Robot Jahat

Dirman Rohani
Chapter #14

Tentang Biner

Dua minggu kemudian.

"Seseorang yang belum kukenal ingin bertemu dengan kita. Sebelumnya melalui surel, dia sudah beberapa kali menceritakan kisah hidupnya yang sangat aneh. Awalnya kupikir itu cuma bualan dan mengada-ada. Coba kalian bayangkan! Dia bilang dia pernah menjadi teman sepermainan masa kecil kakekku. Cerita-cerita aneh lainnya mirip cerita dari Pak Chixos: tentang peperangan pada masa lalu dan tentang binatang-binatang, tetapi binatang dalam cerita dia, robot!"

"Robot!" Deni, Hendra, Cempaka, dan Rara terlonjak dari bangku taman dan terheran-heran.

"Yang membuatku penasaran, pengetahuannya tentang kejadian-kejadian pada masa lalu tak jauh berbeda seperti yang tertulis dalam buku-buku kuno milik kakekku yang tersimpan dalam bungker bawah tanah di rumahku. Atau jangan-jangan ... bisa saja dia memiliki buku yang sama, buku peninggalan kakeknya juga, mungkin."

“Buku kuno? Di bungker bawah tanah? Buku apa?” Hendra tampak sangat antusias dan penasaran.

Rara menimpanya lagi dengan pertanyaan selanjutnya, “Cerita aneh? Ceritakan dari awal bagaimana ceritanya, An.”

“Ceritakan dari awal ceritanya, An!” ulang Cempaka.

Andi terdiam dan berpikir: Apa sebenarnya yang telah terjadi pada Bumi ini di masa lalu? Sebagian cerita peristiwa masa lalu yang tidak pernah mereka pelajari di sekolah; segala yang telah terjadi di pulau kecil tempat terkurung binatang-binatang ganas itu; Teuga dan kota Emperum-nya; juga segala hal yang telah mereka lalui dan alami bersama, telah mengubah cara mereka memahami kondisi bumi hari ini. 

Setelah Andi menceritakan cerita aneh dari Biner, keempat temannya begitu antusias ingin bertemu Biner dan melihat-lihat buku kuno di bungker bawah tanah di rumahnya. Cempaka dan Rara berniat meminjam buku-buku itu. Tentu saja Andi tidak keberatan. Namun, ini bukan hanya masalah buku. Ada yang lebih penting yang mesti mereka cari tahu segera. Ya, anak itu. Siapa anak itu? Biner, si pemilik cerita aneh, dan Andi melanjutkan, “Karena penasaran. Sebelum tidur, aku menyalakan laptop, menonton ulang sebuah video singkat darinya. Dia memang cuma seorang anak kecil, duduk dalam sebuah ruangan sempit, mungkin itu kamar tidurnya, lalu melambaikan tangannya, lalu bertanya, ‘Kapan kita bisa jumpa?’ Kebetulan aku mau beli tali pelontar katapel, maka kuajaklah: ‘Besok aku ada keperluan di Pusat Kota. Pukul tiga pas kita jumpa di stasiun bus’. Dan dia segera memberi jawaban: ‘Baiklah, tunggu aku di sana’. Nah, di hari itu keluar dari pertokoan yang dekat dengan stasiun bus—walaupun sebenarnya tidak yakin dia bakal datang—aku menanti demi menepati janji, setidaknya aku duduk sebentar sambil membaca. Sesekali aku melihat sekitar dan memandang ke kejauhan sambil berharap. Berharap akan menangkap wajah sesosok anak. Kemudian karena sepuluh menit telah berlalu, tidak ada toleransi waktu melebihi itu, kan! Dia berbohong, tidak menepati janjinya, dan aku segera pulang. Bayangkan coba! Sampai sebulan lamanya belum juga kuterima alasan darinya. Namun, tadi malam selesai mengulang pelajaran sekolah, sebelum mematikan laptop, aku kaget sekali! Meskipun mataku sudah sangat berat, kupaksakan juga membaca pesan yang baru beberapa detik saja dilayangkannya: ’An. Maaf, aku belum bisa. Ada orang yang terus mengikutiku. Andai tidak berada dalam keramaian kota, pastilah dia bisa dengan mudah menangkapku. Tapi jangan khawatir, aku cepat menghilang dari incarannya. Sekarang aku kurang sehat, sewaktu-waktu aku cerita-cerita lagi, ya’. Aku bepikir-pikir siapa yang mengikutinya? Dan untuk apa?"

Andi menatap satu demi satu wajah teman-temannya. Deni mengernyitkan alis hingga kacamatanya kedodoran dan Hendra mengangguk-angguk saja. Cempaka matanya terpicing barangkali kelelahan memikirkan maksud cerita itu dan Rara pandangannya melotot sambil menopang dagu mungkin kepalanya menjadi berat, penuh dengan cerita aneh itu.

Lihat selengkapnya