Robot Jahat

Dirman Rohani
Chapter #10

Pesawat Burung

Andi ingin memperlihatkan cerita aneh itu kepada Deni dan Hendra, tetapi menurutnya pagi ini bukanlah waktu yang tepat.

Pak Montir masih terlelap, pasti ia sangat kelelahan. Hendra baru selesai memanggang roti di oven dan Deni sedang menuangkan krim pemanis ke gelas kopinya. Saat Andi mau keluar dan membuka pintu terjadi gempa lagi dan guncangannya terasa lebih kuat daripada gempa hari seleksi robot, sampai-sampai kakinya tak kuat untuk berdiri.

Pak Montir terjaga dan mendorong badan anak-anak itu keluar dari Rumah Jaga. Tiba di helipad mereka langsung terduduk di tanah. Pohon-pohon seakan-akan berjalan maju mundur dan berloncatan. Mungkin jika guncangan bergelombang ini berlangsung lama, akar besar yang terdalam pun bakalan terangkat ke permukaan tanah, tetapi sebelum itu terjadi, gempa sudah berhenti, suara derunya menghilang tergantikan nada dering ponsel. Orangtua anak-anak itu yang menelepon. Ketiganya segera meyakinkan ayah dan ibu mereka bahwa mereka dalam keadaan baik-baik.

Mereka menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Suasana alam terasa lengang. Para penghuni hutan masih terdiam dan angin pun seperti enggan untuk berembus lagi.

“Apa itu?!” Keheningan alam dipecahkan oleh teriakan Hendra, kicauan burung-burung terdengar kembali.

"Burung!" kata Deni.

Mereka memandangi tiga titik hitam yang sedang terbang berputar-putar di puncak sebuah gunung. Menurut Deni itu burung yang sangat besar karena bisa terlihat sebesar burung elang dari tempat mereka berdiri.

Pak Montir segera mengambil teropong dari tangan Andi sewaktu ia mengeluarkannya dari leher.

Pak Montir maju beberapa langkah, lama sekali ia memantau burung-burung itu, membuat Andi dan Deni penasaran dan segera mendekatinya. Alih-alih mengembalikan kepada pemiliknya, ia malah memberikan teropong itu kepada Deni.

“Burung apa itu!" gumam Deni.

Andi dan Hendra makin penasaran.

“Aku ingat. Itu burung purba di Bumi lama!” Deni histeris.

Demi mengetahui kebenarannya, Hendra langsung merampas teropong di tangan Deni.

"Iya, benar!” teriak Hendra. “Kenapa ada di Bumi kita ini?” Ia tampak terheran-heran dan menyerahkan teropong kepada Andi.

“Burung? Ada-ada saja kalian!” Andi tertipu dengan kelakar kedua temannya yang sekarang sedang tersenyum menahan tawa.

"Itu pesawat. Drone yang besar,” tebak Andi, ia menoleh ke arah Pak montir.

“Saya akan ke sana,” ucap Pak Montir. “Kalian pulang saja.” Ia lalu menuju gudang.

“Pak Montir tidak seperti biasanya. Kali ini tampak serius, tegang, dan gelisah,” kata Andi.

Ketiganya saling tatap sesaat. Hendra kembali duduk di tanah mempermainkan beberapa helai rumput dengan jarinya dan Deni menggaruk-garuk kepalanya.

“Bagaimana?” tanya Deni.

“Bagaimana, An?” Hendra menengadah dan menatap Andi.

“Andai itu sesuatu yang berbahaya, bagaimana?” tanya Deni, lalu ikut duduk di tanah di dekat Hendra.

Andi mendekati mereka, lalu sedikit berbisik, “Kita ikut Pak Montir.”

“Ini penting juga, lebih penting dari kontes robot,” ucap Hendra serius.

Andi menatap lagi puncak gunung itu. “Pesawat itu seperti sedang mengitari sesuatu di sana.”

“Aku paham. Tapi belum tahu mesti menjelaskan apa pada saat ini. Kita ikut Pak Montir,” gumam Deni.

“Ayo!” Andi segera berlari ke belakang Rumah Jaga, menuju gudang. Hendra dan Deni menyusul di belakangnya. Mereka seolah-olah sudah mengerti dengan maksud yang belum terkatakan oleh Deni. Padahal enggak. Ini karena penasaran dan keingintahuan saja, tidak lebih dari itu.

Andi dan Hendra mengeluarkan sepeda motor dari gudang. Pak Montir datang dengan menyandang senapan di bahunya, meskipun berusaha menutupi kekagetannya dengan senyuman ketika melihat apa yang anak-anak itu lakukan, kekhawatiran akan sesuatu tetap kelihatan pada wajahnya. Setelah mempersiapkan bekal dan peralatan, mereka segera memacu sepeda motor.

***

Tiba di suatu tempat yang tidak seberapa jauh lagi dengan pesawat-pesawat itu, mereka segera menyembunyikan sepeda motor ke balik pepohonan, lalu memperhatikan pesawat-pesawat itu sesaat, lalu mengendap-endap dengan sangat hati-hati.

“Mencurigakan,” agak berbisik suara Pak Montir ketika mereka berhenti di balik sebuah batu besar.

Andi meneropong, berusaha mengamati detail pesawat itu yang ternyata berwarna keemasan. "Di bawahnya pasti ada sesuatu!” 

“Seperti pesawat pengintai,” kata Pak Montir.

“Bukankah pengawasan area hutan ini tanggung jawab Bapak?” tanya Deni. “Kenapa mereka tidak memberi tahu Bapak jika ingin melakukan suatu aktivitas?”

“Justru itulah yang membuat saya heran, siapa mereka! Siapa pengendali pesawat itu. Apa tujuannya.” Pak Montir duduk dan menyandarkan tubuhnya ke batu dan meneguk air dari botol minumannya.

“Haruskah mendaki ke sana? Atau sebaiknya, Bapak tanyakan dulu ke kantor Penjaga Hutan?” Entah bertanya atau usulan yang dikatakan Hendra. Mungkin sekaligus.

“Ya, seharusnya kantor pusat memberi tahu saya jika ada yang datang ke hutan ini.”

“Berarti ini ilegal, tanpa sepengetahuan pihak berwenang!” sergah Deni.

“Kalian tunggu saja di sini. Saya akan mendaki, saya harus tahu siapa mereka."

Kemudian Pak Montir memberi tahu cara menggunakan senapan kepada Andi. Itu senapan laser betulan bukan senapan berpeluru bius seperti milik para petani.

“Bapak, bagaimana?” tanya Andi, ia ragu-ragu untuk menerimanya.

“Saya hanya ingin melihat mereka dari dekat, bukan berperang.”

“Kami ingin ke sana."

“Jangan. Awasi saya dan Hendra dari sini. Saya tahu kamu bisa menggunakan senapan. Hendra, ayo!"

“Baik, Pak. Siap.” Hendra cepat menjawab, kemudian mengencangkan ikatan tali sepatunya.

Pak Montir dan Hendra mendaki bukit di hadapan mereka dengan cara mengendap-endap dari satu batu besar ke batu besar lainnya, hingga kemudian ke balik pohon besar ke pohon lainnya. Ini untuk menghindari kamera pemantau seandainya ada di pesawat itu.

“An, kira-kira berapa watt kekuatan senapan laser ini? Kenapa Pak Montir bisa yakin ya, kalau kamu bisa menggunakannya, padahal kamu cuma jago melontarkan batu pakai katapel,” ucap Deni ketika Andi bermaksud mengambil posisi membidik dari balik sebuah batu.

“Anak-anak yang tumbuh besar di daerah perkebunan dan pertanian tentu saja mahir menggunakan katapel, harus jago juga menggunakan senapan, menyetir, dan berkelahi. Tapi aku belum pernah melihat dan menggunakan senapan laser yang begini,” jawab Andi sambil mengarahkan moncong senapan ke arah pesawat-pesawat itu.

“Seharusnya waktu itu kita pukul saja Teuga!” Deni membekap mulutnya menahan tawa, ia meremehkan dan benar-benar belum tahu kalau Andi bersama ayahnya sering latihan berkelahi. Mereka belum tahu ayah Andi jago bela diri.

“Tidak ada gunanya berkelahi dengan teman sendiri.” Pandangan Andi masih menyasar puncak bukit, mencari keberadaan Pak Montir dan Hendra. Tapi, keduanya sudah tidak terlihat lagi. Barangkali sudah di sana dan mengamati pesawat itu dari balik pepohonan.

“An, kita diminta menyusul ke atas.” Deni ingin menampakkan pesan masuk dari Hendra di ponselnya.

“Ya sudah. Ayo.” Tanpa menoleh lagi Andi lekas mendaki dan mengikuti jejak-jejak yang Pak Montir tinggalkan.

“An, tunggu, jangan terlalu cepat!”

Tidak lama, kira-kira lima belas menit kemudian dalam rimba lebat dan sedikit gelap itu keduanya mendapati Pak Montir dan Hendra sedang duduk bersandar di tonjolan akar pohon rambung yang besar.

“Lihat sana, di balik pohon itu,” tunjuk Pak Montir dengan wajah khawatir. ”Tapi hati-hati jangan sampai kedatangan kita diketahui oleh pengendali pesawat itu.”

Andi dan Deni merayapi gundukan tanah di hadapan mereka, merayap di antara sela-sela pohon besar lalu mengintip dengan hati-hati. Ternyata terdapat hamparan tanah datar di puncak gunung ini. Berkali-kali lebih luas dari lapangan sepakbola. Di tengah-tengah lapangan itu berdiri sebuah bangunan besar dan tinggi. Bangunan apa itu? Bentuknya seperti menara. Hampir mirip dengan mercusuar di Bumi lama.

“Itu roket,” bisik Deni.

Lihat selengkapnya