Robot Jahat

Dirman Rohani
Chapter #23

Pertarungan Terakhir

Andi dan ayahnya memang sudah terlambat. Dari jarak yang tidak terlalu jauh lagi, zona tertutup pada masa lampau itu terlihat lengang. Mereka segera mengenakan masker dan pakaian antiradiasi. Andi kemudian berdiri di moncong kapal dan meneropong hamparan di depannya. Tidak ada pohon. Tidak ada bangunan. Tidak ada apa-apa! Burung laut pun enggan melintasi langitnya: mereka peka terhadap racun yang masih mengancam di sana. Yang terlihat hanyalah bangkai robot; tindih-menindih dan berserakan di mana-mana. Kata ayahnya, semua puing bangunan masa lalu bersama sampah radioaktif sudah terkubur di tengah-tengah pulau itu.

Kapal cepat tidak boleh terlalu dekat dengan pulau itu. Peralatan navigasinya bisa ikut rusak nanti. Alat komunikasi Biner tidak berfungsi lagi dan robot yang dikendalikannya sudah pasti mati, dan memang sudah direncanakan sedari awal, ia akan dijemput oleh Andi dan ayahnya.

Untuk merapat ke sana, Andi dan ayahnya menggunakan perahu kecil. Mereka mendayungnya sambil mengamati keadaan sekitar. “Bagaimana cara kita menemukan Biner, Yah?”

Ayahnya diam saja. Ayahnya pasti sedang memikirkan caranya, dan Andi sangat mengkhawatirkan keadaan Biner. “Jangan-jangan waktu robot Biner jatuh, langsung terjepit robot-robot lain yang mengejarnya, Yah.”

“Tidak begitu. Mereka tidak langsung rusak.”

Andi membayangkan tindakan Biner dalam kokpit ketika robot-robot kombatan itu mengepungnya. Robot Biner pasti masih mencengkeram Raja Robot, menggunakannya sebagai perisai. Lalu, begitu robot-robot itu mulai kacau sarafnya atau sistem kontrolnya tidak berfungsi lagi, Biner pun secepatnya keluar dari kokpit menjelang kematian robotnya. Atau bagaimana kalau seandainya robot Biner yang mati duluan? Dan Biner belum sempat keluar dari kokpit. Pintu kokpit tidak bisa terbuka lagi dan tidak ada pintu darurat di badan robotnya. Andi berharap semoga Biner baik-baik saja.

Setelah menarik perahu ke daratan, mereka melangkahi bangkai-bangkai robot dengan sangat hati-hati dan si ayah memeriksa beberapa di antaranya. Begitu yakin robot-robot itu memang sudah benar-benar mati, barulah mereka melangkah tanpa waswas lagi. Sesekali mereka berjalan mengitari tumpukan bangkai-bangkai robot yang menggunung, dan terkadang terpaksa merangkak di atasnya. Jauh, kini mereka semakin jauh berjalan, permukaan laut sudah hilang dari pandangan.

“Kita bisa tersesat, Yah.”

Ayahnya berhenti. Andi yang membebek di belakangnya langsung duduk di atas salah satu bangkai robot. “Kita istirahat sebentar, Yah.”

“Kita balik ke kapal,” kata ayahnya. “Tidak ada penanda di mana titik pusat pulau ini berada."

“Iya, Yah. Dan banyak sekali tumpukan bangkai robot. Menghindarinya saja sudah beberapa kali kita hanya berputar-putar di tempat ini. Kita kan bisa minta bantuan Kakek, Yah? Apa Kakek masih bisa memantau kita, Yah?”

“Seharusnya kita menghubunginya sebelum meninggalkan kapal.” Ayahnya tampak menyesalkan tindakannya sendiri.

“Apa itu, Yah?!” 

Terdengar bunyi benturan benda keras. Si ayah langsung mengawasi sekeliling dengan waspada. Dan tiba-tiba terdengar suara bergemuruh, seakan angin laut sedang menggabrukkan gundukan-gundukan bangkai robot.

“Di sana, Yah!” Andi menunjuk salah satu gundukan bangkai robot yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri.

Bangkai-bangkai robot itu menggelinding seperti gunung batu yang longsor. Apa! Ini mustahil. Terlihat sebuah robot menyeruak dari dalamnya. Robot itu sedang berusaha berdiri sambil membebaskan kakinya yang masih terimpit bangkai-bangkai robot, lalu menyingkirkannya satu demi satu sambil menatap Andi dan ayahnya.

“Lari!” Si ayah mendorong badan anaknya.

Sambil berlari sesekali Andi menoleh ke belakang. “Untuk apa dilihat lagi!” Ia dibentak oleh ayahnya.

Andi tidak menoleh lagi. Namun, robot itu terbangnya lebih cepat dan langsung mendarat di depan mereka. Tetapi pendaratannya tidak sempurna. Robot itu bangkit dengan sempoyongan dan berusaha untuk berdiri tegak. Sesaat kemudian barulah berdirinya bisa tenang.

Andi dan ayahnya terdiam, keduanya menengadah ke arah si robot yang juga tidak bergerak sama sekali. Jantung Andi berdetak sangat cepat, bunyinya menenggelamkan deru angin laut dari pendengarannya. Suasana semakin mencekam.

“Kenapa dia masih aktif, Yah?” Pertanyaannya memecah keheningan yang ngeri sesaat tadi.

“Yang ini mungkin versi terbaru. Komponennya memiliki pelindung antiradiasi. Leluhurnya punya pengalaman buruk dengan radiasi nuklir, kan?” Si ayah tertawa.

Andi mengamati robot itu. “Dia bukan robot tempur, Yah. Tidak ada laras senjata di balik lengannya.”

Si ayah mengambil sesuatu dalam tas ranselnya, lalu mengeluarkannya dengan cara seperti menghunus sebilah pedang. Tetapi bukan pedang, itu hanya sebuah palu, ia mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. Apakah akan dilemparkannya palu itu ke wajah si robot? Tidak, tidak mungkin. Masih terlalu jauh jarak mereka. Jika pun mengenai wajahnya tidak akan membuat otaknya tercopot seperti ketika ia menghajar wajah robot yang akan merampas rumahnya.

Lihat selengkapnya