Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #18

Hiruk Pikuk Kehidupan

Hari itu, ketika mobil baru datang ke rumah, kejutan yang direncanakan Rayan tak berjalan mulus. Tante Shofia, kakak Rayan yang kebetulan baru berkunjung di rumah ibunya, melihat kedatangan mobil tersebut dan langsung bereaksi keras.

“Kamu beli mobil baru, Ray? Mobil lama kan masih bagus! Ngapain boros-boros kayak gini?” Tante Shofia langsung menghampiri Rayan di depan rumah, ekspresinya jelas tidak senang.

Rayan, yang awalnya tersenyum penuh kebanggaan, tiba-tiba terdiam. "Ini buat anniversary kita, Mbak. Aku cuma pengen kasih sesuatu buat Hira, dia udah banyak ngorbanin waktu dan perhatiannya buat aku."

Namun, Tante Shofia tetap pada pendiriannya. “Rayan, kamu ini masih punya utang ratusan juta! Jangan foya-foya. Mobil lama juga masih bisa dipakai, nggak usah boros kayak gini. Kamu pikirin dulu utang-utangmu itu!”

Ucapan itu membuat hati Rayan tersayat. Ia menghela napas panjang. “Mbak, utang itu sudah aku cicil rutin setiap bulan. Aku nggak pernah abai. Dan aku juga masih membantu Mbak, ngasih rezeki yang aku punya, meskipun keadaan kadang sulit.”

Tante Shofia terdiam sejenak, namun tetap tidak melunak. “Tetap aja, Ray. Kamu nggak bisa seenaknya beli mobil baru di saat kayak gini.”

Rayan tersenyum pahit, merasa luka lama kembali terbuka. Baginya, ucapan kakaknya ini tidak hanya menyangkut soal uang, tapi juga meremehkan perjuangan dan pengorbanan yang sudah ia lakukan selama ini. Meski utang itu sudah berkurang secara signifikan, pembicaraan ini membuatnya merasa seperti tak pernah cukup di mata sang kakak. 

Di dalam rumah, Hira, yang mendengar percakapan itu, menghampiri Rayan. Dengan lembut, ia memegang tangan suaminya, menenangkannya tanpa perlu berkata-kata.

“Yah,” Hira berkata dengan nada tenang, “ini bukan soal mobil atau utang. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku tahu kamu selalu berpikir untuk keluargamu, untuk kakakmu. Tapi ingat, kamu juga pantas bahagia. Kita pantas bahagia.”

Rayan menarik napas dalam, menatap Hira dengan mata berkaca-kaca. “Aku cuma pengen kasih yang terbaik buat kamu. Kamu udah ngorbanin banyak hal selama ini, dan aku nggak mau kamu merasa kurang apa pun.”

Hira tersenyum lembut, mengusap pipi Rayan. “Aku nggak butuh mobil mewah atau barang-barang mahal, Yah. Aku cuma butuh kamu. Kamu ada di sampingku, itu sudah cukup.”

Sementara itu, Tante Shofia hanya bisa memandang dari jauh, masih dengan raut wajah tak puas. Mungkin dalam hatinya, ada kecemburuan, atau mungkin juga keinginan agar Rayan lebih fokus pada tanggung jawab finansial. Tapi bagi Rayan, hari ini adalah pengingat bahwa apa pun yang terjadi, ia dan Hira akan selalu saling mendukung.

“Mobil ini bukan sekedar barang, Hir. Ini simbol dari perjalanan kita, dari jatuh bangun yang kita lewati bersama. Aku cuma pengen sesuatu yang bisa jadi kenangan buat kita.”

Hira mengangguk, “Aku ngerti, Yah. Dan aku bangga sama kamu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bareng-bareng.”

***

Calla sedang berada di kamarnya, memutuskan untuk tidak ikut dalam percakapan keluarga. Ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan panggilan video bersama Nevan. Di layar, Nevan tersenyum melihat Calla.

“Kamu udah libur, kan, Cal? Gimana ujianmu kemarin?” tanya Nevan.

Calla menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Ya gitu deh, Mas. Berat, tapi akhirnya selesai juga. Sekarang waktunya liburan!”

Nevan tertawa kecil. “Seru banget, tapi sayang ya, aku belum bisa pulang sekarang. Waktu cuti aku bisanya tahun depan,”

"Nggak apa, masih ada waktu lain kok, Mas," balas Calla dengan wajah teduhnya. Dari balik selimut yang menutupi kepalanya, gadis itu terus tersenyum menatap laki-laki yang kini sudah menjadi someone special-nya.

"Jam segini tumben di kamar aja? Nggak sama Gretta?" tanya Nevan yang sudah hafal dengan jadwal rutinitas gadisnya.

"Lagi ada Kak Rive di kamar Gretta. Aku males juga pindah sana sini. Sama kamu aja," balasnya.

Nevan tersenyum lebar, dia sangan suka saat Calla menunjukkan sisi manjanya seperti ini. "Kamu bisa nggak sih jangan manis terus tiap hari, Cal? Bisa diabetes aku lama-lama."

"Ish, apaan sih! Gombal aja teruuus..." Calla memajukan bibirnya untuk menutupi rasa saltingnya. Meski kedua pipinya sudah merah merona akibat perkataan manis dari lelakinya itu.

Nevan tersenyum geli, Calla memang tak pandai menyembunyikan rasa saltingnya. "Cal... tunggu aku pulang ya? Aku bakal tepatin semuanya satu-satu." Nevan mendadak serius di tengah rasa saltingnya.

Lihat selengkapnya