Pukul delapan pas, Andi sudah duduk di bangku tunggu stasiun bus. Nah! Yang ditunggu telah tiba juga tepat pada waktunya. Wajah mereka sesekali tersembul di sela-sela bahu orang dewasa, lalu menembus keramaian itu.
"Semangat bertualang!” teriak Hendra sambil mengangkat kepalan tangan kanannya tinggi-tinggi.
Sekarang pandangan Andi tidak terhalang oleh siapa pun, ia segera berdiri dan berjalan ke arah bus rute perumahan Camar Laut, "Ayo bergerak!”
“Ayo!” Keempat temannya serempak menyahut.
Entah siapa yang memulai, mereka berlari-lari kecil saling mendahului, dan dengan kehadiran mereka, si pengemudi bus sedikit terhibur; ia tertawa lepas pada saat kelima anak itu berkelakar.
“Kalian mau ke rumah teman?” tanya si pengemudi dengan ramah.
“Perumahan Camar Laut nomor tujuh delapan,” jawab Hendra yang duduk di samping Andi bersebelahan dengan si pengemudi.
"Nomor tujuh delapan, tujuh delapan, siapa, ya? Saya juga tinggal di sana.”
“Pak Montir,” jawab Deni yang duduk tepat di belakangnya.
Si pengemudi menepuk jidatnya. “Oh, tahu! Semua pengemudi bus pastilah kenal Pak Montir.”
Satu jam berlalu, pemandangan di luar bus pun berubah. Di sisi kanan jalan di balik pohon-pohon kelapa dan cemara terlihat lautan berombak-ombak kecil putih tanpa henti pecah di bibir pantai berpasir kekuning-kuningan yang silau mata apabila memandangnya saat ini, tetapi suasana di dalam bus terasa sejuk, teduh oleh pohon-pohon yang tegak di atas gundukan tanah bererumputan sepanjang sisi kiri pinggiran jalan, dan dari sela-sela pepohonan itu tampak bukit-bukit bergandeng-gandeng dan Matahari telah jauh meninggalkan puncaknya. Dari dalam bus, kelima anak itu tak bosan-bosan memandang pemandangan sepanjang jalan selama hampir setengah jam lagi, hingga bus berhenti di sebuah halte.
“Itu perumahannya,” tunjuk si pengemudi ke arah gedung bertingkat di seberang jalan.
“Terima kasih, Pak,” ucap mereka bersamaan sebelum turun dari bus.
Sambil berjalan, mereka mengamati perumahan Camar Laut itu. Satu dua mobil pribadi keluar masuk di lantai dasarnya dan di tiang kiri pintu gerbangnya ada sebuah telepon. Andi memencet tombol angka tujuh dan delapan, tetapi tiada seorang pun yang menanggapi panggilannya.
"Cari siapa, nak?” tanya seorang lelaki paruh baya berkostum olahraga yang mendekati mereka.