Bagian 1: Pintu Tanpa Pegangan
Lorong yang mereka masuki terasa aneh—berliku, gelap, dan berbau kayu tua bercampur hujan. Dinding-dindingnya penuh simbol aneh dan cermin-cermin kecil yang berubah bentuk.
TIKTOKO berjalan paling depan. “Ini adalah Labirin Kenangan, dibangun dari ingatan semua anak yang pernah lupa cara bahagia.”
Rizqi mengernyit. “Jadi... labirin ini penuh kenangan?”
“Bukan cuma itu,” sahut Alira, menatap dinding yang tiba-tiba berubah menjadi kamar masa kecilnya. “Ini juga penuh luka yang belum sembuh.”
Tiba-tiba terdengar tawa—suara Rizqi kecil yang bermain sendirian di taman rumah.
“Lho? Itu suara aku pas kecil!” Rizqi berlari, mengikuti suara itu. Tapi tak ada apa-apa, hanya dinding yang berubah jadi taman.
Doni mencoba membuka pintu kayu di ujung lorong, tapi pintunya… tidak punya pegangan.
“Loh, ini gimana bukanya?”
TIKTOKO mendekat. “Pintu ini hanya bisa dibuka kalau kalian jujur dengan diri sendiri.”
Mereka saling menatap. Diam. Canggung.
Sampai Alira berkata lirih, “Aku takut kehilangan kalian.”
Rizqi menunduk. “Aku sering pura-pura kuat, padahal aku pengen dipeluk.”
Doni mengangkat tangan. “Gue sok cuek biar nggak kelihatan takut... tapi gue takut banget sendirian.”
Klik.
Pintu terbuka dengan sendirinya. Mereka bertiga melangkah masuk.
---
Bagian 2: Perpustakaan Perasaan
Ruangan berikutnya seperti perpustakaan, tapi alih-alih buku, rak-raknya berisi botol-botol kecil berisi cahaya.
Setiap botol punya label: Marah, Bangga, Iri, Kasih, Rindu, Kesal, bahkan Ngantuk.
“Wah, ini lucu banget!” Doni mengambil satu botol bertuliskan Ngambek dan botol itu langsung terbuka... memunculkan versi dirinya sendiri yang sedang manyun seperti habis nggak dibeliin mainan.
“Waduh… gue lucu juga ya kalau ngambek,” Doni ketawa.
Rizqi mengambil botol Rindu, lalu melihat ibunya yang sedang duduk di teras, menunggunya pulang sekolah.
Ia terdiam lama. “Aku kadang rindu Ibu, walau cuma beberapa jam nggak ketemu.”
Alira memegang botol Cemas dan melihat dirinya sedang menatap langit, gelisah karena takut gagal jadi anak yang membanggakan.
TIKTOKO menjelaskan, “Perasaan tidak salah. Mereka hanya ingin dimengerti.”
Seketika, rak-rak buku itu berubah jadi cahaya dan berubah menjadi jembatan menuju ruang berikutnya.
“Jadi, kalau kita mengenali perasaan… kita bisa maju?” tanya Rizqi.
“Betul,” jawab TIKTOKO. “Kunci dari Labirin ini adalah mengenali siapa diri kalian sesungguhnya.”
Bagian 3: Tangga yang Tidak Turun-Turun
Setelah menyeberangi jembatan cahaya dari perpustakaan perasaan, mereka tiba di sebuah menara berbentuk spiral aneh. Ada tangga ke bawah... tapi setiap mereka turun sepuluh langkah, tangganya seperti tak berkurang.