Andi terbangun karena guncangan, ia refleks mengikuti Biner dan tangan mereka berpegang erat-erat pada sebuah tiang. Di lantai kapal, ransel mereka menggelinding ke mana-mana hingga terbentur ke dinding. Untung saja robot kokpit terikat di tiang luar ruang kemudi. Dalam kondisi terhuyung begini ayah Andi mengingatkan mereka sampai berulang kali, "Jangan panik!"
Lalu si ayah berteriak berulang-ulang sedikit berirama seakan sedang bernyanyi, "Gelombang tinggi dan badai bukan hambatan. Jangan gentar!”
Cuaca makin bertambah buruk. Guntur tanpa henti menghantam gendang telinga mereka dan gerak penyeka kaca ruang kemudi kapal itu telah kalah telak dengan kecepatan terpaan hujan. Di bawah goresan ribuan sinar halilintar dan dalam kegelapan lautan, kapal itu terus melaju melawan gempuran hujan dan serangan badai.
Jam ke jam berlalu. Lima jam kemudian barulah suasana berubah dan kapal cepat itu memasuki teluk yang sangat tenang. Hujan dan badai memang reda, namun tidak dengan petir—kilat di langit membaur fajar yang mulai menyebar dari ufuk timur.
Sekarang, sebuah daratan di atas tebing tinggi menjulang di hadapan mereka. Andi meneropong ke sana. Sejauh kemampuan jangkauan pandangan teropongnya, di atas daratan tandus itu hanya ada bangunan-bangunan berbentuk limas berwarna hijau yang berkilap dan menyala-nyala terkena sorotan sinar matahari dan pantulan cahaya petir. Bentuk semua bangunan itu mirip sekali piramida di masa lalu. Ribuan mata petir yang seolah-olah sedang merobek-robek langit di atasnya pastilah sebagai sumber energi listrik bagi robot-robot itu.
Tanpa ada gangguan, si ayah menyandarkan kapal cepat di kaki tebing. Benar kata si ayah tempo hari, di pusat kota robot-robot itu masih larut dalam euforia setelah berhasil menaklukkan Emperum tanpa perlawanan. Sampai detik ini belum tampak satu robot pun yang menghadang perjalanan mereka.
Biner bergegas masuk ke kokpit robotnya dan Andi melepaskan pengait tali yang mengikatnya. Andi dan ayahnya langsung dirangkul oleh robot yang dikendalikan Biner. Lalu Robot Biner terbang serendah mungkin agar terhindar dari pantauan robot-robot penjaga—siapa tahu barangkali ada.
Mereka menuju sebuah bangunan piramida terdekat yang paling besar dan tinggi. Robot Biner masuk ke dalamnya melalui sebuah rongga besar di salah satu sisi di bagian puncaknya. Kata si ayah susunan balok batu piramida itu batu giok dan ternyata itu bangunan tempat si robot merakit robot-robot yang baru. Seperti bengkel produksi atau pabrik. Ruangan di dalamnya sangat luas, hampir lima kali lapangan sepakbola. Banyak panel-panel elektronik menempel di dindingnya. Setiap bagian tubuh robot yang belum terangkai beserta suku cadang lainnya teratur rapi pada tempatnya di tengah ruangan. Jelas ini bukan istana raja. Mereka pun lekas meninggalkan piramida itu.
Robot Biner menerbangkan Andi dan ayahnya lagi, melewati banyak piramida. Sekarang tepat di atas piramida yang lebih kecil daripada piramida pabrik tadi, dan yang ini sungguh berbeda, dari dekat baru kelihatan; duri keemasan bertaburan di seluruh permukaan dindingnya. Itu pasti penangkap petir. Untuk membuktikannya mereka masuk ke sana. Ternyata benar, di dalamnya terdapat banyak transformator, dan baterai yang tersusun hingga puncak ruangan. Kemudian mereka keluar meninggalkan piramida itu.
"Tunggu! Lihat di sana?” Si ayah menunjuk ke sebuah tempat, ke sebuah area terbuka yang dikelilingi banyak tempat duduk, mirip lapangan sepakbola dengan tribune terbuka. Lapangan itu dipenuhi Bangkai-bangkai robot.
“Kenapa banyak robot mati di sana, Yah?”
"Itu arena.”
"Arena apa, Yah?”
"Robot-robot terdahulu yang masih berteknologi usang melatih dan menguji robot-robot baru ciptaan mereka.”
Andi terdiam, ia teringat pada penjelasan Pak Montir tentang laba-laba ketika mereka berada di hutan. Kewajiban terakhir ibu laba-laba melatih insting predator anak-anaknya. 'Dan kalian pun suatu hari nanti harus siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di Bumi ini’. Kata-kata Pak Montir itu masih melekat dalam ingatannya.
“Itu bangkai robot yang lebih tua, Yah?”
"Ya, mereka bertarung di sana. Pertarungan ala gladiator.”
"Untung saja robot binatang ganas belum punya kemampuan menciptakan diri mereka sendiri, Yah?”
Si ayah memasukkan alat pendengar ke lubang telinganya.
“Di sana. Di sana Raja itu.” Si ayah menunjuk sebuah bukit kecil. Di puncaknya berdiri sebuah piramida yang tidak terlalu besar.
Robot Biner pun segera membawa mereka ke sana.
Mereka berhenti dan mengawasi bangunan itu dari jarak yang tidak terlalu jauh lagi. Si ayah mengeluarkan potongan-potongan senapan dari tas ranselnya. “Kami akan melumpuhkan dua robot pengawalnya,” kata si ayah pada Biner sambil mengeluarkan sebuah benda sebesar kepalan tangannya, lalu melekatkannya di pinggang anaknya. “Ini alat komunikasi kita dengan Biner.” Si ayah memasukkan sebuah alat pendengar lainnya ke lubang telinga si anak.
“Baik, Pak. Aku paham.” Sekarang Andi sudah dapat mendengar suara Biner yang duduk dalam kokpit robot.