Robot Jahat

Dirman Rohani
Chapter #17

Rumah Biner

Deni dan Hendra menginap di rumah Andi, dan pagi ini, masih pagi sekali, menggunakan mobil ayah Andi, ketiganya menuju sebuah tempat sebelum halte perumahan Camar Laut. Teuga sedang menanti mereka di sana.

Setiba di tempat itu, Andi langsung menyembunyikan mobilnya ke balik semak-semak dekat kaki bukit yang tidak terlalu jauh dari dermaga kecil tempat Pak Montir menambat kapal cepat-nya, lalu mereka berjalan kaki menyeberang jalan, dan begitu sampai di dermaga, mereka segera menguasai kapal cepat itu. Andi dan Hendra menarik jangkarnya, dan Teuga langsung naik ke ruang kemudi.

“Bau belerang,” kata Deni, ia lalu membekap hidungnya.

Andi meraih senter yang tergantung di dinding kapal. Sinar lampu senter yang tajam mampu menembus hingga dasar perairan yang sedang surut sehingga koloni terumbu karang di dalamnya bisa terlihat dengan jelas. “Itu!”

Ikan-ikan kecil terlihat mengapung di permukaan air.

“Pasti mabuk karena belerang,” kata Hendra, ia lalu mendekatkan kepalanya ke permukaan air. “An! Buih apa itu?!”

Sorot sinar senter diarahkan ke sana oleh Andi, ternyata benar apa yang dilihat Hendra. Di tempat-tempat tertentu di dalam air terlihat gelembung-gelembung kecil yang keluar dari celah-celah batu karang.

“Ayo! Kita harus cepat.” Terdengar suara Teuga dari ruang kemudi.

Kapal cepat meninggalkan hutan bakau dan menerobos kabut pagi yang masih bermain-main di atas permukaan air. Tentu saja aksi mereka ini tanpa sepengetahuan Pak Montir dan burung-burung bangau yang masih terlelap.

Satu jam kemudian, fajar pun menyingsing. Sinar matahari mulai menyoroti lautan.

“Kita sudah tiba di zona padang lamun!” teriak Andi.

“Tahu dari mana?” tanya Deni.

“Itu lihat!"

Sejauh mata mereka memandang hanya terlihat hamparan rumput di dalam air yang penuh sesak dengan ikan kecil berwarna-warni. Andi sudah menyaksikan pemandangan ini ketika bersama ayahnya. “Berarti hamparan sampah itu sudah dekat,” katanya.

“Berapa jauh lagi?” tanya Hendra.

“Melewati padang lamun ini, kira-kira satu jam lagi. Dulu ayahku salah seorang relawan yang ikut merestorasinya. Rumput itu tempat bernaung biota laut, mencegah terjadi abrasi, juga sangat berperan terhadap mitigasi karbon.”

"Percuma saja karena masih banyak sampah plastik di sana!" teriak Hendra.

“Jadi hamparan sampah itu ada di lautan tak bertuan, ya?” tanya Deni.

“Laut lepas,” Teuga yang menyahut.

“Makanya tidak ada yang peduli dengan sampah plastik itu—”

“Karena bukan teritorial siapa pun,” Hendra memotong ucapan Deni.

“Teritorial siapa! Hanya ada kita dan robot kombatan di Bumi ini,” kata Andi.

“Bumi ini sungguh sangat memprihatinkan—”

“Kita harus selamatkan Bumi ini!” Seruan Hendra menenggelamkan suara Deni barusan.

“Pertama, menyelamatkannya dari robot kombatan!” seru Deni.

“Apa itu!” teriak Teuga.

Ketiga anak itu segera masuk ke ruang kemudi. Teuga menunjuk dua titik hitam kecil berkelip-kelip di kaki langit yang kemudian menghilang.

“Mungkin robot?” Meskipun menggunakan teropong, Andi masih belum bisa melihatnya dengan jelas. “Atau mungkin drone seperti Pesawat Burung?”

"Bukan Pesawat Burung kami,” kata Teuga.

“Lalu siapa—”

“Robot kombatan,” tebak Hendra.

“Yang sedang berpatroli,” sambung Deni.

Mereka tergelak. Dan, tidak lama kemudian. “Itu pulaunya," tunjuk Andi.

“Di mana letak rumahnya?" tanya Hendra.

“Mungkin rumah tersembunyi,” kelakar Andi.

Lihat selengkapnya