Gumpalan-gumpalan kabut pagi masih melayang-layang dan mengepung Rumah Jaga. “Ayo!” seru Pak Montir, ia menuju gudang, dan anak-anak itu mengikutinya dengan penuh semangat.
Setelah menyiapkan segala perlengkapan, mereka keluar dari gudang dan meninggalkan Rumah Jaga bagai kesatria berkuda yang sedang menuju medan perang. Dua sepeda motor menerobos kabut, kesegaran suasana pagi pun berubah mencekam, dan ketika mendekati tanjakan di kaki bukit tempat bangunan mirip mercusuar berada, para pengendara sepeda motor itu mendengar suara dengungan.
"Berlindung!” teriak Pak Montir.
Mereka mencampakkan begitu saja sepeda motor, lalu dengan tergopoh-gopoh menyusup ke hutan. Anak-anak itu berlari ke arah sebatang pohon rambung tua dan masuk ke dalam pangkalnya yang berlubang, mirip sebuah gua. Lalu dari dalamnya, melalui celah-celah akarnya yang silang-menyilang dan menyembul di atas permukaan tanah, mereka memantau keadaan di luar.
Namun, Pak Montir tetap berdiri di luar, dan spontan bertiarap begitu seberkas sinar melintas sangat cepat di atas kepalanya. Itu tembakan laser! Tembakan berikutnya menghantam dahan sebatang pohon di dekatnya. Dahan pohon itu bagai tersambar petir, hangus, dan mengepulkan asap, lalu terdengar suara berderak lalu patah, nyaris menimpa Pak Montir. Dan sekarang suara dengung itu sudah berada di atas kepala mereka. Ternyata itu dua Pesawat Burung; terbang berputar-putar di atas sebatang pohon yang tak jauh dari pohon rambung tempat mereka bersembunyi.
Lalu Pesawat Burung itu mendekati sepeda motor. Setelah berputar-putar sesaat di atasnya, bergeser dengan perlahan kembali ke pohon tadi dan anak-anak itu menengadah mengikuti pergerakannya. Tentu saja si pengendalinya cuma bisa melihat hamparan daun hijau yang rapat. Setelah berputar-putar sebentar di situ, kedua pesawat itu menjauh, kembali ke bangunan mirip mercusuar.
“Deni! Terbangkan Robotkita. Lindungi kami!” Teriakan Pak Montir bagai ikut berkelebat bersama dirinya yang raib di balik pepohonan.
Andi dan Hendra menyusul Pak Montir melalui jalur yang telah mereka lalui kemarin.
Hendra berhenti sebentar dan berpaling ke arah Deni, ia mengacungkan jempolnya. “Tak ada waktu pamitan!” ucapnya.
Deni terbengong-bengong dengan wajah yang tidak bisa terlukiskan dengan kata. Terpaksa atau tidak, kali ini ia mesti berani ditinggal sendiri.
Karena sudah hapal betul dengan medan hutan itu, Andi dan Hendra bisa cepat tiba di dekat bangunan mirip mercusuar. Namun keadaan di situ lengang, tidak ada Pesawat Burung yang biasanya berputar-putar di atasnya.
"Di mana Pak Montir? Apakah langsung menyusup ke bangunan itu? Seharusnya menanti kita untuk mengatur siasat berikutnya," gumam Hendra.
Andi menengadah ke langit, hanya burung-burung hujan yang terlihat beterbangan kian-kemari. “Seharusnya Deni sudah menerbangkan Robotkita,” katanya.
“Itu!” tunjuk Hendra ke sebuah titik hitam di langit.
Sesaat kemudian, Robotkita tiba di atas bangunan mercusuar dan terbang mengelilinginya, Deni pasti ingin memantau keadaan di sekitarnya. Dan tiba-tiba muncul satu Pesawat Burung, terbang cepat dan mengangkasa tinggi di atas Robotkita. Andi dan Hendra spontan bertiarap ke pangkal sebuah pohon dan mengintip dari baliknya.
"Sebentar lagi terjadi pertempuran di langit. Ini sangat berbahaya!" gumam Hendra. “Tapi kenapa Pesawat Burung itu tidak menyerang?"
Robotkita mendekat ke dinding bangunan mercusuar lagi dan mengitarinya.
“Apa yang direncanakan Deni?” gumam Hendra lagi.
Andi menyimpulkan, “Pesawat Burung belum menyerang. Belum berani menembak, sebab jika tembakannya meleset bakal menghantam dinding bangunan itu. Sudah benar taktik Deni.”
Robotkita menghilang dari pantauan mereka karena sudah berada di sisi belakang bangunan itu, dan Pesawat Burung tetap mengejarnya.
Keadaan terasa sunyi kembali. Burung-burung hujan sedari tadi memang sudah menghilang, seolah-olah tahu pertarungan dua burung besar itu akan membahayakan jiwa mereka. Tidak lama kemudian Pesawat Burung terlihat lagi dan meluncur cepat. Keadaan berbalik, kini Robotkita yang membuntutinya.
“Tembak!” teriak Hendra penuh emosi.
Akan tetapi, Andi ingat sesuatu. “Jangan! Itu berbahaya sekali!”
Andi secepatnya menelpon Deni, ia mengingatkan Deni akan bahaya yang sangat besar jika Pesawat Burung tertembak atau sebaliknya Robotkita yang tertembak, dan menjelaskan juga bahaya ini kepada Hendra.
Keduanya sepakat dengan Andi, mereka berharap jangan sampai keadaan berbalik, pesawat itu yang mengambil posisi mengejar dan menyerang Robotkita, maka Deni mesti berusaha semampunya untuk memosisikan Robotkita selalu berada di belakang pesawat itu. Namun, yang terjadi kemudian sungguh tidak masuk akal. Robotkita mendarat pelan-pelan di dekat bangunan mercesuar itu dan kelihatannya mesinnya langsung dimatikan oleh Deni.
"An! Apa rencana Deni?”
“Entah, aku juga bingung apa yang ....” Tiba-tiba terdengar derap langkah yang menginjak reranting kering di belakang mereka. Hendra ingin mengetahui ada apa di belakangnya, dan ia segera mengangkat tangannya ke atas kepala sesaat setelah berpaling ke belakang. Puluhan orang aneh berseragam loreng coklat kehijauan menodongkan senapan ke kepala kedua anak itu dan merampas ponsel mereka. Sebagian di antara orang-orang aneh itu terlihat siaga di balik pepohonan sekitar. Terlihat beberapa orang lagi datang dari arah bangunan mirip mercusuar. Dua orang aneh secepatnya mengikat tangan kedua anak itu.
“Jalan!” perintah seseorang dengan kasar. Andi dan Hendra terpaksa mengikuti kemauan orang-orang aneh itu.
Mereka berjalan ke arah bangunan mercusuar, tapi setiba di sana, mereka tidak dibawa masuk ke dalamnya, terus saja melewatinya, lalu masuk hutan di belakangnya. Mereka terus berjalan tanpa henti. Kedua anak itu belum tahu akan dibawa ke mana. Yang mereka tahu mereka sudah berada semakin dalam ke tengah rimba. Andi sudah bertanya beberapa kali, tetapi orang-orang aneh itu diam saja.
Menjelang tengah hari, barulah mereka berhenti di alur air. Orang-orang aneh itu duduk melepas lelah sambil mengisi air ke botol. Seorang yang terlihat paling tua di antara mereka, mungkin seusia Pak Montir, menyodorkan air dari botolnya langsung ke mulut Andi.
"Minumlah. Perjalanan kita masih jauh,” ucapnya, rambut panjangnya yang sudah memutih semua dan terurai jatuh ke pinggangnya melambai-lambai ditiup angin.
“Bapak siapa?” tanya Andi.
"Tak usah banyak bicara!” Orang tua itu tampak marah. Setelah menegukkan air ke mulut Hendra, ia langsung pergi.
“Dia tidak bisa dijadikan kawan untuk diajak bicara.” Hendra berkelakar, menyembunyikan kecemasannya.
Kedua anak itu terpaksa berjalan lagi. Andi mengamati senapan mereka, mirip, sangat mirip senapan Pak Montir. Tidak ada sedikit pun perbedaan. Di mana Pak Montir sekarang? Apa dia juga tertangkap? Bagaimana dengan Deni? Andi bertanya dalam hati.
Andi melirik ke arah Hendra yang juga sedang mengamati orang-orang aneh itu satu per satu. “Mereka ini tentara, Dra?”
"Apakah mereka manusia Bumi lain?” Pertanyaan Hendra membuat Andi kaget.
"Mungkin,” jawabnya ragu.
"Apakah mereka orang jahat?” tanya Hendra lagi. "Kita akan dibuang ke jurang." Kali ini nada bicaranya sudah berubah.
Andi menatap Hendra. Kulit wajahnya yang memang putih semakin terlihat pucat pasi dan bibirnya bergetar. Semangat kehidupan yang biasanya menyala-nyala di bola matanya, kini seolah membeku. Ternyata Hendra tidak seberani yang terlihat selama ini.
“Kenapa membayangkan kematian? Bukankah ratusan trilyun sel tubuh kita belum kadaluarsa! Kita bahkan belum berusia delapan belas tahun.” Andi berkelakar untuk membakar kembali semangat Hendra yang entah kenapa bisa anjlok seketika. “Kita tidak perlu percaya pada kematian.”
"Aku tidak bilang kita akan mati, tapi tubuh kita bakal dijatuhkan ke jurang!”