Bagi Calla, hari pertama kuliahnya ini cukup menegangkan. Setelah melewati rentetan kegiatan OSPEK satu minggu yang lalu, sekarang saatnya dia bertemu dengan kehidupan kampus yang sesungguhnya. Langkah-langkah kaki terasa berat namun penuh harap saat ia melangkah memasuki gerbang kampus yang megah. Matahari pagi menyapa dengan sinar lembut, membangkitkan semangat yang berkobar di dalam dada. Di balik senyum yang terukir di wajahnya, tersembunyi kegugupan yang menggerogoti—ketakutan akan hal-hal baru yang belum pernah dijelajahi, serta kekhawatiran akan bagaimana ia akan diterima di tengah keramaian. Setiap sudut kampus menyimpan misteri yang ingin diungkap, setiap wajah baru adalah potensi persahabatan yang mengintip. Hatinya berdebar kencang, seperti irama musik yang menghantui pikirannya, antara antusiasme yang membuncah dan rasa rindu akan kenyamanan masa lalu.
Calla mendapati dirinya menaiki tangga dengan langkah pelan, merasakan tiap pijakan seolah menuntunnya lebih dekat ke realitas barunya sebagai mahasiswa. Ketika dia sampai di puncak tangga, pandangannya tertuju pada sosok seorang gadis yang sedang berdiri di sana, tampak ragu-ragu di ambang pintu ruang kelas. Bithara, nama perempuan pertama yang dia kenal di kampus ini. Gadis dengan rambut panjang sepunggung itu juga bukan asli dari kota ini. Dia berasal dari luar pulau itu terlihat sama pendiamnya. Meski kemarin sudah bertemu dengan tiga puluh sembilan manusia di kelasnya, Calla hanya merasa lebih dekat dengan Bithara. Entahlah, bagi Calla, teman barunya ini lebih unik.
"Bitha! Kenapa nggak masuk?" Calla menyapa dengan senyum ramah, mencoba mengusir kecanggungan yang menyelimuti udara di antara mereka.
Gadis itu berbalik, tampak terkejut sejenak sebelum senyumnya mengembang. "Iya, sengaja nungguin lo," jawabnya dengan gayanya yang sok akrab.
"Yaudah, masuk yuk! Cari posisi yang nyaman." Calla menarik pergelangan tangan Bithara mengajaknya masuk ke dalam ruang kelas yang sudah sebagian terisi oleh teman-temannya yang lain.
Bithara mengangguk kecil, lalu melihat ke dalam ruang kelas yang masih setengah kosong. "Gue pojok aja dah, males sebelahan sama orang lain," bisik Bithara membuat Calla bertukar posisi agar gadis itu lebih dekat dengan dinding.
Calla tertawa kecil, merasa bahwa kerandoman mereka saling mencerminkan. "Enak sih pojok, cuman nggak kena AC banyak-banyak aja."
Bithara mengangguk, kali ini dengan senyum yang lebih mantap. "Nggak papa deh, suhu di sini aja udah dingin. Kulit gue cukup tersiksa di sini."
"Setuju! Apalagi seminggu kemarin full mandi subuh, rasanya kaya di kutub aja dah!"
"Valid sih, gue juga kedinginan mulu tiap pagi. AC kamar juga udah gue matiin masih aja dinginnya kerasa. Heran deh!" curhat Bithara.
"Btw, lo juga jadi koordinator mata kuliah psikologi umum ya?" tanya Calla saat mengeluarkan notebook dari totebag-nya.
"Heem, iya. Gue pengen nyoba aja si kemarin," balas Bitha santai. "Lo kenapa nggak mau?"
"Nggak dulu deh, nanti aja kalau udah tau testimoni dari lo," balas Calla diiringi kekehannya.
Percakapan mereka terhenti seketika saat pintu kelas kembali terbuka, kali ini dengan suara langkah kaki yang mantap dan penuh wibawa. Seorang pria berusia paruh baya melangkah masuk, mengenakan kemeja biru muda yang rapi dan celana panjang hitam. Di tangannya ada beberapa buku tebal yang tampak usang, serta sepasang kacamata yang bertengger di ujung hidungnya. Mata pria itu memindai ruangan sejenak, memerhatikan setiap mahasiswa yang duduk dengan pandangan penuh perhatian.
"Itu pasti dosennya," bisik Bithara nyaris tanpa suara, matanya membulat sedikit, mencerminkan campuran rasa kagum dan khawatir.
Calla hanya mengangguk pelan, merasakan ketegangan yang sama menyusup ke dalam dadanya. Suasana ruangan yang tadi riuh oleh percakapan pelan, kini berubah hening, seolah semua orang menahan napas.
Pria itu—dosen filsafat mereka—melangkah ke meja di depan kelas dan meletakkan bukunya dengan hati-hati. Suara buku-buku itu ketika bertemu dengan permukaan meja terdengar jelas di dalam keheningan. Ia menatap mahasiswa-mahasiswa di hadapannya sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang dalam dan tenang.
"Selamat pagi. Saya Dr. Harjo, dan saya akan mengajar mata kuliah Filsafat Dasar di kelas ini," katanya, suaranya mengalun dengan ketenangan yang menyeluruh. "Saya tidak akan memulai dengan perkenalan panjang lebar. Sebaliknya, saya ingin kita langsung masuk ke dalam materi yang, meskipun tampak abstrak, sebenarnya memiliki relevansi yang sangat mendalam dalam kehidupan sehari-hari kita. Terutama pada bidang psikologi."
Calla merasa sedikit gugup tapi juga terpesona dengan caranya berbicara. Seolah setiap kata yang keluar dari mulut dosen itu telah dipertimbangkan dengan cermat, penuh makna dan bobot. Di sebelahnya, Bithara tampak mengeluarkan notebook dari tasnya.
Dr. Harjo mulai berjalan pelan di depan kelas, matanya menelusuri barisan mahasiswa yang duduk dengan penuh perhatian. "Filsafat psikologi adalah tentang mencari pemahaman yang lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya. Bukan hanya dari sudut pandang teori psikologi, tetapi juga dengan mempertanyakan dasar-dasar pemikiran itu sendiri."