Robot Jahat

Dirman Rohani
Chapter #15

Bertemu Biner

Entah siapa yang mengunggahnya. Kemarin, sebuah gambar kobaran api besar serta kepulan asap hitam yang menyelimuti sebuah pulau sempat viral, menjadi perbincangan banyak orang. Ada yang bilang itu gambar palsu dan hoaxs, dan banyak juga yang berpendapat itu hanyalah satu kawasan vulkanik hasil pemotretan satelit. Namun, tidak lama berselang gambar itu tidak bisa dilihat lagi, telah dihapus. Jadinya gambar yang sebenarnya adalah pulau tempat terkurung binatang ganas dianggap angin lalu saja oleh semua orang. Tidak ada kepanikan. Tidak ada kecemasan dan perasaan merasa terancam. Tidak ada yang berpikir macam-macam. Semua orang melanjutkan kehidupan normal mereka seperti biasa kembali.

Sesungguhnya orang-orang itu memang belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun, bagi Andi dan keempat temannya ini sungguh masalah serius! Pada jam istirahat, mereka mempersoalkan lagi tentang gambar itu dan menyimpulkan bahwa gambar kobaran api serta asap hitam itu memang hasil pemotretan satelit. Namun mereka belum berani menduga-duga, maksud apa atau pesan apa yang ingin disampaikan oleh si penggugahnya dengan sebuah gambar tanpa ada penjelasan sekalimat pun kata-kata dan dia pastilah punya akses ke gedung antariksa. Atau bisa jadi dia bekerja di sana. Tebakan Deni: pastilah dia seorang yang sangat jengah menghabiskan waktunya di tempat kerja yang penuh kebohongan. Perkiraan Hendra: ingin pensiun dini karena pekerjaannya yang membosankan.

Rara dan Cempaka hanya menggeleng-gelengkan kepala, bukan karena kelakuan si pemasang foto, tapi penyebabnya: Deni dan Hendra malah beradu argumen, debat kusir yang tak akan pernah berakhir sampai kapan pun jika mereka tidak segera meleraikannya. Dan ironinya dalam topik perdebatan itu ada kakek Andi yang tergabung dalam kelompok elit ekspedisi luar angkasa, punya kursi dan meja kerja di tempat yang penuh kebohongan dan membosankan itu.

Oleh karena itulah mereka tertantang untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya pada persoalan ini. Bagaimanapun aral melintang akan mereka tempuh dan segala resikonya akan mereka tanggung. Buktinya hari ini mereka mendatangi gedung antariksa.

Akan tetapi mereka sangat kecewa begitu tiba di sana karena hanya dianggap anak-anak ingusan yang hanya penasaran pada gambar kawasan vulkanik.

Kesal dijadikan bahan tertawaan beberapa orang penerima kedatangan mereka dalam sebuah ruangan semacam tempat pusat informasi, Hendra geram dan sewaktu perang mulut hampir saja dibocorkannya rahasia yang selama ini ia simpan—tentang peristiwa yang telah ia alami di pulau penjara. Dan masih tetap jadi rahasia karena Rara dan Cempaka secepatnya menarik lengan Hendra, Andi dan Deni mendorong badannya keluar dari ruangan itu.

Sedikit merasa beruntung, mereka berpapasan dengan seseorang yang mengenal Andi, dan Andi memohon kepadanya supaya ia bersama teman-temannya bisa ke ruang kontrol satelit atau bertemu seseorang yang bertanggung jawab di sana. Namun, orang itu malah menyarankan agar mereka datang bersama kakek Andi yang punya akses masuk ke mana saja. Merasa kondisi semakin di atas angin, Andi bertanya, “Sudah tiba di mana kakek saya?”

Yang ditanya diam saja dan tampak kebingungan.

“Bawa kami ke ruang komunikasi. Saya ingin bicara dengan kakek,” pinta Andi penuh harap.

Lucunya orang itu hanya mengangkat bahunya, lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.

“Kebanyakan orang dewasa memang aneh!” gumam Deni.

"Kita periksa saja setiap ruangan!” ide Hendra. Ide yang tidak masuk akal menurut Andi. Ada-ada saja si sok mantap ini. Gedung ini punya ratusan pintu yang tidak bisa terbuka sembarangan. Dan lucunya, mereka mendekati juga sebuah pintu, lalu menempelkan telapak tangan ke monitor kecil yang ada di sebelahnya. Jangan ditunggulah, mereka semua malah tergelak sendiri, karena sampai kapan pun pintu itu mustahil terbuka. 

Setelah puas menertawakan diri mereka sendiri, kelimanya duduk ke lantai dan kemudian hanyut dalam lamunan masing-masing karena belum tahu harus berbuat apa, boleh dibilang putus asa, dan baru saja Andi merasakan tarikan napasnya yang gundah, ponselnya berbunyi—dari seseorang yang belum ia tahu siapa. Tak ia sangka, rupanya Biner! Yang membuat mereka semakin penasaran pada anak ini: bagaimana dia bisa tahu mereka sedang berada di gedung antariksa?

Ingin mendapatkan jawaban secepatnya, mereka lekas beranjak, keluar dari gedung besar itu dan segera menyusul Biner ke tempat yang pernah Andi sepakati untuk bertemu dengannya. Ya, di bangku tunggu stasiun bus.

Dan setengah jam kemudian mereka tiba di stasiun. Begitu turun dari bus, pandangan mereka langsung tertuju ke seorang anak yang duduk di bangku tunggu dan tampak serius mengamati laptop di pangkuannya. Kepalanya gundul, sehingga Andi yakin 99 persen dia pasti Biner, dan saat mereka sudah berada di dekatnya, dari jarak yang tidak sampai sepanjang lapangan bulu tangkis, Andi memanggilnya dengan cara sedikit berteriak.

Anak itu menoleh ke arah mereka, lalu bangkit seraya tersenyum begitu Andi dan teman-temannya sudah sangat dekat dengannya. Andi terdiam sesaat di tempatnya, ia teringat pada seseorang ketika pandangannya jatuh ke sebuah topi di bangku kosong di sebelah Biner duduk, dan teman-temannya pun mematung di belakangnya menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Andi mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. "Kamu anak kecil bertopi itu, kan?" tanyanya tiba-tiba.

Akan tetapi, tanpa basa-basi Biner segera memperlihatkan laptopnya: penampakan langsung suasana gedung antariksa!

“Bagaimana bisa terhubung ke kamera pemantau di gedung itu?!” tanya Deni keheranan.

“Sebelum mereka tahu dan melacak keberadaan kita, aku keluar dulu dari jaringan ya,” ucap Biner sambil mematikan laptopnya. “Aku menyusup ke sana.”

“Kamu, Peretas!” Hendra berkata pelan sambil menarik lengan Biner, membawanya duduk kembali.

“Itu pekerjaan seorang pengacau di zaman dulu! Betul, kan, An?”

Andi menepuk jidatnya. Yang dikatakan Hendra tidak salah. Sekarang pun mengakses komputer orang lain tanpa izin perbuatan yang sangat melanggar hukum juga.

“Untuk saat ini kita harus lebih hati-hati. Sebaiknya menjauhi segala perbuatan yang bisa menimbulkan masalah,” sarannya, ia menatap Biner.

“Jangan-jangan yang mengejarmu dulu ... pekerja gedung antariksa?” tanya Deni.

"Bukan, bukan ... itu tidak ada hubungannya—”

“Jadi siapa?” Hendra memotong.

"Yang memasang gambar itu, memang aku,” lanjut Biner dengan raut muka yang tampaknya sangat mengkhawatirkan sesuatu, ia lalu menyapu pandangannya ke segala arah. “Akan kujelaskan, tapi jangan di sini dan jangan sekarang.”

"Bagaimana kalau di perpustakaan bawah tanah rumah Andi?” Cempaka angkat bicara.

"Boleh. Sabtu depan saja, bagaimana?”

“Boleh.” Hendra tampak antusias sekali, lalu bertanya ke Biner, “Bisa, kan?”

"Baik.”

"Ya, aku setuju,” timpal Rara.

“Hampir sore. Kita bubar?” Deni bangkit dari duduknya.

"Kamu anak kecil yang berdiri di bawah pohon rambung itu, kan?" tanya Andi lagi pada Biner.

Biner tak mengiyakan, ia langsung pergi dan berlari dan menghilang di balik sebuah bus yang terpakir di tengah-tengah area stasiun, dan keempat anak itu pun hanya menatap Andi dengan bengong, tak begitu paham apa maksud dari pertanyaannya itu.

“Aku tunggu kalian datang.” Andi menutup pertemuan mereka, lalu semuanya bergegas menuju bus jurusan tempat tinggal masing-masing.

*** 

Hingga hari ini Andi belum menemukan penjelasan tentang sebuah planet lain yang mirip Bumi ini dalam buku-buku kuno. Mungkin karena belum semua buku-buku itu ia baca. Ada banyak sekali planet-planet di alam semesta yang letaknya masih belum terjangkau oleh kekuatan teknologi manusia hari ini. Andai benar ada sebuah planet lain yang serupa Bumi, apakah semua penduduk kota ini akan mengolonisasi ke sana? Bagaimana dengan Raja, Teuga, dan semua penghuni Emperum? Bolehkah ikut juga? Andi dan teman-temannya sama sekali belum tahu sudah sampai sejauh mana misi pencarian bumi baru itu. Tadi sore sebelum ayah dan ibunya menuju sebuah tempat; untuk belajar bagaimana cara bertani di Bumi baru nanti, sempat ia bertanya: Apa Ibu pernah berkomunikasi dengan Kakek setelah hari peluncuran pesawat ekspidisi itu? Ibunya yang sedang sibuk mengemas pakaian diam saja dan hanya terdengar ucapan ayahnya dari teras rumah: nasihat itu sudah berulang kali ia dengar. Apalagi kalau bukan mengingatkannya supaya selalu giat belajar, mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk masa depan.

Jangan-jangan ... bumi baru memang sudah ada! Tanahnya ada di sini sebagai bahan penelitian untuk mengetahui tanaman apa yang bisa tumbuh di sana kelak. Lalu apakah di sana tidak ada tumbuh-tumbuhan? Mungkin ada, tapi beda. Berarti planet itu tidak serupa Bumi ini, kan? Ah entahlah, dini hari ini daya pikir Andi benar-benar tak sanggup lagi menganalisis hal tersebut, ia tertidur. 

*** 

Andi membuka jendela rumahnya agar udara pagi lebih leluasa masuk. Ketika menyiram tanaman-tanaman hias ibunya yang nyaris menutupi perkarangan rumah itu, ponselnya berbunyi. “Ya, tunggu,” katanya.

Tidak ingin teman-temannya menunggu terlalu lama di halte, ia mengeluarkan sepedanya dan bergegas ke sana menjemput mereka, tapi saat mendekati satu persimpangan jalan sebelum halte, ia malah melihat mereka sedang berlari ke arahnya.

“Ada apa?!” Ia buru-buru berhenti dan menyandarkan sepedanya ke tiang lampu jalan di pinggir mulut sebuah lorong.

Biner dan Deni yang tidak terlalu jauh di belakang Cempaka dan Rara yang telah tiba duluan di depan Andi, tampak masih berlari, dan Hendra yang tertinggal jauh di belakang keduanya berteriak, “Jangan berhenti!”

"Kenapa!” Andi malah ikut-ikutan panik.

"Seseorang yang sering mengejarku ada di sana!” Biner menunjuk ke arah halte begitu ia sudah di dekat Andi. “Dia berdiri tak jauh dari halte.”

“Dia mengikuti kami,” kata Deni sambil mengatur napasnya.

Waduh, ini gawat! Tidak mungkin Andi membawa teman-temannya ke rumahnya dalam situasi begini. Ia berpikir cepat: di mana tempat persembunyian sementara.

“Ikut aku!” Ia memilih masuk lorong terdekat dari tempat mereka berdiri—jalan pintas menuju area perkebunan. Mereka pun berlari menyusuri jalan kecil yang hanya bisa dilalui sebuah mobil yang dihimpit pagar tembok perumahan sekitar.

“Masih jauhkah ....” Terdengar suara Deni, mulutnya sudah terbuka karena kecapaian.

“Baru lari segitu aja sudah capek!” Hendra tampak kesal dan mendorong badan Deni.

Andi segera menarik lengan Deni, mencegahnya berhenti. “Hampir tiba, sedikit lagi. Sudah kelihatan area perkebunan. Kita sembunyi di sana, di pondok kebunku.“

Akan tetapi, setelah keluar dari mulut lorong, mereka terpaksa juga berhenti sebentar untuk mengatur napas. Andi, Biner, serta Hendra sesekali mengintip ke dalam lorong. Tidak ada siapa pun di ujung sana, sepanjang jalan sempit itu lengang. Mereka boleh bernapas lega sesaat.

Lihat selengkapnya