Matahari sore mulai meredup, memberikan semburat warna jingga di langit. Di teras rumah yang teduh, seorang gadis duduk sendirian di kursi kayu. Dengan pandangan kosong, ia menatap brosur masuk kuliah yang ada di tangannya. Pikiran gadis itu melayang jauh, membayangkan masa depan yang penuh dengan peluang dan tantangan. Setiap lembar brosur yang dibaca seakan membuka pintu baru dalam hidupnya, dari jurusan favorit hingga universitas impian. Namun, di balik lamunan itu, ada keraguan dan kebingungan yang menyelinap. Apakah ia siap menghadapi dunia yang begitu besar dan penuh ketidakpastian? Gadis itu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengambil langkah pertama menuju masa depan yang belum pasti.
Jurusan yang disarankan oleh Tante Sophia sebenarnya lumayan dia suka, tetapi Rivera mencoba untuk memperkirakan persaingannya juga. Jurusan ini banyak diminati oleh beberapa kalangan terutama mereka yang tertarik menjadi PNS.
"Nduk, jadi gimana? Milih jurusan apa?" Suara Tania terdengar dari ujung pintu rumah, membuat Rivera menoleh ke belakang.
Rivera menggeleng pelan, "ehm, kayanya ikut Tante Shopia aja, Bu," jawab Rivera sedikit ragu.
"Ini, minum dulu tehnya," kata Tania sambil menyerahkan gelas berisi teh hangat untuk sang anak. "Sudahlah, kita ini udah nggak punya apa-apa, kamu bisa lanjut kuliah aja Ibuk sudah senang. Alhamdulillah om tantemu masih mau biayainnya. Ibuk ridho kamu ambil jurusan apa saja."
Rivera tersenyum kala melihat sang ibu duduk di kursi teras yang berada tepat di sebelah pintu rumah. Perempuan terlihat lebih legowo saat menatap anaknya. "Yang penting kamu niat menjalaninya. Sekolah yang bener, jangan kecewain ibuk, tante, dan om kamu yang sudah mau berjuang buat kamu. Kamu bisa lulus nanti tepat waktu aja ibuk sudah bangga, Nduk," kata Tania dengan lembut.
Rivera tidak mampu membendung rasa harunya. Dia beranjak dari duduknya dan memeluk ibunya dari samping. Sebagai single mother, ibunya termasuk perempuan kuat yang bertahan hingga sekarang dengan berhasil mendidiknya menjadi gadis dewasa seperti sekarang.
"Makasih, ya, Buk..."
***
"Anjir, rumah lo jauh banget, Cal!"
"Aslinya sama aja sih kalau dari rumah gue," balas Aulia yang baru melepas helm-nya. "Cuman agak jauh dikit aja ini rumahnya."
"Acel pernah ke sini nggak sih, dulu? Ya kan, Cel?" tanya Calla yang ingat bahwa dulu Arshella pernah datang ke rumahnya waktu SMP.
"Iya, itu aja gue lupa. Padahal belum 5 tahun lalu deh," jawab Arshella yang sedang merapikan kerudung putihnya.
"Lo udah siapin kita makanan kan, Cal? Udah laper nih!" seru Jenna blak-blakan. Meski begitu, mereka semua yakin kalau itu hanya bercandaan Jennaira.
"Mak gue pasti uda masak sih, masuk yuk!" ajak Calla memandu teman-temannya untuk masuk ke rumahnya.
"Assalamualaikum, Bun! Calla pulaang!" teriak Calla begitu masuk dari pintu samping. Setelahnya dia beralih ke ruang tamu untuk membukakan pintu depan. "Masuk yuk, gue panggil Ibun dulu."
Kelima teman Calla masuk ke dalam ruang tamu yang lumayan luas itu. Di ruang itu mereka melihat satu foto besar yang terpampang di dinding. Di sana terlihat empat orang sedang tersenyum lebar yang terlihat sangat bahagia.
"Adeknya Calla kenapa mirip banget ya? Tapi lebih mungil lagi," kata Biya yang sudah pernah bertemu dengan Gretta.
"Ya kalau adek Calla masa mirip gue sih, Biy?!" balas Aulia enteng.
"Kalau mirip lo, gue kasihan sama bokap nyokapnya Calla deh, kan lo spesies langka yang perlu dikendalikan," seloroh Jenna.
"Lo pikir gue monyet? Pake segala pengendalian!"
"Bukan gue yang bilang loh!"
"Sialan lo, Jen!" umpat Aulia kesal.
"Tapi Calla mirip ayahnya nggak sih? Manis-manis nyenengin gitu!" seru Valle yang sejak tadi mengamati foto tersebut lebih intens.
"Jadi selera lo beneran om-om, Val? Gila sih gue baru tau..." kata Kiara yang sok dramatis.
"Jangan jadi pelakor loh, Val!"
"Kalaua lo butuh saran sugar daddy bilang ya? Asal jangan bokapnya Calla."
Plak!
"Gue masih normal anjir! Ya kali gue demen punya orang?!" balas Valle tak terima. "Kalau sugar daddy tuh minimal punya porsche baru gue mau!"
"Sinting emang!"
"Ya gue juga mau, njir!" balas Aulia.
"Cocok emang sama-sama sinting!" cetus Arshella yang sejak tadi menyimak dengan tawanya.
Tak lama kemudian, Calla datang bersama sang ibunda yang ternyata baru saja dari rumah tetangga. Mereka secara bergantian menyalami Hira dengan sopan.
"Ini tadi langsung pulang sekolah ke sini ya?" tanya Hira basa-basi.
"Iya, Tan, langsung gass ikut Calla," balas Kiara mewakili.
"Oalah, ini rumahnya pada jauh-jauh ya?"
"Lumayan sih, Tan. Kalau saya nge-kost juga di kota. Soalnya lebih jauh dari yang lain, hehe," balas Kiara.
"Hampir sama sih, Tan, sama jarak rumah Calla ke sekolah," tambah Aulia.
"Valle sama Biya nggak sih yang paling deket," kata Calla yang sedang menata kaleng-kaleng jajan di meja.