Baru separuh perjalanan pulang saat menuruni bukit, Pak Chixos berhenti mendadak sambil merentangkan kedua tangan, semua orang yang berjalan di belakangnya terperanjat dan terdiam di tempat. Jalan setapak di hadapan mereka dipenuhi gumpalan asap hitam dan dengan begitu cepatnya semakin terlihat di mana-mana.
“Dulu di lautan ini, sebelum terbentuk pulau-pulau kecil seperti ini, pulau ini beserta pulau lainnya yang berjejer di sana dan pulau penjara binatang ganas merupakan satu daratan yang menyatu. Di daratan tersebut banyak terdapat terowongan bawah tanah sebagai penghubung antar bungker bagi prajurit tempur.”
Kegembiraan di wajah mereka memudar seketika begitu mendengar penjelasan Pak Chixos, dan kini yang terlihat di hadapan mereka hanyalah kegelapan.
“Pantas saja lautan yang memisahkan kedua pulau kecil ini begitu dangkal,” kata Andi, napasnya masih terengah-engah, ia lalu duduk ke sebuah batu dan terpikirkan olehnya sesuatu yang bisa saja datang mengancam. “Asap ini datang dari sana, kan?”
"Pastilah banyak terowongan utuh, dan menjadi terowongan bawah laut yang menghubungkan dua pulau kecil ini," kata Hendra.
“Melalui terowongan itu, binatang ganas bisa saja sampai di sini!” Deni terlihat teramat resah.
Pak montir mengaktifkan senapan laser di tangannya. “Kita kembali ke atas!” perintahnya. “Cari tempat berlindung!”
Mereka segera berbalik, membelakangi Matahari yang mulai condong ke barat, dan mendaki lagi dengan waswas, kembali ke puncak bukit yang mulai ditinggalkan burung-burung karena ketakutan.
“Pak Chixos, kita tak punya banyak waktu!” teriak Pak Montir saat melihat si panglima perang itu bermaksud mendekat ke sebuah lubang batu di dekat tebing yang baru saja mengeluarkan asap hitam.
Asap hitam itu juga mulai keluar dari rongga-rongga tanah, muncul di sela-sela bebatuan besar, dan merambati celah-celah tebing di jurang-jurang di kaki bukit, terutama di gundukan-gundukan tanah di sepanjang jalan setapak yang menuju pantai.
“Kita berlindung ke mana!” teriak Hendra sambil melihat-lihat ke segala arah.
Puncak bukit ini hanyalah lapangan rumput kering yang datar dan hanya ada sebuah bangunan kayu pos pemantau berdiri di tanah yang sedikit lebih tinggi. Bukan ide bagus bertempur di situ dengan mengandalkan sebuah senapan bila binatang ganas benar-benar datang menyerang.
“Deni, terbangkan Robotkita!” perintah Pak Montir.
“Itu!” Teriakan Hendra mengagetkan semua orang.