Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #17

Lebaran

Pagi itu, langit masih sedikit mendung, tapi suasana di rumah Nenek Amina sudah mulai ramai dengan kehadiran keluarga besar yang satu per satu tiba. Di teras rumah yang luas, Nenek Amina duduk di sofa kesayangannya, dengan seulas senyum hangat yang selalu membuat siapa pun merasa tenang. Wajahnya memancarkan kebahagiaan, namun di balik senyumnya, ada rasa haru yang menumpuk, menanti untuk diluapkan dalam momen yang selalu mengingatkannya pada masa-masa lalu bersama almarhum suaminya.

Suara mesin motor terdengar mendekat. Tante Shofia dan Om Razky adalah yang pertama tiba. Mereka turun dari motor dengan wajah penuh kegembiraan. Tante Shofia, dengan kerudung merah mudanya, segera berlari kecil ke arah Nenek Amina.

“Assalamu'alaikum, Bu!” sapanya sambil memeluk erat Nenek Amina, hampir tidak ingin melepaskan.

“Wa'alaikumsalam, Nak. Selamat lebaran,” balas Nenek Amina sambil menepuk-nepuk punggung putrinya. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena usia, tapi karena menahan emosi yang mulai membuncah.

Om Razky ikut mendekat, dengan wajah sedikit terharu. “Mohon maaf lahir dan batin, Bu,” ucapnya sambil mencium tangan mertuanya. Di belakang mereka, Gavin datang menyusul, melepaskan helmnya dengan satu gerakan cepat, lalu bergegas menghampiri.

“Selamat lebaran, Nek,” katanya lembut, sambil membungkuk untuk sungkem. Nenek Amina membelai rambut cucu laki-laki kesayangannya dengan penuh sayang, seperti ketika dia masih kecil dulu.

“Sehat-sehat ya, Nak. Semoga semua selalu dalam lindungan-Nya,” Nenek Amina membalas, matanya berkaca-kaca.

Tak lama kemudian, suara mobil terdengar mendekat. Galen bersama istrinya, Mora, dan anak sulung mereka, Nazeea, tiba dengan penuh semangat. Pintu mobil terbuka, dan Nazeea, dengan langkah kecil namun cepat, berlari ke arah Nenek Amina.

“Eyang! Eyang!” serunya dengan suara riang, dan langsung memeluk kaki neneknya. Nenek Amina tertawa kecil, tangannya yang keriput namun penuh cinta membelai kepala cicit perempuannya itu.

“Eyang juga kangen sama Zeea. Lihat, makin cantik dan besar saja kamu,” katanya sambil mengangkat tubuh Nazeea, meski tenaganya tak sekuat dulu, tapi semangatnya tak pernah pudar.

Mora dan Galen kemudian mendekat, mereka tampak bahagia namun juga sedikit tersentuh oleh momen ini. “Maafkan kami kalau ada salah, Nek. Selamat lebaran,” ucap Mora dengan suara pelan, penuh haru. Galen, yang biasanya tegar, kali ini pun tak bisa menahan air mata yang mulai membasahi pipinya saat mencium tangan ibunya.

Galen, yang terkenal sebagai sosok tegar, kali ini tak bisa menahan perasaan. Dia memeluk ibunya erat, dengan suara bergetar, “Saya minta maaf kalau ada salah, Nek. Maafkan semua kekhilafan saya selama ini.”

Nenek Amina, yang biasanya kuat di hadapan anak-anaknya, kali ini pun tak mampu membendung air mata. “Ya, Nak. Nenek juga minta maaf. Nenek sangat bangga pada kalian semua,” katanya sambil mengelus punggung Galen. Pelukan mereka terasa begitu hangat, begitu dalam, seolah menyampaikan rasa sayang yang tak terucapkan selama ini.

“Maafkan nenek juga, Nak. Semoga kita selalu diberi kesehatan dan umur panjang,” jawab Nenek Amina dengan suara bergetar.

Suasana semakin haru saat Tante Tania dan putrinya, Rivera, tiba beberapa menit kemudian. Mereka terlambat karena macet, namun begitu tiba, Rivera dengan dress merah mudanya segera mendekat ke Nenek Amina. “Nenek, selamat lebaran, Rive minta maaf ya Nek,” katanya dengan tulus.

“Selamat lebaran, Rivera sayang,” Nenek Amina menjawab dengan penuh kelembutan. Tante Tania ikut bersalaman dengan ibunya, tak mampu menahan air mata yang mengalir deras.

Melihat semuanya berbaris rapi dengan penuh tangis haru di ruang tamu, Rayan dan keluarganya paling terakhir. Rayan mengawali dengan memeluk sang ibu. "Selamat lebaran ya, Bu. Rayan minta maaf belum bisa menjadi anak yang baik untuk Ibu," katanya dengan lembut.

"Sama-sama, Nak. Rayan sudah sangat cukup baik untuk ibu," balas Nenek Amina dengan tulus.

"Minal aidzin wal faidzin ya, Bu." Hira di belakang Rayan juga mengucapkan lebaran dengan sangat tulus pada sang mertua yang selama ini sangat baik padanya.

Dengan langkah sedikit ragu, Calla mendekat ke Nenek Amina dan menundukkan kepala. "Maafkan Calla ya, Nek, kalau ada salah," suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik.

Nenek Amina tersenyum, mengelus kepala Calla dengan lembut. "Iya, Nak. Nenek juga minta maaf. Calla harus selalu jadi anak baik, ya."

Selanjutnya, Gretta maju dengan langkah percaya diri, meski air matanya mulai menggenang. "Nenek, Gretta minta maaf kalau Gretta pernah bikin marah. Gretta sayang sama Nenek," katanya sambil memeluk Nenek Amina erat-erat.

"Nenek juga sayang sama Gretta. Jangan menangis, ya. Lebaran ini harus kita rayakan dengan bahagia," jawab Nenek Amina dengan suara yang sedikit bergetar, ikut merasakan emosi cucunya.

Setelah sungkeman, tangis haru mulai berangsur reda, digantikan dengan gelak tawa dan canda. Rumah yang sebelumnya penuh dengan suasana khidmat, sekarang kembali riuh dengan keceriaan. Mereka mulai menikmati hidangan khas lebaran yang sudah disiapkan sejak dini hari. Ketupat buatan Hira menjadi pusat perhatian di meja makan, disandingkan dengan opor ayam, rendang, dan sambal goreng ati yang menggugah selera. Semua berkumpul di ruang tengah, duduk melingkar di sekitar meja dengan wajah-wajah yang berseri-seri.

"Yuk, semua makan dulu," ajak Hira sambil membantu mengatur piring-piring di meja. "Nenek, duduk sini. Biarkan yang lain ambil makanannya masing-masing."

Nenek Amina tersenyum, "Iya, terima kasih, Nak. Ayo, semuanya, jangan sungkan-sungkan. Makan yang banyak, ya."

Anak-anak sudah tak sabar menunggu, terutama Gavin, Calla, Rivera, dan Gretta ditambah ada Nazeera yang paling kecil. Mereka duduk berdekatan, seperti membentuk geng kecil di ujung meja. Gavin, yang selalu jadi sosok pemimpin di antara mereka, mulai menggoda yang lain dengan menyentuh ketupat di piring Rivera.

"Riv, ini ketupatnya enak banget. Gue ambil satu lagi, ya?" goda Gavin dengan mata nakal.

Rivera, yang lebih muda, berusaha mempertahankan piringnya sambil tertawa kecil. "Jangan, Mas Vin! Ini punya gue!" sahutnya sambil memeluk piringnya erat-erat.

Calla yang duduk di sebelah Gavin ikut tertawa. "Mas ih, iseng banget sih? Masa ketupat Kak Riv mau diambil juga."

Gretta, yang paling cerewet, tiba-tiba ikut bicara dengan mulut penuh ketupat, "Ih, kalian rebutan ketupat terus deh, gue sudah habis dua nih!"

Semua yang mendengar percakapan mereka tertawa. Mora yang sedang menuangkan minuman hampir menumpahkan teh ke meja karena tak bisa menahan tawa. "Gretta, pelan-pelan makannya. Nanti malah tersedak."

"Maaf, Mbak," balas Gretta dengan polosnya tersenyum lebar, membuat suasana makin riuh.

Sementara itu, Om Razky yang duduk di sebelah Tante Shofia, memperhatikan dengan senyum penuh arti. "Lihat mereka, seperti kita waktu kecil dulu. Kumpul-kumpul begini selalu seru."

Tante Shofia mengangguk setuju, "Iya, ini momen yang paling ditunggu-tunggu. Anak-anak bisa bermain, kita bisa cerita-cerita, dan yang penting, semua kumpul."

Nenek Amina yang duduk di tengah-tengah keluarga besar, merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan. Melihat anak-anak dan cucu-cucunya tertawa bersama, bercanda, dan menikmati hidangan yang disiapkan dengan cinta, membuatnya merasa hidupnya begitu sempurna. Momen-momen seperti inilah yang selalu dia impikan, berkumpul dengan orang-orang tercinta di hari yang penuh berkah.

Lihat selengkapnya