Tahun demi tahun berlalu dengan begitu cepat. Calla sudah berada di tahap semester 5, dimana dia akan melangsungkan program pengabdian masyarakat. Progam yang dia ambil ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan di kurikulum jurusannya. Dalam satu kelompok pengabdian ini akan berjumlah 5 orang. Karena pihak kampus membebaskan mahasiswanya memilih kelompok, Calla memutuskan untuk satu kelompok dengan teman-teman dekatnya saja. Namun, Thalita tidak bisa bergabung karena dia sudah terdaftar dalam grup pengabdian tematik yang dilangsungkan oleh salah satu dosen. Karena itu, Calla mengajak Harsya—salah satu teman di kelasnya untuk bergabung dengan kelompoknya.
Cozy Beans Cafe sore itu penuh dengan aroma kopi yang manis. Di salah satu sudut ruangan, lima gadis duduk melingkar di meja kayu dengan latte dan teh dingin terhidang di hadapan mereka. Calla membuka diskusi sambil memainkan sedotan di gelasnya.
"Guys, gue mikir gini... kita kan ke desa Tunggangsari sebulan, ya? Harus ada tuh program yang impactful, tapi nggak ribet banget juga," kata Calla sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
Bithara yang duduk di sebelahnya langsung merespons, "Iya sih, bener. Gue setuju banget. Tapi jangan lupa juga soal budget. Kita harus pinter-pinter ngatur biar nggak over, guys. Kayak, seminggu pertama tuh mendingan kita fokus ke infrastruktur dulu, kayak perbaikin jalan sama fasilitas umum, gitu."
Amaya, yang duduk di ujung meja, mengangguk sambil memainkan pensil. "Nah iya, terus minggu kedua kita bisa fokus ke program kesehatan. Bawa tim medis buat edukasi warga soal kesehatan dasar, imunisasi, sama cek kesehatan gratis. Gue rasa sih itu penting banget di desa."
Hana, yang sedang scrolling di laptop, tiba-tiba berseru, "Eh, tapi jangan lupa ya, kita juga harus mikirin soal pemberdayaan perempuan di sana. Gua baca artikel, katanya banyak ibu-ibu di desa yang belum punya akses ke pelatihan keterampilan. We could totally help them out with that!"
Harsya, yang dari tadi diam mendengarkan, akhirnya ikut nimbrung. "Bener, gue malah kepikiran bikin workshop kewirausahaan buat mereka. Jadi habis dikasih pelatihan keterampilan, mereka bisa ngejalanin bisnis kecil-kecilan, maybe something like crafts or home-made products, gitu."
Suasana langsung riuh dengan setuju dan gelak tawa kecil dari keempatnya. Calla menepuk meja pelan, matanya berbinar.
"Alright, deal! Minggu ketiga kita fokus ke workshop kewirausahaan, terus minggu terakhir kita wrap up dengan festival kecil-kecilan buat ngerayain progress kita selama sebulan. Seru kan?" Calla tertawa.
Mereka semua saling pandang, tawa bersahut-sahutan. Sore di Cozy Beans terasa begitu hangat, penuh semangat, seolah program di Tunggangsari sudah berjalan dengan lancar. Harsya tiba-tiba melirik ke ponselnya yang baru saja bergetar, wajahnya berubah serius sejenak sebelum tersenyum lebar.
"Eh, guys, gue baru dapet info dari salah satu kenalan di Puskesmas setempat," katanya sambil mengangkat ponsel dan memutar layar ke arah teman-temannya. "Mereka bakal ada program imunisasi vaksin polio bareng Puskesmas waktu kita di sana. Gua rasa kita bisa join sih buat bantu-bantu."
Hana langsung merespons, matanya berbinar. "Wah, seru banget itu! Gua bisa bantu di bagian edukasinya, soalnya ini related banget sama proker kesehatan kita. Kita bisa ajak warga buat paham pentingnya imunisasi, biar anak-anak di sana nggak ketinggalan vaksin."
Amaya yang duduk di seberang langsung angguk-angguk setuju. "Setuju banget! Kita juga bisa ajak anak-anak muda di desa buat terlibat, maybe jadi relawan. Jadi biar programnya lebih menyentuh semua lapisan masyarakat."
Calla, sambil menyeruput teh dinginnya, menambahkan, "Kalau gitu, kita harus bener-bener schedule ulang deh ya, biar nggak tabrakan sama kegiatan lain. Minggu kedua itu udah padat banget sama program kesehatan kita, tapi kalo imunisasi polio ini bisa masuk, it's gonna be awesome."
Bithara mengangguk setuju sambil mencatat di laptopnya. "Oke, kita harus sinkronin sama jadwal dari Puskesmas juga. Gue bisa follow-up sama orang Puskesmas buat mastiin waktu pastinya, terus kita susun ulang plan kita."
Harsya tersenyum lega, "Nice, ini bakal jadi kolaborasi yang keren banget. Kalau Hana sama Amaya pegang bagian edukasi, kita yang lain bisa bantu di bagian administrasi atau manajemen kerumunan, biar lebih smooth."
Suasana di meja kembali ramai dengan ide-ide dan rencana yang terus berkembang. Tawa kecil dan candaan tetap menyelingi diskusi serius mereka, membuat atmosfer Cozy Beans semakin hidup dan penuh semangat kerja sama.
Setelah mendiskusikan tentang program imunisasi polio, diskusi mereka semakin seru. Calla yang terlihat santai namun tetap fokus, mencondongkan tubuh ke depan sambil menepuk ringan meja.
"Eh, tapi gue kepikiran nih, gimana kalau sambil imunisasi, kita bikin pos kecil buat cek kesehatan dasar juga? Kayak cek tekanan darah, gula darah, gitu. Biar sekalian, kan banyak orang tua juga yang datang buat anak-anaknya."
Hana langsung semangat, "Wah, bener banget! Nggak cuma anak-anak, tapi orang tua juga bisa dapat manfaat. Gua bisa urus bagian cek kesehatan itu. Gue bakal arrange dengan tim medis di Puskesmas buat supply alat-alatnya. Gampang, deh!"
Bithara mengangguk sambil mengetik cepat di laptopnya. "Oke, noted. Nanti gue coba minta detail dari Puskesmas biar bisa kita cocokin lagi dengan agenda kita. Kalau bisa sih kita adjust biar waktunya nggak terlalu mepet."
Harsya melirik ke arah Amaya yang masih diam mendengarkan. "May, lo punya ide apa lagi buat programnya? Lo kan yang paling sering megang komunikasi sama pihak desa."
Amaya tersenyum tipis sambil memainkan sedotan di gelasnya. "Hmm, gue rasa kita juga bisa ajak komunitas lokal buat ikut ambil bagian. Ada komunitas ibu-ibu di sana yang suka bikin kerajinan tangan, kayak tas sama dompet anyaman. Kita bisa buat workshop keterampilan sekaligus promosiin hasil karya mereka di akhir acara festival."
Bithara yang sudah sibuk mencatat, mengangguk setuju. "Iya, jadi kesannya program kita nggak cuma selesai pas kita pulang, tapi bisa ninggalin sesuatu yang long-term buat warga. Mereka bisa lanjut bikin dan jual hasil kerajinannya setelah kita selesai."
Calla menepuk tangan sekali. "Wah, ini makin keren aja, guys! Gue kebayang banget nanti festival penutupnya bakal seru abis. Ada produk lokal yang kita bantu promote, program kesehatan yang impactful, sama kolaborasi bareng Puskesmas. We’re gonna nail this!"
Suasana makin cair dengan tawa dan semangat yang tak henti-henti. Hana menyeringai dan berkata, "Kita siapin deh power point kece buat presentasi ke warga dan sponsor. Tapi jangan sampai ketiduran pas bikin materi, ya!"
Tawa riuh langsung pecah dari semuanya, suasana Cozy Beans Cafe terasa semakin hangat diiringi dengan semangat besar yang terus membara di antara lima sahabat ini.
***
Keesokan paginya, matahari sudah cukup tinggi saat Calla dan Harsya tiba di desa Tunggangsari. Mereka bertemu dengan Pak Rudi, kepala desa yang ramah dan mengenakan kemeja batik sederhana. Sambil berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang tenang, mereka mulai berdiskusi mengenai rencana pengabdian.
“Jadi, Pak Rudi,” Calla memulai, “kami pengen program ini nggak cuma fokus di satu aspek aja, tapi lebih komprehensif. Ada kesehatan, pendidikan, sama pemberdayaan ekonomi juga. Makanya, kami survei dulu buat lihat kondisi langsung di lapangan.”
Pak Rudi mengangguk setuju sambil menunjukkan area di dekat balai desa. “Bener, Mbak. Di sini, kami udah punya rencana untuk program imunisasi bareng Puskesmas. Mungkin kalian bisa kolaborasi di situ.”
Harsya, yang dari tadi mencatat, mengangkat kepalanya. “Oh iya, kami udah ngobrol juga soal itu sama teman di Puskesmas. Hari ini ada dua teman saya yang akan bertemu salah satu kader posyandu, Pak. Kebetulan kami juga pengen tambahin cek kesehatan dasar buat warga yang datang nanti. Sekalian edukasi soal pentingnya imunisasi.”
Pak Rudi tersenyum puas. “Bagus sekali, Mbak. Ini emang dibutuhkan sama warga di sini. Banyak yang masih kurang paham soal kesehatan, terutama yang berkaitan sama anak-anak.”
Mereka terus berjalan, melewati beberapa rumah warga yang tampak sederhana. Calla mencatat di ponselnya sambil sesekali melihat sekitar. “Kalau soal fasilitas umum, Pak, kita lihat ada beberapa jalan desa yang rusak, ya? Apakah ini bisa jadi bagian dari program kami juga?”
Pak Rudi tertawa kecil. “Wah, itu memang masalah yang cukup lama. Kalau bisa dibantu, kami tentu sangat berterima kasih. Kondisi jalan memang perlu perbaikan, terutama di bagian yang sering dilewati kendaraan warga untuk ke pasar.”
Harsya melirik Calla, memberi isyarat seolah setuju. “Kita bisa prioritaskan di minggu pertama, Call. Biar infrastruktur dasar dibenahi dulu sebelum mulai program-program lainnya.”
Calla mengangguk dan menambahkan, “Setuju. Jadi mungkin kita bisa kolaborasi juga dengan warga di sini untuk gotong royong. Biar semua bisa terlibat dan hasilnya lebih terasa buat semua.”
Mereka berhenti sejenak di depan balai desa, di mana beberapa warga tampak berkumpul. Pak Rudi menoleh ke arah mereka. “Warga di sini memang terbiasa kerja sama, Mbak. Kalau ada program yang melibatkan mereka, pasti sambutannya hangat. Jadi tinggal diatur saja kapan mau mulai.”
Diskusi berlanjut lumayan panjang, membahas detail teknis, logistik, hingga jadwal. Calla dan Harsya mencatat semua informasi penting sambil sesekali bertanya lebih dalam. Hari itu, mereka mendapat gambaran jelas tentang tantangan dan potensi program pengabdian di Tunggangsari, membuat mereka makin semangat untuk menjalankan rencana besar itu.
Sebelum berpisah, Calla tersenyum dan berkata, “Terima kasih banyak, Pak Rudi. Ini sangat membantu kami. Kami bakal terus update soal perkembangan programnya.”