Bagian 1: Tiba di Dunia Nyata
Portal pelangi menutup perlahan di belakang mereka. Rizqi, Doni, dan Alira mendapati diri mereka berdiri di tempat yang familiar—halaman belakang rumah Rizqi.
Tapi rasanya... berbeda.
Langit lebih bersih. Angin membawa bau bunga yang belum pernah ada sebelumnya.
Dan di dada mereka, lencana warna-warni itu masih menyala—lebih tenang, lebih hidup.
TIKTOKO mengecek sekeliling. “Ini dunia kalian. Tapi kalian yang baru juga telah pulang.”
Rizqi memegang lencananya. “Apa yang berubah?”
TIKTOKO tersenyum. “Bukan duniamu, Rizqi. Tapi cara kamu melihatnya.”
---
Bagian 2: Warna di Sekitar
Di sekolah, Doni tak lagi menyembunyikan ketakutannya dengan bercanda berlebihan. Tapi candanya kini lebih hangat, bukan pelarian.
Alira, yang dulu tertutup, mulai menulis di papan pengumuman:
> “Kalau kamu punya rasa yang sulit dijelaskan, aku mau dengerin.”
Dan Rizqi... mulai menulis buku kecil berjudul "Kotak Ajaib dan Warna-Warna di Dalamnya", tempat dia menceritakan petualangannya.
Setiap anak yang membaca, mulai merasakan sesuatu yang sama…
Ada rasa…
Ada keberanian…
Dan ada warna.
---
Bagian 3: TIKTOKO yang Baru
TIKTOKO tak lagi berbentuk kotak besi. Tubuhnya kini lebih bulat, berkilau dengan pola seperti puzzle.
“Wah, lo sekarang kayak telur robot, Tik!” celetuk Doni.
TIKTOKO mendengus, “Setidaknya aku lebih bergaya daripada sandal jepit yang kamu pakai ke sekolah.”
Mereka semua tertawa.
---
Bagian 4: Warna Bagi Semua
Rizqi membawa lencananya ke taman bermain. Ia mulai membuat lingkaran anak-anak di bawah sinar matahari.
> “Kalau kalian lagi sedih, takut, atau bingung…
Itu tandanya kalian manusia. Dan itu indah.”
Satu per satu anak-anak bergabung.
Beberapa tertawa.
Beberapa menangis.
Tapi semua merasa aman.
Dan di langit… pelangi muncul.
Tanpa hujan.
Tanpa awan gelap.
Hanya karena… ada rasa yang diterima.
Bagian 5: Kotak Ajaib yang Membuka Sendiri
Suatu malam, saat Rizqi sedang menulis di bukunya, kotak ajaib yang dulu hanya terbuka dengan permintaan… tiba-tiba bergetar sendiri.
"Krek..."
Kotaknya terbuka perlahan tanpa perintah. Di dalamnya, hanya ada cermin kecil dan secarik kertas.
> “Warna sesungguhnya bukan untuk dimiliki… tapi untuk dibagikan.”
Rizqi mengangkat cermin itu dan melihat wajahnya sendiri. Tapi… bukan wajah yang biasa.
Itu wajah yang pernah menangis, tertawa, takut, marah, dan belajar menerima semuanya.
Dia tersenyum. “Ternyata… ini aku.”