Satu tahun kemudian...
Pada akhirnya, hidup akan terus berjalan. Melewati banyak tantangan dan rintangan yang kadang membuat setiap manusia bisa saja menyerah. Namun, dari setiap hal yang dijalani, pasti ada manfaat yang diambil. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Gavin, di usianya tepat 25 tahun akan melepas masa lajangnya. Setelah penantian cukup panjang, akhirnya dia menemukan perempuan yang dicintainya. Sabrina Amerta, gadis desa dengan segala kebaikannya, ternyata mampu melewati perjalanan panjang untuk meluluhkan hati keluarga Gavin yakni Shofia dan Razky.
Di malam lamaran itu, rombongan dari keluarga besar Nenek Amina sudah berkumpul di parkiran, tepat di depan gang menuju rumah Sabrina. Suasana ramai di antara para ibu-ibu, tante-tante, dan sepupu yang sibuk membicarakan acara yang akan segera dimulai. Beberapa dari mereka sibuk mengatur barang-barang hantaran yang akan dibawa ke rumah Sabrina, sementara lainnya hanya ngobrol santai sambil menunggu giliran masuk.
Tante Shofia yang terlihat paling heboh, berdiri sambil memegang ponselnya dan memberikan instruksi ke orang-orang, “Eh, hantaran udah lengkap semua kan? Jangan sampe ada yang ketinggalan di mobil ya!”
Tante Tania yang lagi bantuin Rivera bawa kotak hantaran senyum-senyum sendiri sambil menatap sepupu-sepupunya, “Udah kayak kawinan deh lamarannya Mas Gavin ini, padahal baru lamaran, Mbak Shof. Sabar dikit napa,” katanya setengah bercanda.
Rivera yang lagi bawa kotak sambil jalan, cengengesan sambil menimpali, “Ya maklum lah, Buk. Tante Shofia ini kan orangnya perfeksionis banget! Jangan sampai ada yang nggak sempurna!”
Calla dan Gretta yang ikut di belakang dengan wajah lempeng, hanya bisa mendengarkan percakapan seru dari tante-tantenya itu sambil saling tatap-tatapan.
“Gila sih, lamaran aja udah heboh kayak gini. Gimana besok kalo nikahan?” bisik Calla ke Gretta.
Gretta mengangkat alisnya, “Ya gitu lah... Kalo tante-tante udah kumpul, emang nggak ada habisnya,” ucapnya sambil ngikik kecil.
Di sudut lain, Mora sedang menggendong Nazeea yang mulai mengantuk, “Aduh, siapa yang suruh lamaran malem-malem gini sih? Nazeea udah mulai ngantuk, nih!”
Rayan yang ada di dekat Hira ikutan tertawa kecil mendengar keluhan itu, “Ya namanya juga acara keluarga, jam berapapun mah kita gas aja!”
Semua pun tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana.
Tak lama, mereka akhirnya siap-siap masuk ke gang menuju rumah Sabrina. Di depan, Tante Shofia mengomando sambil melambaikan tangan, “Ayo-ayo, jalan pelan-pelan! Jaga posisi ya, yang bawa hantaran di depan!”
Sementara itu, saat memasuki rumah Sabrina, suasana lamaran mulai terasa kental. Mereka disambut oleh keluarga Sabrina dengan ramah. Ada rasa canggung di antara mereka, tetapi sapaan hangat dari tuan rumah membuat suasana jadi lebih ringan. Para tante-tante sibuk melihat-lihat dekorasi sederhana yang dipasang di halaman rumah.
Tante Tania yang melihat dekorasinya senyum-senyum sambil bilang, “Ya ampun, ini kayak dekor kondangan di gedung-gedung, tapi di rumah! Wah, manteb juga nih, Mbak Shof!”
Tante Shofia tersenyum bangga, “Ya iyalah, Tania. Masa Gavin mau lamaran dekorasi ala kadarnya? Tetep harus elegan dong, biar Sabrina juga seneng.”
Calla dan Gretta duduk di kursi belakang, saling berbisik lagi, “Gila, Ta. Ini tante-tante kita kalo udah ngatur-ngatur acara mah nggak ada yang sederhana, semuanya harus ekstra,” ucap Calla sambil nyengir.
Gretta hanya bisa mengangguk sambil tertawa kecil, “Bener, Kak. Emang beda aja kalo udah Tante Shofia yang punya acara!”
Acara lamaran Gavin dan Sabrina berlanjut dengan suasana yang semakin meriah. Setelah prosesi penyerahan hantaran, keluarga besar Gavin duduk di ruang tamu rumah Sabrina yang sudah dipersiapkan. Kursi-kursi tambahan dan tenda kecil di luar rumah membuat suasana semakin ramai. Sabrina duduk dengan malu-malu di samping ibunya, sementara Gavin berada di sebelah Tante Shofia dan ayahnya, Razky.
Di antara mereka, suasana terisi dengan obrolan ringan. Para tamu dari kedua belah pihak mulai bercanda dan berbagi cerita tentang masa lalu. Tante Tania duduk bersama Mora dan beberapa ibu-ibu lainnya sambil mengawasi Nazeea yang berlarian di halaman depan.
"Eh, Ra, ini si Gavin akhirnya dapet juga, ya. Udah sabar banget nunggu momennya," ujar Tante Tania sambil melirik Gavin yang sedang ngobrol dengan para pria dari keluarga Sabrina.
Mora tertawa kecil, "Iya, nih Tan. Gavin itu kan anaknya pendiem, tapi kalo udah dapet yang klik, langsung serius. Untung Sabrina orangnya baik dan sederhana. Cocok banget buat dia."
Sementara itu, Calla dan Gretta duduk di sudut ruangan bersama Rivera. Mereka memperhatikan semua yang terjadi sambil membahas tentang pasangan yang sedang dilamar.
“Eh, Kak, menurut lo Mbak Sabrina gimana?” tanya Calla dengan nada penasaran.
Rivera mengangguk pelan sambil memandangi calon adik iparnya. “Mbak Sabrina tuh orangnya asik, Cal. Gak terlalu jaim, tapi tetep sopan. Gue pernah ngobrol beberapa kali, dia humble banget.”
Gretta yang biasanya lebih pendiam, ikut menyambung, “Iya, Kak. Kalau itu gue setuju sih. Dia kayak cocok banget buat Mas Gavin. Enggak neko-neko gitu orangnya.”
Calla mengangguk, “Bagus sih, yang penting Mas Gavin nemu orang yang bisa bikin dia bahagia.”
Di luar, Tante Shofia sibuk mengatur sesi foto keluarga. “Ayo-ayo, kita foto dulu. Nenek, sini di depan! Yang bawa hantaran juga, baris di belakang!”
Semua orang segera berkumpul di halaman depan untuk sesi foto bersama. Ada yang sibuk merapikan pakaian, ada juga yang bercanda satu sama lain.
Rayan yang berdiri di samping Hira, tersenyum kecil sambil melihat keluarganya yang lengkap. “Wah, acara lamaran aja udah heboh begini, besok pas nikahan bakal gimana ya, Ra?”
Hira tersenyum lembut, “Iya, pasti lebih rame lagi. Tapi seneng sih ngeliat keluarga kita kompak begini.”
Setelah sesi foto selesai, makanan mulai dibagikan. Meja panjang di teras rumah Sabrina penuh dengan hidangan khas desa, mulai dari ayam bakar, ikan goreng, sayur asem, hingga kue-kue tradisional yang menggugah selera. Para tamu segera mengambil tempat masing-masing dan menikmati hidangan sambil terus bercengkrama.
Di tengah makan, Galen mendekati Gavin dan Sabrina yang sedang duduk bersama. “Gav, selamat ya. Akhirnya bisa juga nyebutin tanggal buat nikah.”
Gavin tersenyum lega, “Makasih, Mas. Akhirnya ya, perjalanan panjang nih.”
Sabrina menimpali dengan malu-malu, “Iya, Mas. Semoga semuanya lancar sampai hari H nanti.”
Galen tertawa kecil, “Pasti lancar. Liat aja, Mama itu kan udah kayak event organizer kalo ngurusin acara!”
Tawa pun pecah di meja makan, membuat suasana semakin cair dan akrab. Gavin dan Sabrina tampak bahagia, sementara keluarga mereka tampak puas dengan acara yang berjalan lancar.
Malam itu ditutup dengan doa bersama dan obrolan hangat yang semakin mengeratkan hubungan kedua keluarga. Lamaran Gavin dan Sabrina menjadi awal dari kisah baru yang penuh harapan, sementara keluarga besar terus mendukung perjalanan mereka menuju hari pernikahan.
Acara lamaran pun berjalan lancar. Ada tawa-tawa kecil di antara obrolan serius keluarga saat hantaran diserahkan, dan tentu saja momen ketika Gavin dan Sabrina saling tersenyum malu-malu. Di tengah acara, Tante Shofia nggak henti-hentinya mengatur segala sesuatunya agar terlihat sempurna, sementara yang lain hanya bisa menikmati suasana.
Saat penghujung acara, seluruh keluarga terlihat lega dan puas, apalagi Tante Shofia yang sudah berhasil melangsungkan lamaran anak bungsunya. Namun, di tengah kehebohan itu, yang paling menonjol adalah kebersamaan dan canda tawa yang membuat malam lamaran tersebut terasa lebih hangat dan akrab.
“Alhamdulillah lancar! Sekarang tinggal siap-siap buat nikahannya!” seru Tante Shofia sambil menepuk pundak Gavin.
Tawa kecil terdengar di antara keluarga besar yang sudah lelah tapi puas dengan acara lamaran malam itu.
***
Dua bulan kemudian...
Hari bahagia Gavin dan Sabrina tiba juga. Setelah dua bulan sejak lamaran mereka, akhirnya pesta pernikahan yang dinanti-nanti pun dilangsungkan. Akad nikah dilaksanakan di rumah Sabrina pada pagi hari, selanjutnya resepsi di rumah mempelai wanita akan dimulai setelah waktu dhuhur. Sementara resepsi di rumah Tante Shofia akan digelar tiga hari setelahnya.
Di pagi hari yang cerah, keluarga besar dari kedua belah pihak sudah berkumpul di rumah Sabrina. Tante Shofia, yang dikenal dengan kepiawaiannya mengatur acara, terlihat sibuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan lancar. Hira, Rayan, dan Gretta sudah berada di lokasi untuk membantu persiapan dan memastikan semuanya siap.
Sementara itu, Calla terpaksa harus absen dari akad nikah. Dia sedang sibuk dengan praktikum kuliahnya yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. Meskipun Hira terus membujuknya untuk pulang, Calla tetap memilih untuk menyelesaikan tugas kuliah yang harus dilakukan.
Hira: “Cal, kamu yakin nih nggak bisa pulang sekarang? Gavin pasti pengen kamu ada di sini buat akad nikahnya.”
Calla: "Bun, aku ngerti banget, tapi praktikum ini udah dijadwalkan dan kalau aku absent, aku bisa dapet nilai jelek. Aku udah coba minta izin, tapi gak bisa digantiin.”
Hira: “Tapi ini kan acara keluarga, Calla. Gavin kan kakak sepupu kamu juga. Gimana kalau kamu pulangnya pas acara di rumah Tante Shofia? Ini semua baju kamu udah selesai dijahit loh.”
Calla: “Aku usahakan, Bun. Aku cari tiket pulangnya habis ini ya? Nanti aku kabarin lagi kelanjutannya.”
Hira: “Oke deh, kalau gitu. Semoga kamu bisa datang, ya. Kita semua di sini pasti bakal nunggu kamu."
Calla: “Pasti, Ma. Aku doain semoga akad nikahnya lancar.”
Calla baru saja pulang dari kelas praktikum yang melelahkan dan langsung menuju kamarnya di kos. Dia merasa sedikit lelah, tetapi excitement untuk acara resepsi Gavin dan Sabrina memberikan dorongan semangat tambahan. Di kamar, Calla duduk di meja belajar, mengerjakan tugas lanjutan bersama Bithara yang juga baru saja selesai dari kelas.
"Bitha, gue lagi mikir-mikir nih. Gue harus minta izin dari kaprodi minggu depan supaya bisa datang ke resepsi Mas Gavin. Gue masih bingung gimana caranya supaya izin praktikum aku bisa disetujui," kata Calla di tengah-tengah banyaknya pikirannya.
Bithara yang sedang membuka bungkus pop mie mencoba mengerti. “Hmm, kalau menurut gue, itu bukan masalah besar sih. Momen pernikahan kakak sepupu lo itu penting banget. Lo bisa coba bikin surat izin aja. Kan, ini acara keluarga dan seumur hidup bisa jadi kesempatan langka.”
“Tapi, gue khawatir bakal bikin jadwal praktikum gue jadi berantakan. Belum lagi nanti kalau kaprodi-nya nggak setuju," kata Calla pesimis.
“Coba aja bikin suratnya dulu. Masih ada waktu buat ibunya koreksi atau baca-baca alasan lo, Cal. Kalau perlu orang tua lo juga suruh buatin suratnya yang penting gitu biar dikasi kelonggaran.” Bithara mencoba menyampaikan pendapatnya.
“Iya juga sih. Gue rasa lo benar. Gue coba deh besok. Lagipula, gue udah kerja keras buat praktikum ini, jadi setidaknya harus bisa nemuin keseimbangannya," kata Calla akhirnya.
“Pastinya! Lo kan juga bagian dari keluarga, dan acara pernikahan itu emang spesial. Jangan sampe lo ngelewatin momen berharga kayak gini hanya karena kekhawatiran kecil. Selama lo jujur dan berusaha, biasanya masalah bisa diselesaikan.”