanku, Tapi Sulit untuk Kutempuh.”