Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #18

Persiapan Turnamen

Tiga bulan setelah momen lebaran, kehidupan keluarga Rayan terus berjalan dinamis. Di kosnya, Calla kini tengah tenggelam dalam kesibukan ujian akhir semester. Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan belajar di kamar, buku-buku terbuka di mana-mana, laptop menyala dengan tab-tab materi yang tak pernah tertutup. Di sisi lain, Gretta juga sibuk dengan tugas-tugas sekolahnya. Meski masih SMP, dia merasa cukup berat karena masih terbayang mudahnya saat SD.

Sementara itu, club voli yang dikelola Rayan berkembang pesat. Mereka baru saja memenangkan kejuaraan lokal, membuat nama Rayan semakin dikenal dan diakui di komunitas olahraga. Namun, di tengah kesibukannya, Rayan tak pernah melupakan Hira. Mereka akan segera merayakan anniversary pernikahan mereka, dan Rayan sudah mempersiapkan sesuatu yang spesial—sebuah mobil baru sebagai tanda terima kasih kepada Hira, yang selalu setia menemani perjalanan hidupnya, melewati jatuh bangun selama bertahun-tahun.

Hari itu, ketika mobil baru datang ke rumah, kejutan yang direncanakan Rayan tak berjalan mulus. Tante Shofia, kakak Rayan yang kebetulan baru berkunjung di rumah ibunya, melihat kedatangan mobil tersebut dan langsung bereaksi keras.

“Kamu beli mobil baru, Ray? Mobil lama kan masih bagus! Ngapain boros-boros kayak gini?” Tante Shofia langsung menghampiri Rayan di depan rumah, ekspresinya jelas tidak senang.

Rayan, yang awalnya tersenyum penuh kebanggaan, tiba-tiba terdiam. "Ini buat anniversary kita, Mbak. Aku cuma pengen kasih sesuatu buat Hira, dia udah banyak ngorbanin waktu dan perhatiannya buat aku."

Namun, Tante Shofia tetap pada pendiriannya. “Rayan, kamu ini masih punya utang ratusan juta! Jangan foya-foya. Mobil lama juga masih bisa dipakai, nggak usah boros kayak gini. Kamu pikirin dulu utang-utangmu itu!”

Ucapan itu membuat hati Rayan tersayat. Ia menghela napas panjang. “Mbak, utang itu sudah aku cicil rutin setiap bulan. Aku nggak pernah abai. Dan aku juga masih membantu Mbak, ngasih rezeki yang aku punya, meskipun keadaan kadang sulit.”

Tante Shofia terdiam sejenak, namun tetap tidak melunak. “Tetap aja, Ray. Kamu nggak bisa seenaknya beli mobil baru di saat kayak gini.”

Rayan tersenyum pahit, merasa luka lama kembali terbuka. Baginya, ucapan kakaknya ini tidak hanya menyangkut soal uang, tapi juga meremehkan perjuangan dan pengorbanan yang sudah ia lakukan selama ini. Meski utang itu sudah berkurang secara signifikan, pembicaraan ini membuatnya merasa seperti tak pernah cukup di mata sang kakak. 

Di dalam rumah, Hira, yang mendengar percakapan itu, menghampiri Rayan. Dengan lembut, ia memegang tangan suaminya, menenangkannya tanpa perlu berkata-kata. Bagi Hira, kebahagiaan Rayan adalah segalanya, dan kado itu, bagi mereka, bukan soal kemewahan, tapi tentang cinta dan rasa syukur mereka terhadap satu sama lain.

Rayan berdiri diam, memandangi mobil barunya dengan perasaan campur aduk. Ucapan Tante Shofia terus terngiang di telinganya, menyentuh luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Meskipun utang itu sudah lama dibayar secara berkala, kakaknya masih memandang rendah segala pencapaiannya. Rayan merasa semua usaha dan pengorbanannya tak dihargai.

Hira, yang sejak tadi berdiri di sampingnya, menatap Rayan dengan penuh pengertian. Ia tahu betul, di balik kesuksesan yang diraih suaminya, ada tekanan dan tanggung jawab yang besar. Dengan lembut, ia meremas tangan Rayan, memberi kekuatan tanpa kata-kata.

“Yah,” Hira berkata dengan nada tenang, “ini bukan soal mobil atau utang. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku tahu kamu selalu berpikir untuk keluargamu, untuk kakakmu. Tapi ingat, kamu juga pantas bahagia. Kita pantas bahagia.”

Rayan menarik napas dalam, menatap Hira dengan mata berkaca-kaca. “Aku cuma pengen kasih yang terbaik buat kamu. Kamu udah ngorbanin banyak hal selama ini, dan aku nggak mau kamu merasa kurang apa pun.”

Hira tersenyum lembut, mengusap pipi Rayan. “Aku nggak butuh mobil mewah atau barang-barang mahal, Yah. Aku cuma butuh kamu. Kamu ada di sampingku, itu sudah cukup.”

Mendengar kata-kata Hira, hati Rayan mulai tenang. Ia tersadar bahwa kebahagiaan mereka tak diukur dari harta benda. Ia memeluk Hira erat, merasa lega karena istrinya selalu ada untuknya, mendukungnya tanpa syarat.

Sementara itu, Tante Shofia hanya bisa memandang dari jauh, masih dengan raut wajah tak puas. Mungkin dalam hatinya, ada kecemburuan, atau mungkin juga keinginan agar Rayan lebih fokus pada tanggung jawab finansial. Tapi bagi Rayan, hari ini adalah pengingat bahwa apa pun yang terjadi, ia dan Hira akan selalu saling mendukung.

Setelah beberapa saat, Rayan berbalik ke arah mobil baru itu, menyentuh kapnya dengan lembut. “Mobil ini bukan sekedar barang, Hir. Ini simbol dari perjalanan kita, dari jatuh bangun yang kita lewati bersama. Aku cuma pengen sesuatu yang bisa jadi kenangan buat kita.”

Hira mengangguk, “Aku ngerti, Yah. Dan aku bangga sama kamu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bareng-bareng.”

Dengan hati yang lebih ringan, Rayan tersenyum kembali. Meskipun kata-kata Tante Shofia masih membekas, ia tahu bahwa di dalam rumah ini, dengan Hira di sisinya, ia tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Yang penting, mereka bersama-sama—selalu.

***

Minggu ini, Calla sudah bangun sejak pagi subuh. Meskipun dia sedang berhalangan ibadah, Calla harus mempersiapkan hari ini untuk dijemput oleh kedua orang tuanya. Calla sudah selesai mandi, dia sekarang sedang memasak nasi untuk sarapan. Sebelumnya dia sudah memesan makanan online untuk lauk dan sayur. Sambil menunggu, Calla membersihkan kamar kosnya. Mulai dari menyapu hingga mengepel. Dia juga mengganti sprei dan sarung bantal guling dengan yang baru. Calla menyiapkan beberapa baju dan sprei kotornya untuk di laundry. Kemarin dia lupa tidka mencuci sendiri karena saking lelahnya setelah ujian akhir.

Rayan dan Hira bersiap menjemput Calla di kosnya, menandai dimulainya liburan semester genap setelah Calla melewati ujian akhir yang berat. Gretta sudah tidak sabar ingin bertemu kakaknya, bersemangat bercerita tentang apa yang terjadi selama Calla sibuk dengan ujian. Di sepanjang perjalanan, Gretta terus-menerus bertanya kapan mereka akan sampai, membuat Hira tertawa kecil karena melihat antusiasme anak bungsunya.

Sesampainya di kampus, Calla keluar dari gerbang dengan langkah ringan, meski masih sedikit lelah setelah minggu-minggu ujian. Namun, matanya langsung tertuju pada mobil baru yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia tertegun sesaat, tak percaya bahwa orang tuanya benar-benar membeli mobil baru. Sebagai saksi bisu perjuangan mereka selama bertahun-tahun, ia mengerti betul betapa banyak pengorbanan yang telah dilalui untuk mencapai titik ini.

“Mobil baru, ya?” Calla berkata pelan ketika masuk ke dalam mobil, suaranya sedikit tercekat, namun ia menyembunyikan emosinya di balik senyuman. Dalam diam, air matanya hampir jatuh, tapi ia cepat-cepat menengadah, menahan rasa haru yang menyesak di dada. Ia bersyukur, begitu bersyukur, karena kedua orang tuanya berhasil bangkit dari masa-masa sulit. Rayan menoleh dan tersenyum bangga, sedangkan Hira meremas tangan Calla dengan lembut, seolah memahami perasaan anaknya tanpa perlu kata-kata.

"Kata ayah, bisa nih mobilnya buat nganterin aku latihan voli. Ya kan, Yah?" kata Gretta dengan semangat.

"Iya, nanti kalau ibun sudah belajar nyetir, bisa diantar Ibun ke sana," balas Rayan dengan tenang.

Mereka memutuskan untuk mampir ke mall sebelum pulang ke kota asal. Gretta dan Calla berjalan lebih dulu dengan menenteng makanan di tangan, meninggalkan Rayan dan Hira yang masih memesan di belakang. Di tengah langkah mereka, Gretta tiba-tiba berhenti dan menoleh ke kakaknya dengan tatapan serius.

“Kak Call, lo tahu nggak? Waktu mobil baru itu datang, Tante Shofia marah-marah sama Ayah.”

Calla menatap adiknya sejenak, terdiam. “Oh ya?” jawabnya tenang, tidak menunjukkan banyak reaksi, meskipun di dalam hatinya, ia sudah tahu cerita itu. Ia sudah mendengar tentang ketegangan antara ayahnya dan Tante Shofia, dan bagaimana Tante Shofia mempermasalahkan utang lama yang padahal sudah dibayar secara berkala.

Gretta melanjutkan dengan nada rendah, “Tante bilang Ayah nggak boleh foya-foya beli mobil baru. Katanya, mobil lama masih bagus, dan... ya, dia juga ngomongin soal utang Ayah dulu.”

Calla mengangguk perlahan, tetapi tetap diam. Ia tidak membenarkan ucapan Tante Shofia, tetapi juga tak ingin membicarakannya lebih jauh. Baginya, semua orang di keluarganya punya pandangan masing-masing, tetapi ia tahu yang benar. Calla memutuskan untuk tidak terpengaruh oleh komentar itu, meskipun perasaannya berkecamuk di dalam.

“Lo nggak apa-apa, Kak?” Gretta bertanya pelan, melihat ekspresi kakaknya yang sedikit berubah.

Calla tersenyum tipis dan merangkul adiknya. “Nggak apa-apa, Ta. Semua baik-baik aja.”

"Lo nggak marah sama Tante Shofia, Kak?" tanya Gretta penasaran.

"Marah, sedikit. Bagi gue, nggak seharusnya beliau ngomong gitu. Toh juga semua hutang ayah sama ibun juga dibayar lunas kan?"

Gretta menggumam tanda setuju, meski tak sepenuhnya paham. "Kayanya Tante Shofia nggak suka deh, Kak. Ya kan biasanya beliau yang terlihat di atas kita. Kalau saudaranya beli barang di atas dia, marah lah, nggak bisa nyaingin."

"Hustt! Mulutnya Ta!" tegur Calla. "Udahlah biarin aja, ayah beli mobil itu pasti memang ada kegunaannya."

Mereka berdua melanjutkan langkah menuju Timezone, berusaha menikmati waktu bersama tanpa membiarkan bayangan masalah keluarga mengusik kebersamaan mereka.

***

Beberapa minggu setelah liburan, suasana di rumah Nenek Amina kembali hidup ketika Tante Tania dan Rivera datang berkunjung seperti biasa. Saat mereka baru saja tiba, mata Tante Tania langsung tertuju pada mobil baru yang terparkir di halaman rumah.

“Wah, mobil baru nih! Kece banget, Ray,” Tante Tania berujar dengan kagum, tangannya masih mengusap pintu mobil sambil tersenyum lebar.

Rivera, yang berdiri di sampingnya, ikut tersenyum lebar. “Iya, Om Rayan makin tajir aja nih! Mobilnya keren banget.”

Rayan hanya terkekeh. “Ah, biasa aja, Mbak. Yang penting buat keluarga, biar nyaman.”

Lihat selengkapnya