Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #25

Antara Prioritas dan Pengorbanan

Setelah lebaran tahun ini selesai, keluarga dari nenek Amina dan nenek Irma akan melangsungkan acara reuni besar-besaran. Reuni ini akan didatangi oleh seluruh garis keturunan dari orang tua nenek Amina dan nenek Irma. Yang jika dihitung-hitung sudah pasti sekitar ratusan orang karena keturunannya semakin bertambah. Mereka semua datang dari luar kota bahkan ada yang dari luar pulau. Beberapa dari mereka yang masih satu kota jelas akan datang untuk sekedar menyambung tali silaturahmi.

Suasana sore itu di rumah Nenek Amina benar-benar penuh keceriaan. Reuni keluarga besar yang sudah lama direncanakan akhirnya terwujud. Rumah Nenek Amina dan Nenek Irma yang bersebelahan jadi tempat sempurna untuk menyatukan semua anggota keluarga, mulai dari anak-anak sampai cucu-cucu. Dua halaman rumah itu digabung menjadi satu, dihias dengan lampu-lampu gantung dan meja panjang yang dipenuhi aneka hidangan.

Nenek Amina duduk di beranda, menyaksikan dengan senyum bangga. Sisa-sisa usia tidak memadamkan semangatnya untuk menyaksikan anak-anaknya, Shofia, Tania, dan Rayan, berkumpul kembali. Nenek Amina adalah satu-satunya generasi tertua yang tersisa, dan keberadaannya menjadi pusat perhatian di acara ini. Setiap kali ada yang datang, mereka menghampiri untuk sekadar memberi salam dan berbincang.

Di tengah suasana ramai, Shofia dan keluarganya datang lengkap. Suaminya, Razky, sibuk mengawasi cucu mereka, Nazeea, yang lari-larian mengejar balon. Galen dan istrinya, Mora, juga sibuk dengan Nazeea yang enerjik, sementara Gavin duduk di meja, memegang tangan Sabrina yang sedang hamil. Mereka kelihatan antusias membicarakan masa depan si kecil yang akan lahir sebentar lagi.

Di sisi lain, Tania tiba dengan anaknya tunggalnya, Rivera. Rivera sibuk ngobrol sama sepupu-sepupunya, sambil sesekali mengecek ponselnya. Sejak sibuk skripsi dan magang, Rivera jarang muncul, jadi obrolan mereka lebih banyak soal gimana kehidupan Rivera yang sekarang super padat.

Rayan juga nggak kalah sibuk, kali ini datang bersama Hira, Gretta, dan Calla. Gretta yang baru masuk SMA sibuk ngobrol sama sepupu-sepupunya, sementara Calla masih mengambil makanan untuk menjamu sepupunya yang datang dari jauh itu.

Di tengah-tengah itu semua, para sepupu yang seumuran kayak Rangga, Raka, Lingga, Rivera, Calla, dan Gretta langsung berkumpul di satu meja yang agak terpisah dari orang tua mereka. Obrolan mereka ngalor ngidul, nggak ada habisnya.

“Eh, lo tahu nggak sih? Si Gavin bentar lagi bakal jadi bapak, loh. Gila sih, kita tuh udah tua, men!” ujar Raka sambil ngakak.

Rivera yang lagi nyeruput es teh, senyum sambil ngangguk. “Iya nih, kayaknya baru kemarin kita bareng-bareng main petak umpet di halaman ini, sekarang udah ada yang mau punya anak. Waktu cepet banget, njir.”

Gretta yang duduk di seberang mereka ikut nimbrung, “Iya, gila ya. Eh, tapi Kak, lo semua kayak udah pada dewasa banget. Gue nih masih struggling ngadepin masa-masa SMA. Lo semua udah masuk fase serius, gue masih nyari cara biar nggak telat masuk kelas.”

Lingga ketawa kecil, “Tenang aja, Ta. Fase lo tuh seru, nikmatin aja dulu. Tapi emang ya, ngeliat Gavin sekarang udah mau jadi bapak, gue kayak... wow, ternyata waktu berjalan cepet banget.”

Rangga, yang dari tadi diam, akhirnya nimbrung juga. “Ngomong-ngomong soal fase, gue kayak ngerasa reuni kayak gini tuh penting banget buat ngingetin kita soal family. Apalagi buat nenek, dia pasti seneng banget ngeliat semua cucunya kumpul kayak gini.”

Obrolan makin random, dan canda-tawa terus terdengar di meja mereka. Gretta yang paling muda di antara mereka, sesekali menyela sambil ngeledekin sepupu-sepupunya yang lebih tua. Mereka ngobrolin banyak hal, mulai dari masa kecil, drama-drama hidup, sampai cerita lucu di kampus dan kantor masing-masing. Tak lama kemudian, Calla datang dengan nampan berisi ice cream dan buah-buahan.

"Nih, yang tadi rewel minta ice cream gue bawain segepok!" kata Calla meletakkan nampannya di meja.

"Niat banget lo, Cal!" balas Rangga yang langsung mengambil satu cup ice cream coklat. "Mochi ada nggak, Cal?"

"Ngelunjak banget ya lo! Adanya ini bjir, gue males ngantri yang lain," balasnya sewot. Wajar, Calla memang sedang PMS, jadi emosinya jelas naik turun. Rangga hanya tertawa menanggapinya. Lucu sekali menggoda sepupunya itu.

“Eh, btw, kalian ada yang ingat waktu kita main sepak bola di halaman, terus bola nyangkut di atap rumah Nenek Irma?” tanya Lingga tiba-tiba, memancing tawa. Dia sadar, mood Calla sedang buruk dan tidak boleh dibiarkan begitu saja.

“Gila, inget banget!” jawab Rivera sambil ngakak. “Kita tuh panik banget, nggak tahu gimana cara ambil bolanya. Akhirnya, lo manjat pohon mangga, dan jatuh! Sumpah, itu epic banget!”

Semua sepupu tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian lama itu. Nenek Amina yang duduk di teras, mendengar riuhnya tawa mereka, tersenyum puas. Momen-momen seperti ini, di mana keluarga berkumpul dan tawa memenuhi udara, adalah harta yang paling berharga baginya.

Di meja lain, para orang tua juga ngobrol seru. Para ibu-ibu saling bertukar cerita soal anak-anak mereka, sementara bapak-bapak lebih banyak diam sambil sesekali tersenyum mendengarkan obrolan para istrinya yang asyik diskusi soal resep makanan baru.

Acara reuni sore itu benar-benar penuh kehangatan. Semua keluarga besar dari nenek Amina berkumpul, berbagi cerita, tawa, dan kenangan. Rumah Nenek Amina dan Nenek Irma yang bersebelahan jadi saksi momen-momen bahagia yang tak ternilai. Bagi mereka, acara seperti ini bukan sekadar pertemuan biasa, tapi pengingat akan betapa kuatnya ikatan keluarga yang terjaga, meski waktu terus berjalan.

Obrolan di meja para sepupu berlanjut semakin seru. Setelah nostalgia soal masa kecil, pembahasan mulai beralih ke sesuatu yang lebih personal—betapa lama mereka sebenarnya nggak ketemu, kecuali di acara keluarga kayak gini. Gretta yang biasanya lebih diam, kali ini nggak bisa menahan diri buat nanya.

“Eh, kita tuh udah lama banget ya nggak ketemu? Seriusan, kapan terakhir kita nongkrong bareng kayak gini? Kayaknya tiap kali ketemu tuh cuma pas acara keluarga aja, deh,” ujar Gretta sambil mengaduk minumannya.

Rangga yang lagi ngunyah keripik, angkat alis sambil mikir. “Iya, ya. Kayaknya udah lama banget. Paling ketemunya pas pernikahan Gavin kemarin. Setelah itu ya udah, lost contact lagi.”

“Bener banget,” sahut Lingga sambil menenggak es teh. “Kita tuh cuma reuni di acara yang gede-gede aja. Kalau nggak nikahan, ya ulang tahun nenek. Padahal, kita semua tuh di bumi yang sama. Gila, nggak sih?”

Calla, yang dari tadi ikut dengerin, tiba-tiba nyeletuk sambil ngelirik ke arah Rangga, Raka, dan Lingga. “Eh, lo semua pada tau nggak, gue tuh satu kota loh sama kalian bertiga! Parah banget, tiap hari ada di kota yang sama, tapi lo semua nggak pernah ngajak gue main. Ketemunya malah di acara keluarga kayak gini. Parah sih.”

Rangga, Raka, dan Lingga langsung saling pandang dengan wajah bersalah tapi juga geli. Raka, yang paling sering meledek, langsung angkat tangan tanda menyerah. “Waduh, Cal. Gue minta maaf deh, ya. Tapi asli, gue kira lo sibuk sama kuliah. Tiap ketemu juga keliatan rajin banget, kayaknya nggak mungkin diajak nongkrong.”

Lingga nambahin sambil ketawa kecil, “Iya bener. Kita sering nongkrong, tapi bukannya apa ya. Gue tau lo gampang banget pelor bjir. Takutnya gue bingung bawa lo baliknya kalau ketiduran di tongkrongan, Cal!”

Calla cuma mendengus sambil nyengir. “Halah, alasan! Lo aja males ngajak, bukannya gue nggak mau. Kalau diajak mah, gue dateng lah. Masa gue harus nyamperin sendiri ke tempat nongkrong lo?”

Rangga nyenggol bahu Calla, sambil ngakak. “Ya udah deh, kali ini kita yang salah. Tapi mulai sekarang, lo harus ikut ya kalau kita nongkrong. Jangan nolak!”

Gretta ikut nimbrung sambil ngelempar tatapan menggoda ke Calla, “Iya tuh, Kak. Jangan cuma pinter di kampus, nongkrong juga penting buat jaga silaturahmi. Biar balance gitu.”

Calla ketawa, akhirnya lemes juga setelah ngeledek sepupu-sepupunya. “Ya udah deh, next time lo semua nongkrong, kabarin gue. Gue bakal siap ikut. Tapi jemput yaa. Deal?”

“Deal!” teriak Rangga, Raka, dan Lingga bersamaan, membuat meja mereka kembali riuh dengan tawa.

Obrolan makin santai, tapi keakraban terasa makin hangat. Meski lama nggak ketemu, mereka sadar kalau ikatan darah itu bikin mereka tetep bisa deket, walaupun jarang nongkrong bareng di luar acara keluarga. Kesibukan kuliah, kerja, dan kegiatan masing-masing nggak bisa memutus hubungan itu.

Raka, yang selalu punya kata-kata bijak meski suka bercanda, tiba-tiba menyeletuk, “Ya intinya sih, walaupun kita jarang ketemu, gue ngerasa kayak kita nggak pernah jauh. Setiap kali kumpul gini, semuanya langsung connect lagi.”

Lihat selengkapnya