Semua murid tampak amat antusias pada hari ini, hari seleksi. Mentari pagi bersinar terang di atas keramaian, membakar semangat semua kelompok dari dua puluh kelas di sekolah itu dan menyorot 80 robot di tengah lapangan sepakbola. Semua kelompok pada akhirnya mampu menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Para guru penilai segera memeriksa satu demi satu robot-robot itu, dan membaca lagi deskripsinya. Mungkin ingin memastikan sekali lagi apakah bentuk robot memang sudah sesuai dengan fungsinya. Itulah sebabnya Andi dan keempat temannya tampak sedikit gugup lantaran penampilan Robotkita terlihat paling aneh dan unik jika dibandingkan dengan robot-robot lain. Banyak mata tertuju ke Robotkita ketika mereka membawanya menuju lapangan. Atau mungkin karena mereka merakitnya di luar sekolah, jadi tidak pernah terlihat sebelumnya. Atau jangan-jangan memang iya, seperti kata seorang murid dari kelas lain, wah keren, ya! Terima kasih, ucap Andi, dan seketika itu juga kelimanya berjalan bagai ilmuwan yang telah mendapatkan kalungan medali penghargaan. Bangganya!
Dan kabar baiknya setelah penilaian, Robotkita memenuhi persyaratan untuk tampil di hari kontes nanti. Namun sedih juga, ternyata masih ada beberapa robot yang belum layak untuk diikutkan. Meskipun demikian, mereka diacungkan jempol oleh semua guru. Mereka juga hebat, sudah berusaha berbuat yang terbaik, begitu inti pidato bapak kepala sekolah beberapa menit lalu pada saat mengakhiri pengumuman robot-robot yang lulus seleksi. Dan kabar baiknya lagi, tiga robot kelompok lain dari kelas satu dua, lulus seleksi semuanya.
Selanjutnya. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu semua murid. “Pamer sedikit, tak apalah!” seru Hendra.
Benar sekali! Baru saja guru-guru meninggalkan lapangan sepakbola, robot-robot mulai unjuk gigi, padahal sekarang bukanlah hari kontes. Dari atas bangku tribune mereka mengendalikan robot-robot itu untuk beraksi. Ada yang berjalan bolak-balik, ada yang meloncat-loncat menyerupai katak, dan ada pula yang merayap seperti ular. Cempaka dan Rara suka sekali dengan atraksi sebuah robot kecil mirip boneka anak perempuan berlenggak-lenggok bak peragawati berjalan memamerkan mode pakaian terbaru. Kelompok pemiliknya memang menciptakannya untuk tujuan itu: robot peraga busana.
Hendra menyenggolkan lututnya ke paha Andi. “Kita juga harus sedikit bersenang-senanglah,” katanya. “Ayo Den, mainkan!”
Rara mendukung pula permintaan itu. “Iya, Den. Kami, kan, nggak ada saat uji coba kemarin.”
“Iya, aku juga penasaran ingin melihat Robotkita terbang,” sambung Cempaka.
Tanpa butuh persetujuan si ketua kelompok, Deni sudah menemukan alasan kuat untuk beraksi dan sempat terlihat oleh Andi: Deni berulang kali menepuk lutut Hendra, tangannya pasti sangat berhasrat untuk menerbangkan Robotkita.
“Pamer sedikit. Tak apalah!” seru Hendra lagi.
Tanpa menunggu lama, Robotkita pelan-pelan mulai melayang di atas permukaan lapangan. Jika diperhatikan oleh mereka yang duduk di tribune, dia tiba-tiba nongol dan jadi lebih terlihat dari robot-robot lain yang ada di tengah lapangan. Suasana semakin meriah, banyak murid di bangku tribune mulai berdiri dan menunjuk ke arah Robotkita. Beberapa di antara mereka mengancungkan jempol dan bertepuk tangan. Tentu Andi dan teman-temannya semakin senang dan bangga.
Deni menambah kecepatan putaran baling-baling Robotkita untuk tinggal landas dan melesat ke angkasa dan mengelilingi lapangan sepakbola. Cempaka dan Rara semakin senang sampai-sampai meluapkannya dengan berloncatan begitu Robotkita terbang perlahan mendekati mereka.
“An! Apa itu?!” teriak Hendra. Lututnya menyenggol keras lutut Andi.