Jika Calla sibuk dengan pengabdiannya, Gretta juga sibuk dengan masa SMA-nya. Setelah dinyatakan diterima di SMA Negeri 2, Gretta harus menyesuaikan diri di kehidupan barunya. Kali ini, Gretta tidak bersekolah di sekolah kakaknya dulu, melainkan bersekolah di tempat ayah dan ibunya dulu. Gretta juga semakin sibuk dengan kegiatan sekolahnya dengan banyak acara yang diikutinya. Ini adalah cara gadis kecil itu menjalani hidup lebih waras.
Begitu juga dengan Rivera, yang sudah memasuki tahun terakhirnya di kampus. Di semester 7 ini perempuan dewasa itu sangat sibuk dengan persiapan skripsinya. Rivera juga sering berada di kampus sampai larut malam untuk menjalani kuliah tambahan. Selain itu, dia juga mengambil magang di beberapa tempat setiap habis masanya. Rivera benar-benar mencari banyak pengalaman agar nantinya bisa diterima di dunia kerja. Namun, di kesibukannya ini dia sangat terbatas transportasi. Alhasil, sang ibu, Tania menyuruh anaknya untuk meminjam motor milik Calla yang tidak di pakai di rumah.
Di pagi yang cerah, Rivera datang ke rumah Hira dengan wajah penuh harapan. Hira baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk keluarganya dan sedang bersantai di teras rumah ketika Rivera tiba. Dengan senyum lebar, Rivera menyapa Hira.
“Tante, pagi! Maaf ganggu, tapi ada yang mau aku tanya,” ujar Rivera dengan nada yang ceria.
“Pagi, Riv! Ada apa?” tanya Hira sambil memandang Rivera dengan penuh rasa ingin tahu.
“Jadi gini, motor di rumahku kan dipakai ibuk untuk kerja. Aku butuh banget motor buat ke kampus, soalnya aku lagi ngurus skripsi dan banyak banget yang harus dilakukan. Kalau bisa, aku pinjam motor tante yang di sini,” jelas Rivera dengan penuh harapan.
Hira berpikir sejenak. “Hmm, sebenarnya motor di sini juga butuh, tapi… aku paham kok. Kamu lebih butuh motor ini daripada aku. Aku masih bisa nebeng sama teman-teman ke sekolah. Lagipula, ada satu motor lagi yang bisa aku pakai di luar jam sekolah.”
Rivera tampak lega mendengar itu. “Terima kasih banyak, Tante! Aku bener-bener butuh banget. Skripsi ini bikin kepala pusing, dan sering banget harus ke kampus untuk bimbingan.”
Hira tersenyum, “Gak masalah, Riv. Toh Gretta juga sudah mulai SMA dan bisa pakai motor yang satu lagi di luar jam sekolah. Jadi, kamu pake aja motor ini.”
“Wah, makasih banget, Tante. Ini bakal sangat membantu. Aku janji bakal merawat motor ini baik-baik,” kata Rivera sambil menunjukkan senyum yang tulus.
Hira mengangguk, “Tentu saja. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa dengan motor, kasih tahu aja. Motor ini juga sudah agak tua, jadi harus diperiksa rutin.”
“Iya, Tante, pasti. Aku bakal hati-hati. Nanti malam aku bakal pulang dan kasih kabar,” jawab Rivera dengan semangat.
Hira berdiri dan memanggil Gretta yang sedang duduk di ruang tengah, “Gretta, ayo sini. Tadi ibun udah setujuin pinjam motor buat Rivera. Kasih tahu dia dimana kunci motornya, ya.”
Gretta muncul dari ruang tengah dengan ekspresi agak penasaran. “Oh, jadi Kak Riv mau pinjam motor ya? Oke deh, kunci ada di tempat biasanya.”
Setelah mendapatkan kunci motor, Rivera berterima kasih lagi kepada Hira dan Gretta. “Sekali lagi, terima kasih banyak, Tante. Ini bener-bener berarti buat aku.”
Sambil tersenyum, Hira menjawab, “Sama-sama, Riv. Semoga skripsinya lancar dan cepat selesai. Jangan lupa, kalau ada waktu, mampir lagi. Keluarga selalu ada untuk saling bantu.”
Rivera mengangguk penuh rasa terima kasih dan pergi menuju motor yang dipinjamnya, siap untuk memulai hari yang penuh dengan tugas dan tanggung jawab di kampus. Hira kembali ke teras rumah dengan perasaan puas, senang bisa membantu keponakannya, sambil memikirkan rencana hariannya yang akan datang.
Setelah Rivera pergi dengan motor yang dipinjamnya, Hira kembali ke teras dan melanjutkan aktivitas pagi hari. Sambil menikmati secangkir kopi hangat, dia berpikir tentang seberapa cepat waktu berlalu. Gretta, yang kini sudah memasuki SMA, juga semakin sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Hira merasa bangga dengan perkembangan anak perempuannya, tetapi juga merasa sedikit kehilangan karena Gretta jarang di rumah.
Gretta yang sebelumnya hanya duduk di ruang tengah, akhirnya keluar ke teras. “Bun, aku mau tanya, ada apa tadi? Kok kayaknya serius banget?” tanya Gretta dengan nada penasaran.
Hira tersenyum melihat Gretta. “Oh, itu Rivera, mau pinjam motor. Katanya motornya yang di rumah dipakai ibuknya buat kerja, dan dia butuh motor buat ke kampus. Ibun setujuin aja, soalnya dia memang butuh banget.”
Gretta mengangguk. “Oh, gitu. Ya udah, semoga aja motor itu bisa bantu dia. Lagipula, aku masih bisa pakai motor yang satu lagi.”
“Iya, benar. Tapi nanti kalau ada apa-apa, jangan lupa lapor ya. Kita tetap harus jaga-jaga.” Hira menjelaskan sambil menyesap kopi.
“Tenang aja, Bun. Aku bakal periksa motor sebelum pakai,” jawab Gretta sambil melihat jam di tangannya. “Eh, aku udah telat. Aku harus berangkat ke sekolah.”
Hira mengangguk dan menatap Gretta dengan penuh kasih sayang. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang dan bawa payung kalau hujan.”
Gretta hanya mengangguk dan berjalan menuju motor. Hira melihatnya pergi dengan perasaan campur aduk—senang melihat anaknya tumbuh dewasa, tapi juga merasa sepi ketika Gretta tak lagi banyak berada di rumah.
Setelah Gretta pergi, Hira memutuskan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Dia menyapu teras dan merapikan beberapa barang yang berserakan. Sesekali, dia melirik jam dinding dan memastikan semuanya beres sebelum berangkat ke sekolah.
Sementara itu, di kampus, Rivera sudah sangat sibuk. Dia baru saja menghadiri bimbingan skripsi dengan dosen pembimbingnya. Tumpukan catatan dan buku di meja membuatnya merasa lebih dari sekadar lelah—dia merasa hampir kewalahan. Namun, saat dia melihat motor yang dipinjam dari Hira, hatinya merasa sedikit lebih ringan. Dengan motor itu, dia bisa lebih efisien bergerak antara kampus dan tempat tinggalnya.
“Motor ini benar-benar menyelamatkan hari,” pikir Rivera sambil menghidupkan mesin motor dan meresapi momen kebebasan yang diberikan oleh Hira.
Sementara itu, Hira tiba di sekolah dan memulai hari dengan penuh energi, meskipun sedikit kelelahan. Di kelas, dia berinteraksi dengan murid-muridnya, memberikan pelajaran dengan semangat, dan menjalani rutinitas sehari-hari dengan penuh dedikasi.
Hari itu berjalan lancar bagi keduanya, meskipun dengan aktivitas yang padat. Di malam hari, saat Hira pulang, dia merasa lega melihat rumah yang tenang dan siap untuk istirahat setelah seharian bekerja dan mengajar.
Sementara Rivera, setelah seharian di kampus, pulang dengan motor, merasa bersyukur atas bantuan Hira. Dia mengirim pesan singkat kepada Hira sebagai tanda terima kasih.
“Terima kasih banyak, Tante. Motor ini sangat membantu, dan hari ini bisa produktif. Semoga besok kita bisa ketemu lagi. Salam untuk Gretta!”
Hira menerima pesan itu dan membalas dengan penuh rasa syukur. “Sama-sama, Riv. Senang bisa membantu. Jaga diri dan semoga skripsinya lancar. Sampai jumpa!”
Dengan senyum di wajah, Hira merasa puas telah membantu keponakannya dan menjalani hari yang penuh dengan aktivitas dan tanggung jawab. Dia melanjutkan malamnya dengan rasa tenang, siap untuk menghadapi hari baru esok hari.
***
Dalam dua bulan terakhir, kehidupan Rivera semakin padat dengan aktivitas yang menguras waktu dan tenaga. Setiap pagi, dia berangkat pagi-pagi buta menuju kantor tempatnya magang. Dia sibuk dengan berbagai tugas yang menumpuk, mulai dari menyusun laporan hingga menghadiri rapat. Setelah selesai di kantor, dia langsung meluncur ke kampus untuk menghadiri kuliah dan sesi bimbingan skripsi yang juga memakan waktu hingga malam.
Dia terus menggunakan motor milik Hira, yang sangat membantunya dalam mobilitas yang tinggi. Motor itu menjadi kendaraan andalannya, dari perjalanan pagi hingga malam hari. Meski begitu, Rivera merasa sangat berterima kasih atas pinjaman motor ini, karena tanpa motor tersebut, jadwalnya mungkin akan menjadi jauh lebih rumit.
Di sisi lain, Hira juga merasakan dampak dari situasi ini. Meskipun motor tersebut miliknya, Hira hanya bisa menggunakan motor itu saat ada kebutuhan mendesak yang memerlukan perjalanan ke kota. Kadang-kadang, dia harus menyesuaikan jadwal Rivera agar bisa meminjam motor untuk urusan penting seperti mengurus administrasi atau belanja kebutuhan sehari-hari. Hal ini membuatnya sedikit merasa tertekan karena harus mengatur waktunya dengan hati-hati.
Suatu pagi, Hira merencanakan perjalanan ke kota untuk menghadiri rapat penting di sekolah dan mengambil beberapa dokumen. Dia memeriksa jadwal Rivera, dan setelah memastikan bahwa Rivera tidak akan menggunakan motor pagi itu, Hira memutuskan untuk meminjam motor. Namun, meskipun sudah merencanakan dengan matang, Hira harus memastikan kembali bahwa motor akan dikembalikan sebelum Rivera berangkat ke kampus malam hari.