Hari libur tiba lagi. Kelima anak itu bersama Pak Montir menuju Rumah Jaga. Mereka berjalan di jalan tikus yang menanjak dan berkelok-kelok di antara pepohonan besar dan semak belukar.
"Capek!" Deni sudah ngos-ngosan, ia berhenti dan bersandar pada sebatang pohon.
"Kita istirahat sebentar," kata Pak Montir yang berjalan paling depan, di depan Deni.
"Jangan menyerah, Den! Semangatlah selalu seperti diriku!" Terdengar teriakan Hendra dari arah bawah, ia berada paling belakang sebagai penutup barisan dan tertinggal sedikit jauh.
"Apa! Sana tes kepribadian narsistik!” sergah Deni.
“Tak usahlah! Tanpa perlu memindai aktivitas otakku dengan ‘Pencitraan Resonansi Magnetik’, kalian pasti sudah menyimpulkan bahwa si Hendra itu narsisisme tinggi.”
Mereka tergelak terbahak-bahak dan berpaling ke belakang. Hendra tersenyum cengengesan sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi melampaui pucuk-pucuk pepohonan yang jauh di bawahnya dan tangannya itu seakan-akan tersentuh langit biru di belakangnya dan terlihat bagai menyatu dengan lautan.
"Tidak ada lagi partikel beracun sisa pembakaran di atmosfer. Bersihnya air dan garam di langit sana sebersih oksigen yang kita hirup di sini," kata Pak Montir, ia lalu menarik napasnya dalam-dalam dan kelima anak itu mengikuti apa yang ia perbuat.
"Berarti dulu oksigen kita sangat buruk, ya Pak?" tanya Rara sambil merapikan rambut lurusnya yang sebahu; yang berantakan diterbangkan angin.
Oksigen buruk? Ya, dulu oksigen buruk sekali seperti di Bumi lama, mirip-mirip juga dengan cerita aneh itu, Andi berkata dalam benaknya. Baru pertama kali ia membaca cerita seperti itu. Ia mengharapkan segera mendapatkan kelanjutannya.
"Maksud saya di Bumi lama. Ayo, tak jauh lagi." Pak Montir tersenyum dan mendaki lagi sambil membawa benda berbentuk limas di bahunya.
Lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Rumah Jaga itu berada di tengah-tengah tanah rata bererumputan seluas hampir dua kali lapangan sepakbola. Puluhan meter dari halaman depannya ada helipad. Jauh di belakangnya dan di sekeliling lapangan rumput berdiri tegak dan rapat pohon-pohon besar. Anak-anak itu terpana dan tentu saja tidak berani menduga-duga ada apa di dalam belantara itu. Memang dari kecil Andi sudah sering diajak ayahnya ke kebun, tapi rimba raya yang seperti ini baru pertama kali dilihatnya langsung, pun demikian teman-temannya.
“Ayo ke gudang,” ajak Pak Montir.
Mereka mengikuti Pak Montir menuju perkarangan belakang Rumah Jaga, tetapi Cempaka dan Rara malah berbelok. Rupanya tidak jauh dari gudang ada sebuah gazebo dan terdengar suara air mengalir di belakangnya. Keduanya turun ke jurang kecil di balakang gazebo itu, lalu duduk di sebuah batu yang datar di bawah sebatang pohon ara dan membenamkan kaki di sungai kecil di situ, mungkin ingin menghilangkan lelah sambil bersenang-senang dengan sejuknya air yang berhulu dari pegunungan di atasnya lagi.