Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #26

Gretta dan Curiga

Suatu sore di rumah Nenek Amina, Gretta duduk di ruang tamu sambil mengobrol santai dengan Nenek Amina. Sore itu rumah terasa hangat, cahaya matahari yang perlahan mulai meredup menembus jendela, menciptakan suasana yang damai. Sementara itu, di sudut ruangan, Rivera tampak sibuk dengan ponselnya. Gretta memperhatikan sepintas, tapi tidak terlalu memikirkannya, sampai akhirnya dia melihat hal yang janggal.

"Eh, kok kayaknya itu ponsel baru ya?" gumam Gretta dalam hati sambil berusaha menahan ekspresi terkejutnya.

Rivera yang biasanya menggunakan ponsel lama, kini terlihat menggenggam dua ponsel sekaligus. Gretta mencoba mencuri pandang beberapa kali, memastikan kalau matanya tidak salah. Tapi jelas, itu bukan ponsel yang biasanya Rivera pakai.

Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul di rumah Nenek Amina. Gretta yang duduk di ruang keluarga, memperhatikan Rivera yang sedang duduk di meja makan. Kali ini, sepupunya terlihat menggenggam ponsel yang berbeda dari sebelumnya, dan jelas itu bukan ponsel lamanya. Gretta mulai semakin curiga, tapi ia tetap memilih diam, mencoba mencari celah untuk mengetahui lebih banyak.

"Ponsel baru? Bukannya kemarin-kemarin Tante Tania baru minjem uang yang katanya buat biaya kuliah ya?" pikir Gretta dalam hati. Matanya terus memperhatikan gerakan Rivera yang sibuk mengetik di layar ponsel baru itu. "Mahal banget, ini keluaran terbaru lagi. Aduh, gimana sih caranya dia bisa beli ini?"

Saat Rivera pergi ke dapur untuk mengambil minum, Gretta berusaha mendekat ke meja tempat Rivera meninggalkan ponselnya. Dia tidak berani menyentuh, hanya sekadar melihat dari jauh. “Beneran baru… dan yang ini keluaran mahal banget,” Gretta membatin sambil merasa aneh.

Semakin lama, semakin banyak momen di mana Gretta melihat Rivera dengan ponsel barunya. Ia terus mengamati dengan diam, tanpa pernah menegur atau bertanya langsung. Dalam pikirannya, dia terus berputar-putar antara rasa penasaran dan kebingungan.

"Apasih dia tuh, minjem motor dipakai buat kuliah. Tapi sekarang malah pegang ponsel baru... ini ada yang nggak beres sih, tapi gue belum punya bukti apa-apa," pikir Gretta sambil menarik napas panjang. Saking terkejutnya, Gretta hanya bisa bermonolog dalam hati. Ia tak ingin langsung mengonfrontasi Rivera tanpa tahu cerita lengkapnya.

***

Malam itu di kamar Gretta, suara lemari yang dibuka dan ditutup pelan terdengar di antara obrolan ringan ibu dan anak. Gretta, yang sejak tadi membantu ibunya merapikan baju, tampak gelisah. Setelah beberapa saat ragu, akhirnya ia memutuskan untuk membuka suara.

“Bun, aku mau ngomong soal Kak Rivera deh,” ucap Gretta, mencoba untuk tidak terdengar terlalu serius.

Hira berhenti sejenak, menatap putrinya dengan alis sedikit terangkat. “Iya, kenapa Kak Rivera?”

Gretta mengambil napas panjang, kemudian berkata, “Aku curiga deh, Kak Rivera tuh kayaknya beli ponsel baru. Yang terbaru, Bun. Mahal banget.”

Mata Hira sedikit melebar mendengar itu. “Ponsel baru?” tanyanya, sedikit terkejut. “Emang kamu yakin, Ta?”

“Iya, Bun. Aku sering liat dia pake dua ponsel. Ponsel satunya jelas banget model terbaru. Padahal, setau aku dia belum beli apa-apa kan? Dan aku nggak pernah denger soal itu dari Tante Tania juga.”

Hira menghela napas, mencoba mencerna informasi itu. “Hm, ini baru ya buat Ibun... tapi sebenarnya, Kak Rivera pernah ngubungin Ibun pakai nomor yang nggak Ibun kenal waktu nanyain soal uang servis motor. Ibun mikirnya mungkin dia ganti nomor atau ponselnya lagi di servis. Tapi kalau ternyata dia punya ponsel baru...?”

Gretta mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa penasaran yang mendalam. “Iya, Bun. Aku jadi bingung. Dia nggak pernah cerita apa-apa soal itu ke aku. Cuma, rasanya aneh aja kalau tiba-tiba ada ponsel baru tanpa penjelasan.”

Hira mengangguk, memandang Gretta dengan ekspresi berpikir. “Ibun ngerti perasaan kamu. Tapi, kita nggak boleh langsung suudzon. Belum ada bukti kuat, kan? Bisa aja itu ponsel pinjaman atau... mungkin ada alasan lain yang kita belum tahu.”

Gretta menghela napas, merasa lega setelah akhirnya mengungkapkan kekhawatirannya. “Iya, Bun, aku juga nggak mau langsung nuduh. Cuma… ya, aneh aja rasanya.”

Hira tersenyum kecil, mengelus kepala Gretta dengan lembut. “Kita tunggu dulu ya, Nak. Ibun yakin nanti semuanya akan jelas. Kalau ada yang perlu kita bicarakan lebih lanjut, kita bicarain nanti, pas kita udah punya fakta.”

Malam itu, meski belum menemukan jawaban, Gretta dan Hira sama-sama sepakat untuk menunggu kebenarannya muncul. Mereka memilih untuk bersabar, sambil mengamati dengan lebih teliti tanpa terlalu cepat mengambil kesimpulan.

***

Setelah perbincangan awal dengan Hira, kegelisahan Gretta terus mengganggunya. Suatu malam, saat mereka berdua sedang bersantai di ruang keluarga, Gretta memutuskan untuk melanjutkan obrolan soal Rivera.

“Ibun, aku sebenernya bukan curiga karena iri atau gimana, loh,” kata Gretta pelan sambil memainkan ujung selimut yang melingkari kakinya. “Cuma... aku kepikiran Tante Tania.”

Hira menoleh dari buku yang sedang dibacanya. “Kenapa kepikiran Tante Tania?” tanyanya lembut.

“Ya, aku mikir, kalau benar Kak Rivera beli ponsel baru dari uang beasiswanya, bukannya uang itu lebih baik buat keperluan skripsi, magang, atau praktikum-praktikum dia di kampus?” Gretta mengerutkan kening. “Aku tahu, beasiswa itu bukan buat barang-barang mahal. Dan aku juga lihat sendiri, Ayah kan sering bantu Tante Tania, ya... ngasih uang buat bantu kebutuhan hidup mereka.”

Hira mendengarkan dengan saksama. “Jadi, kamu lebih khawatir soal gimana Tante Tania dan Kak Rivera pakai uang itu?”

“Iya, Bun. Aku ngerasa uangnya mungkin bisa lebih bijak dipakai. Maksudku, kan dia udah di tahun terakhir kuliah. Kayaknya bakal lebih banyak butuh uang buat skripsi, magang, terus tugas-tugas lain. Aku takut aja nanti malah jadi beban buat Tante Tania, dan... Ayah juga kan selama ini banyak bantu mereka.”

Hira mengangguk pelan, menaruh bukunya ke samping. “Ibun ngerti kekhawatiran kamu, Gretta. Kamu perhatian sama mereka, dan itu bagus. Tapi, mungkin kita nggak tahu seluruh ceritanya. Bisa aja Kak Rivera punya rencana lain yang kita nggak tahu.”

“Tapi Bun,” Gretta menambahkan, “Ayah sering banget kasih uang ke Tante Tania, kan? Aku lihat Papa bantu mereka buat nutupin banyak kebutuhan. Kalau Kak Rivera beli ponsel baru mahal-mahal gitu, bukannya mending uangnya buat hal-hal yang lebih penting?”

Hira terdiam sejenak, lalu mengangguk setuju. “Iya, Ayah memang sering bantu. Dan mungkin Kak Rivera nggak sadar kalau itu jadi beban tambahan buat Tante Tania. Kita nggak tahu pasti. Tapi... kita juga nggak bisa langsung menilai keputusan mereka tanpa tau semua fakta.”

Gretta tersenyum lemah. “Iya, aku ngerti, Bun. Cuma rasanya sayang aja, lihat mereka struggling tapi terus ada barang-barang yang kelihatan nggak urgent.”

“Kita tunggu dulu ya, Nak. Mungkin nanti Ibun bisa ngobrol sama Tante Tania secara halus. Tapi yang penting, kita tetap berpikir positif. Siapa tahu ada alasan yang belum kita pahami,” kata Hira, mencoba menenangkan.

Gretta mengangguk, meski rasa gelisahnya belum sepenuhnya hilang. Dia tahu bahwa Hira selalu bijak dalam menilai sesuatu, tapi sulit baginya untuk mengabaikan perasaannya tentang keputusan Rivera dan Tante Tania.

***

Malam itu, Gretta yang masih dihantui rasa penasaran, berbaring gelisah di tempat tidurnya. Setelah berpikir cukup lama, dia memutuskan untuk menghubungi kakaknya, Calla, meski tahu ini sudah larut malam.

Dengan cepat dia membuka ponselnya dan melakukan panggilan video. Setelah beberapa nada sambung, layar ponsel Gretta menampilkan wajah Calla yang tampak kurang antusias. "Ya ampun, Taaaa... lo kan tahu sekarang udah malem. Ngapain sih, video call sekarang?" Calla bertanya dengan nada sedikit kesal.

Gretta yang merasa sedikit bersalah langsung berkata, "Sorry banget, Kak, ganggu. Tapi gue perlu banget cerita nih."

Calla menghela napas panjang. "Buset dah, lo ada cerita apa sih. Apa nggak bisa besok aja?"

"Hehe, nggak bisa Kak, ini urgent banget. Kalau besok takutnya gue lupa." Gretta merubah duduknya lebih tegak untuk mengatakan hal serius ini. "Lo... lagi sama Kak Nevan ya?" tebaknya.

"Tadi sih iya, sekarang udah enggak. Kan gue telfon sama lo sekarang!" kata Calla kesal.

Gretta memutar matanya. "Ya, maaf. Tapi ini penting banget! Gue tuh lagi kepikiran soal Kak Rivera."

Seketika Calla terlihat lebih tertarik, meskipun dia masih menahan diri. "Kak Rive? Kenapa emang?" tanyanya, sambil melirik Nevan yang tampaknya masih di panggilan lain.

"Jadi gini, Kak, gue curiga banget Kak Rivera kayaknya beli ponsel baru. Yang mahal, yang model paling baru gitu. Dan gue tuh mikir, kalo itu beneran, kok kayaknya nggak bijak banget ya? Kan dia lagi butuh uang buat skripsi, magang, segala macem. Gimana coba kalau uang beasiswanya dipake buat beli ponsel? Bukannya mending buat yang lebih penting?"

Calla tampak mendengarkan, meskipun ada sedikit kerutan di dahinya karena fokusnya terpecah antara Gretta dan Nevan. "Hmm... ya, gue ngerti sih lo khawatir, Ta. Tapi kita nggak bisa langsung judge juga. Mungkin aja dia punya alasan lain."

Lihat selengkapnya