Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #21

Terbelenggu oleh Pembelaan Buta

Berminggu-minggu kemudian...

Di kamar tidurnya, Rivera duduk di pinggir ranjang, memeluk bantal sembari menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah beberapa hari ini, Arfian tidak memberikan kabar yang jelas. Pesan-pesan Rivera hanya dijawab singkat, atau bahkan tidak dibalas sama sekali. Malam ini, pikirannya berkecamuk dengan berbagai prasangka yang tidak bisa lagi ia abaikan.

“Kenapa sih dia kayak gini?” gumam Rivera dalam hati, meletakkan ponselnya di meja. Tatapannya kosong, merenungi segala yang terjadi akhir-akhir ini.

Perasaan curiga mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. “Apa mungkin dia sibuk? Tapi... masa sih nggak ada waktu sedikit pun buat kasih kabar?” Rivera mencoba berpikir positif, tapi semakin hari semakin sulit untuk melawan rasa gelisah yang kian membesar.

Ia mengingat momen-momen awal hubungan mereka. Arfian selalu penuh perhatian, selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat tersulit. Tapi kini, semuanya terasa berbeda. Jarak yang tak kasat mata mulai terbentuk di antara mereka. 

“Apa dia beneran sayang sama aku? Atau ini cuma sementara aja? Kenapa dia sering banget hilang tiba-tiba? Padahal dulu, tiap malam kita pasti telepon, saling cerita,” Rivera menggigit bibirnya, menahan perasaan yang mulai membuat hatinya sesak.

Ia memandangi ponselnya lagi, berharap ada pesan atau telepon masuk dari Arfian. Tapi layar tetap diam. Hanya notifikasi dari grup chat voli yang muncul, mengingatkannya pada latihan esok hari. Rivera menghela napas panjang.

“Aku udah berusaha jadi pacar yang baik. Aku selalu ada buat dia. Aku ngertiin dia, nggak pernah nuntut macem-macem. Tapi kenapa dia mulai berubah gini? Apa ada orang lain?” Sebuah pikiran yang paling ia takuti mulai muncul di benaknya. Curiga yang selama ini ia coba redam, kini mulai mendominasi.

“Enggak, nggak mungkin. Arfian nggak mungkin kayak gitu.” Rivera mengguncang kepalanya pelan, menolak untuk mempercayai kemungkinan itu. Tapi, semakin ia menolaknya, semakin kuat prasangka itu muncul.

“Atau mungkin aku terlalu berlebihan?” pikirnya lagi. Rivera mencoba merenungkan perilakunya selama ini. Apa mungkin ia yang terlalu menuntut perhatian? Apa mungkin ia terlalu lengket dengan Arfian, hingga membuat pacarnya itu merasa terganggu?

Namun, di sisi lain, Rivera merasa bahwa ia punya hak untuk menuntut perhatian. “Kita pacaran, kan? Wajar dong kalau aku pengen dia ada buat aku, kalau aku pengen komunikasi yang jelas. Aku nggak minta apa-apa, cuma kabar. Sesederhana itu.”

Ia menghela napas panjang, merasakan ada kekosongan yang makin dalam di hatinya. “Kenapa sih hubungan ini jadi kayak gini? Harusnya kalau dia sayang, dia nggak bakal bikin aku ngerasa kayak gini.”

Matanya beralih ke langit-langit kamar, pikiran-pikirannya makin kusut. Rasa cinta yang dulu menggebu-gebu, kini bercampur dengan keraguan yang menyesakkan. “Aku harus ngomong sama dia. Tapi... apa aku berhak buat marah? Buat nuntut dia?”

Dalam keheningan kamar, Rivera hanya bisa merenung. Antara harapan dan kenyataan yang semakin hari semakin tak selaras. "Apa hubungan kita akan tetap berjalan kayak gini? Atau... mungkin aku harus siap-siap buat yang terburuk?"

Dan dengan perasaan yang bercampur aduk, Rivera menutup matanya, berharap esok hari bisa membawa jawaban yang lebih jelas untuk hatinya yang kini diliputi ketidakpastian.

***

Malam itu, suasana di rumah Nenek Amina begitu hidup. Aslan, Alvin, dan Faris berkumpul di teras, seperti biasa. Gelak tawa mereka bersahutan diiringi aroma kopi yang mengepul di udara. Calla dan Gretta ikut duduk di antara mereka, mendengarkan candaan dan cerita ringan yang mengalir tanpa henti.

Tiba-tiba, di tengah obrolan seru itu, Aslan terdiam sejenak, mengingat sesuatu. Dengan ekspresi sedikit ragu, dia melirik Calla dan Gretta. 

"Asli, gue kemarin lihat Arfian di mall," ucap Aslan sambil menyeruput kopinya. Matanya memandang ke arah temannya yang lain, seolah menunggu reaksi mereka.

Alvin yang sedang memainkan tutup botol langsung menoleh, tertarik. "Serius lo? Sama Rivera?"

Aslan menggeleng pelan, wajahnya berubah serius. "Bukan. Itu dia, yang bikin gue bingung. Gue lihat dia sama cewek lain. Bukan Rivera."

Calla yang tadinya fokus mendengarkan, mendadak tersentak. "Lo yakin, Lan? Mungkin itu temennya kali," ujar Calla berusaha tetap netral, meskipun hatinya mulai terasa tak enak.

"Yakin, Cal," jawab Aslan. "Gue liat mereka cukup deket. Pegangan tangan segala. Enggak kayak temenan biasa."

Gretta yang dari tadi diam langsung mengangkat alis. "Seriusan? Gue nggak pernah dengar cerita Rivera soal cewek lain, sih," ucapnya, agak cemas.

"Ya, gue nggak mau sok tahu juga. Cuma ya... kelihatan aneh aja," tambah Aslan, mencoba menetralkan suasana. Dia tahu Rivera adalah sepupu Calla dan Gretta, dan tidak ingin membuat situasi jadi canggung.

Alvin yang terkenal blak-blakan langsung berseru, "Wah, jangan-jangan Arfian lagi main belakang, nih! Parah banget kalau beneran."

Faris, yang biasanya pendiam, akhirnya ikut bicara. "Tapi, bisa aja kan dia cuma lagi sama temen atau keluarganya? Nggak selalu berarti yang buruk, kan?" ujarnya mencoba menenangkan keadaan.

Calla termenung, mencoba mencerna semuanya. “Apa mungkin Aslan salah lihat? Tapi kalau bener… masa sih Arfian kayak gitu?” pikirnya. Namun, bayangan soal perilaku Arfian yang sering menghilang dari radar Rivera beberapa minggu terakhir membuat perasaan Calla semakin tidak tenang.

"Jadi, apa kita harus ngomong ke Rivera?" tanya Alvin serius. "Biar dia tahu kalo ada yang aneh sama pacarnya."

Gretta menggeleng pelan. "Gue nggak tau deh, Kak. Gue cuma takut salah paham. Kak Rivera masih sayang banget sama Arfian."

Calla menghela napas panjang. Haruskah mereka kasih tahu Rivera sekarang? Atau... lebih baik menunggu? Calla kurang tahu bahwa hubungan Rivera dan Arfian sudah mulai terasa janggal, tapi ia juga tidak ingin melukai sepupunya tanpa bukti yang jelas. Namun, firasat buruk itu sudah mulai menggerogoti pikiran mereka semua.

"Aslan, lo yakin bener-bener lihat Arfian, kan?" Calla bertanya lagi, ingin memastikan.

Aslan mengangguk. "Yakin banget, Cal. Gue liat mereka di depan gue, nggak jauh-jauh amat."

Setelah mendengar pernyataan Aslan, Calla, Gretta, Alvin, dan Faris terdiam sejenak, merenungi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi di balik hubungan Rivera dan Arfian. Ada begitu banyak pertanyaan yang bergelayut di pikiran mereka, namun tak satu pun dari mereka yang berani mengambil keputusan malam itu.

Dan di tengah keheningan itu, satu hal yang pasti—mereka semua mulai khawatir akan apa yang terjadi pada sepupu mereka, Rivera.

***

Pertemuan di sebuah coffee shop sore itu menjadi momen penting bagi Rivera dan Arfian. Setelah berbagai isu dan keraguan yang sempat mengganggu hubungan mereka, Rivera memutuskan untuk bertemu dengan Arfian demi memperbaiki segalanya. Tempat itu dipenuhi aroma kopi yang kuat dan suasana hangat dari obrolan ringan pengunjung lain.

Rivera duduk di sudut, menunggu Arfian yang belum tiba. Pikiran tentang gosip yang didengarnya beberapa hari lalu masih berputar di kepalanya, tetapi dia memilih untuk menyingkirkannya sejenak. Tak lama kemudian, Arfian datang, dengan langkah agak lesu dan wajah murung.

"Sorry ya, sayang, aku telat," ujar Arfian sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Rivera. Tatapan matanya terlihat lelah, seolah sedang memikul beban berat.

"Nggak apa-apa," jawab Rivera lembut, mencoba menjaga suasana tetap hangat. "Kamu kelihatan capek. Ada apa?"

Arfian menghela napas panjang. "Aku... aku baru aja kena musibah, Ver," katanya dengan nada lirih, sambil mengusap wajahnya. "Aku dipecat dari kerjaan. Bos aku bilang, mereka mau potong biaya, dan aku jadi salah satu yang kena."

Mendengar itu, hati Rivera langsung mencelos. "Dipecat? Kok bisa?" pikirnya. Meski sempat ada keraguan terhadap Arfian, ia masih peduli dan tak tega melihat pacarnya berada dalam kesulitan.

"Gila, Fi... aku nggak tahu harus ngomong apa. Kamu baik-baik aja?" Rivera menatapnya penuh simpati, mencoba memahami perasaan Arfian yang terlihat begitu sedih.

Arfian menggeleng lemah. "Jujur aja, aku lagi terpuruk banget. Gaji terakhir aku udah habis buat bayar kontrakan dan kebutuhan nenek juga. Sekarang aku nggak tahu gimana buat bertahan sampe dapet kerjaan baru," jelasnya, suaranya semakin berat. "Makanya, aku ke sini juga buat minta tolong sama kamu, Ver."

Rivera menatap Arfian, terdiam sesaat. Ia bisa merasakan kegelisahan dalam nada bicara pacarnya itu. "Tolong? Maksud kamu?" tanya Rivera, sedikit bingung.

Arfian menarik napas panjang. "Aku butuh bantuan kamu, Ver. Bisa nggak kamu pinjemin aku duit buat sementara waktu? Buat biaya hidup aja sampe aku dapet kerjaan lagi. Aku bener-bener butuh banget."

Perasaan iba langsung menghantam hati Rivera. "Dia pacar gue. Dia lagi kesusahan. Gue nggak mungkin tinggal diam," pikir Rivera dalam hati. Namun, di balik semua itu, ia juga tahu ada risiko besar jika meminjamkan uang. Tapi rasa cintanya pada Arfian mengalahkan keraguan tersebut.

"Berapa yang kamu butuhin, Fi?" tanya Rivera tanpa berpikir panjang. Ia sudah memutuskan, meskipun hatinya agak berat.

"Ngga banyak, Ver. Cukup buat makan dan biaya hidup sementara aja, mungkin dua sampai tiga juta. Aku janji, begitu aku dapet kerjaan lagi, aku bakal balikin semua," kata Arfian, matanya memohon dengan penuh harap.

Lihat selengkapnya