Setiba di rumah, malamnya saat Andi membuka laptop bermaksud menyalin ulang beberapa hal menarik dari artikel-artikel pendek dalam buku-buku kuno di perpustakaan bawah tanah, sebuah surel baru saja sampai di kotak masuknya.
***
Kepada Andi di kota penuh buah-buahan.
Akan kuceritakan kisahku ini kepadamu.
Aksi saling agresi para rezim tamak kala menyelesaikan sengketa di antara mereka telah mengakibatkan semua makhluk hidup menyingkir pergi. Bumi kita bertahun-tahun menerima malapetaka akibat pertempuran habis-habisan sesama penghuninya, perang telah melenyapkan segala-galanya, dan pada akhirnya perdamaian terjadi begitu saja dengan sendirinya, dan pascaperang, bapakku yang masih bermuram durja memutuskan pulang. Maka di sanalah aku berada, di salah satu tempat paling hancur akibat kompetisi kekuatan militer umat manusia.
Semua ini demi Bapak yang kukuh dengan keinginannya; demi menebus kesalahan masa lalu; yang kemudian hampir sepanjang waktu berkutat dengan ribuan pohon baru dan mau bersabar menungu lama: menunggu semua spesies lebah beserta burung-burung datang kembali untuk membuat pepohonan itu—yang tanpa terasa setelah berulang kali musim berganti—kembali menjadi tumbuhan liar, maka tugasku mengendalikan robot serangga pembawa serbuk sari buatan dan menjatuhkannya di atas hutan baru yang mulai berbunga berakhirlah sudah. Sungguh, duduk bekerja dalam bungker sangat membosankan—karena sebenarnya aku lebih suka terlibat langsung di alam terbuka bersama Bapak, robot-robot harimau, robot-robot buaya, dan robot-robot beruang, sebagaimana pada saat mula-mula sekali kami mengolah tanah dan menyemai bibit.
Akan tetapi, setelah musim hujan tahun ini berakhir ternyata Bapak belum juga berhenti. Ia bersama robot-robot itu terus saja menyebarkan bermacam-macam bibit tanaman ke pulau-pulau lain di sekitarnya. Bertahun-tahun lagi lamanya mereka memulihkan alam yang sekarat. Hingga menjelang satu abad usia Bapak barulah tiba masanya: ke mana pun memandang semua sudah menghijau. Barulah mekar senyumannya.
“Pohon-pohon mulai bekerja menyerap karbon,” katanya dengan wajah semringah sebahagia beragam spesies lebah dan burung yang kembali menemukan habitat mereka.
Jadi tentu saja aku turut gembira, selain karena Bapak sudah bisa tersenyum, aku rasa sekarang aku boleh berhenti selamanya mengendalikan robot polinator, dan kembali ke tujuan kami: memburu robot-robot kombatan.
Akan tetapi, dugaanku meleset. Ketika aku tengah berolahraga ringan sambil menikmati cahaya matahari pagi di luar bungker, Bapak mendekat sambil membuka laptopnya dan memberitahu pekerjaan selanjutnya. Begitu memperhatikan peta dalam laptop aku langsung menggerak-gerakkan tanganku lagi; berpura-pura melakukan gerakan-gerakan perenggangan untuk menyembunyikan keterkejutanku sebab luasnya hutan di kawasan yang harus kami restorasi berkali-kali lebih luas dibandingkan tanah leluhur kami ini. Sebenarnya bukan cuma itu penyebabnya, tapi ini ....