Rizqi dan Kotak Ajaib

RIZQI APRI MIVTAH ZAENI
Chapter #15

Bab 15: Menara Tanpa Warna

Bagian 1: Gerbang yang Tak Terlihat


Langit sore itu terlihat biasa. Tapi di baliknya, tersembunyi sebuah dimensi rahasia: Menara Tanpa Warna. Menara ini tidak bisa dilihat oleh orang biasa—hanya mereka yang telah membangkitkan Enam Warna Jiwa yang bisa melihat dan masuk ke dalamnya.


TIKTOKO menunjuk langit yang mulai membentuk pusaran. “Dia lari ke atas sana. Ke tempat di mana warna tidak pernah lahir… hanya kehampaan.”


Doni bergumam, “Berarti dia nyembunyiin dirinya di tempat yang gak pernah bisa nerima rasa?”


“Ya,” jawab TIKTOKO, “itulah Menara Tanpa Warna.”


Dengan enam warna bersinar dari lencana mereka, Rizqi, Doni, dan Alira melompat ke pusaran—dan tubuh mereka tersedot ke dunia yang berbeda dari segalanya.



---


Bagian 2: Menara Dimensi Kosong


Menara itu seperti ilusi. Dinding-dindingnya tidak nyata, lantainya mengambang, dan setiap langkah terasa seperti berjalan di kenangan yang dilupakan.


Bayangan Tanpa Nama berbisik dari segala arah:


> “Warna hanya menyebabkan luka… Tapi di sini, tak ada warna, tak ada rasa, tak ada sakit.”




Rizqi menggenggam lencananya erat. “Tapi juga gak ada tawa… gak ada harapan…”


Doni menambahkan, “Gak ada gue yang becanda…”


Alira menunduk, “Dan gak ada gue yang belajar sayang sama orang lain…”



---


Bagian 3: Labirin Perasaan Terakhir


Satu-satunya cara mencapai puncak menara adalah melewati labirin terbalik, tempat di mana setiap emosi akhir ditantang.


Rizqi dihantui oleh bayangan dirinya yang selalu memendam tangis. Tapi ia melangkah dan berkata, “Aku boleh nangis… itu bukan kelemahan.”


Doni melihat dirinya tertawa sendirian, menyembunyikan rasa takut kehilangan. Ia peluk bayangan itu dan bilang, “Gak papa takut. Gue gak sendiri lagi.”


Alira melihat cerminan dirinya yang terus menolak kasih sayang. Tapi kali ini ia berkata, “Aku gak akan tutup hatiku lagi.”



Tiga cahaya baru lahir dari penerimaan itu:


Perak: Ketulusan.


Emas: Rasa Syukur.


Putih: Keutuhan Diri.



Cahaya ketujuh, Putih, menyelimuti tubuh mereka. Sekarang, mereka tak hanya punya Warna Jiwa… mereka punya Warna Kehidupan.



---


Bagian 4: Pertemuan Terakhir


Di puncak menara, Bayangan Tanpa Nama menunggu. Bentuknya kini seperti anak kecil yang hampa, duduk di atas kursi kosong.


> “Kalian datang… untuk apa? Aku hanya ingin dilupakan. Tak ada gunanya rasa.”




Rizqi melangkah pelan. “Justru karena ada rasa, hidup jadi hidup.”


Alira tersenyum. “Kita di sini… bukan buat mengalahkan kamu. Tapi buat mengakui kamu.”


Doni mengulurkan tangan. “Ayo bareng-bareng balik… kita punya ruang buat semua rasa. Bahkan yang paling gelap.”


Bayangan itu menangis… untuk pertama kalinya. Air matanya berwarna putih.


Tubuhnya berubah jadi cahaya, lalu melebur ke langit—seperti debu bintang yang kembali ke tempat asalnya.



---


Bagian 5: Cahaya Baru untuk Dunia Nyata


Menara runtuh perlahan. Tapi bukan karena hancur… melainkan karena tugasnya selesai. Langit menjadi putih murni sebelum perlahan berubah menjadi pelangi raksasa.


TIKTOKO tersenyum, walau tubuhnya mulai transparan.


> “Kalian telah mengumpulkan semua Warna Jiwa. Sekarang, saatnya kembali… dan menyebarkan warna itu… ke dunia nyata.”



Lihat selengkapnya