Robot Jahat

Dirman Rohani
Chapter #12

Binatang Ganas

Kemarin, mereka menghabiskan waktu sepanjang hari untuk melihat-lihat seisi kota. Terowongan-terowongan bukan hanya menjalar di bawah tanah, ada banyak terowongan lainnya yang memintas langsung keluar: ke lembah-lembah, ke padang-padang rumput, dan ke tengah-tengah rimba, bahkan berakhir di tebing-tebing puncak pegunungan. Dengan teknik tertentu, dari sanalah cahaya matahari merambat menuju pedalaman kota. Andi sangat terkesan ketika mereka menelusuri dua terowongan menggunakan kendaraan listrik, yang satu berakhir ke bagian belakang puncak air terjun yang sangat tinggi, dan yang satunya lagi menuju ke sebuah sungai besar berair panas di tengah hutan. Selain menggunakan air dan cahaya matahari, kota itu juga memanfaatkan ‘Panas Bumi’ sebagai sumber energi listriknya. Andi teringat ketika Robotkita terbang mengambang tepat di tempat gas terdeteksi, alarm sensornya berbunyi, dan kemudian ia dan Pak Montir menemukan semburan lumpur panas. Itu hanya salah satu lubang kecil dari sekian banyak lubang cadangan panas bumi yang melimpah di Bumi ini. Ahli energi Emperum mendatangkan panas dari aktivitas tektonik itu untuk menggerakkan turbin penghasil energi listrik. Patutlah di kamar mandi ada air hangatnya. Emperum menguasai teknologi ramah lingkungan. Namun kenapa masih menambang uranium, minyak bumi, dan mineral-mineral logam lainnya? Lalu kenapa mesti Robotkita untuk menyelesaikan misi ini? Sekarang, anak-anak itu baru mengetahuinya. Pak Chixos telah menjelaskan semuanya ketika pertemuan terakhir untuk mematangkan rencana penyerangan ini. Keunggulan Pesawat Burung hanya di energi nuklir dan senjata laser, tetapi sistem pengendalinya masih sangat kuno. Hanya mengandalkan alat kontrol jarak jauh. Emperum belum—mungkin belum punya waktu mempelajarinya—menguasai teknologi satelit, internet, dan GPS, sehingga pesawat itu terbatas sekali jarak jelajahnya. Hanya mampu mengitari seputaran bangunan yang mirip mercusuar, tempat Pak Chixos mengendalikannya—yang kini baru anak-anak itu tahu, sebenarnya itu sebuah bangunan pertambangan. Jadi wajar saja kalau Emperum sangat tertarik dan menaruh harapan besar pada Robotkita. Anak-anak itu pun yakin sekali mengenai binatang-binatang ganas yang diciptakan dengan teknologi rekayasa genetik itu belum diketahui oleh penduduk kota mereka. Tidak seorang pun, juga para pakar dan guru di sekolah. Kalau pun ada itu hanya segelintir orang yang sebaya kakek mereka di Dewan Kota—orang-orang yang dulunya suka bertempur demi pelbagai kepentingan. Setelah berakhir dengan kehancuran dan tidak mendapatkan apa-apa, akhirnya timbul kesadaran untuk menyelamatkan Bumi ini dengan mengatakan: ini rumah baru, Bumi lama sudah sirna. Bahkan sekarang berusaha mencari planet lain yang bisa ditempati, tetapi kenapa harus merahasiakan tentang binatang ganas itu? 

Hari ini kenyataannya, ada seorang raja bersama rakyatnya yang masih bekerja tanpa henti untuk menyelamatkan semua umat manusia. Dengan pengetahuan seadanya dan keterbatasan teknologi yang mereka miliki, terpaksa menambang lagi untuk mengambil apa pun yang masih tersisa di perut bumi. Emas, besi, tembaga, dan bermacam logam lainnya untuk mereka leburkan sebagai bahan pembangun tembok besar guna memagari sekeliling sebuah pulau yang jauh di tengah samudra sana. Di sanalah binatang-binatang raksasa buas itu dipenjara. Dan kabar baiknya, ponsel anak-anak itu yang dirampas ketika mereka ditangkap sudah dikembalikan.

Andi membuka lagi surel via ponselnya. Ada satu kelanjutan cerita aneh di kotak masuknya dan ia membacanya saat semua temannya sedang tertidur.

***

Kepada Andi di kota penuh buah-buahan.

Kami tiba di markas kapal selam raksasa bawah tanah tepat pada tengah malam. Seorang lelaki berusia awal lima puluhan menyambut dan membawa kami ke kamar peristirahatan. “Cucu Anda kelihatannya pintar sekali, Prof?”

Bapak tersenyum, tidak menanggapi omongan basa-basi lelaki itu.

“Selamat istirahat, Prof. Besok pagi kami akan memperkenalkan kalian kepada semua manusia yang masih tersisa di dunia ini.”

Bapak mengangguk dan segera menutup pintu kamar. Aku tentu saja masih ingat dan tahu siapa dia: Wangga. Aku juga mengenali beberapa orang yang ikut bersamanya pada saat mereka berbincang-bincang sesaat dengan Bapak di luar tadi. Mereka semua teman sepermainanku; teman sejak masa kanak-kanak yang menyenangkan sampai masa remaja. Hanya sampai di situ, sebab tubuhku tidak penah menuju ke fase dewasa. Kemudian tentu saja mereka semua tidak bisa mengenali lagi wajahku. Sebagaimana kejadian pada awal Agustus tahun itu tatkala wajah bulan bisa kelihatan setengahnya hingga siang hari di bandara, delapan belas tahun lalu—beberapa tahun setelah selesai perang besar: penyebab peta bumi berubah—ketika aku bermaksud menyapa Wangga, dia malah memberiku sebatang coklat batangan. Mungkin dia pikir aku seperti remaja lainnya yang terkagum-kagum dengan seragamnya dan bercita-cita jadi pilot tempur seperti dia. Aku rasa memang tidak ada gunanya memberitahu mereka siapa aku. Yang penting aku sudah tidak perlu lari dan bersembunyi, tidak dikejar-kejar serdadu Kota Tersembunyi itu lagi. Operasi wajah yang kurang sempurna—yang menghilangkan semua rambut di kepalaku—pada usia tiga puluh dua tahun selepas aku dan Bapak berhasil melarikan diri dari sekapan raja angkuh itu setidaknya menjadikan kami manusia yang merdeka sampai hari ini.

Akan kulanjutkan sewaktu-waktu.

Dari Kawanmu. Biner.

***

Andi tercengang, sekarang baru ia tahu nama si pengirim surel ini, tapi ia belum pernah mendengar nama itu, dan mengaku sebagai teman sepermainan masa kecil kakeknya. Dan apakah yang dimaksud dengan Kota Tersembunyi itu adalah Emperum ini? Serdadu yang mengejarnya jangan-jangan pasukan Pak Chixos! Binatang buas itu adalah robot binatang. Tapi, dalam ceritanya robot binatang adalah robot baik yang membantunya. Dan raja angkuh yang ia maksud apakah ayah Teuga? Tidak mungkin, atau mungkin kakek Teuga. Itu kalau semua ceritanya benar. Andi memutuskan tetap merahasiakan cerita ini dari teman-temannya. Dan ia harus segera tidur.

*** 

Esok paginya. Sebuah kapal selam kuno bertenaga nuklir bergerak ke arah pulau penjara. 

"Kita sampai di sini!” teriak Kapten Kapal yang sedang mengamati keadaan di luar melalui periskop.

Salah satu awak kapal membuka pintu kedap menara. Mereka yang sudah bosan duduk berjam-jam dalam lambung sempit bergegas keluar, lalu menaiki perahu karet, dan Pak Chixos segera menghidupkan mesin tempel di buritannya. Andi dan Deni mengambil posisi duduk di sisi kiri saling berhadapan dengan Hendra dan Teuga yang menempati sisi kanan, dan Robotkita berada di tengah-tengah mereka, sedangkan Pak Montir dengan senapannya bersiaga di moncong depan.

“Kita ke pulau indah itu?” Andi belum melihat ada pagar tembok tinggi yang mengelilingi sebuah pulau sebagaimana cerita Pak Chixos.

“Kita menyerang dari pulau itu!” kata Pak Montir.

“Berapa jauh lagi pulau penjara?” tanya Hendra.

“Tidak jauh lagi. Bisa terlihat dari puncak bukit,” jawab Teuga.

Lihat selengkapnya