Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #27

Langit Tak Selalu Cerah di Rumah Kita

Suatu sore, Rayan dan Gretta sedang dalam perjalanan menuju rumah Tante Shofia. Mereka membawa beberapa makanan yang sudah dimasak Hira untuk dikirimkan ke sana, seperti biasa, keluarga saling berbagi ketika ada kelebihan makanan. Setibanya di rumah Tante Shofia, suasana hangat dan ramah langsung terasa. Namun, percakapan yang terjadi setelahnya, tak bisa dihindari, mulai menyentuh isu yang cukup sensitif.

Saat Rayan dan Gretta duduk di ruang tamu, Tante Shofia mulai berbicara dengan nada agak mengeluh.

"Yan, kok Hira sekarang nggak mau minjemin motornya ke Rivera lagi, sih? Padahal Rivera tuh udah tinggal nunggu jadwal sidang, nggak lama lagi selesai kuliah. Tapi kasihan, anak itu harus mondar-mandir kuliah dan urusan lain tanpa motor,” kata Tante Shofia dengan nada prihatin.

Rayan langsung menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut dengan tuduhan itu. "Nggak, Mbak. Hira bukannya nggak mau minjemin lagi motornya. Hira udah bilang ke Rivera kalau dia bisa ambil motornya lagi kalau masih butuh. Tapi memang pas waktu itu Hira juga perlu buat keperluan penting, kan urus CPNS."

Tante Shofia terlihat tak puas dengan penjelasan itu. "Tapi kata Rivera, waktu dia mau ambil motornya, Hira udah duluan pake, padahal dia juga butuh banget buat kuliah."

Rayan menggeleng sambil menarik napas panjang, mencoba menahan kesabarannya. "Mbak, Hira udah bilang dari jauh-jauh hari kalau hari itu dia harus pakai motor, dan Rivera juga udah tahu. Lagipula, itu motor Hira. Masa yang punya motor harus terus-terusan menyesuaikan jadwal Rivera?"

Gretta yang duduk di samping ayahnya memilih diam saja, meskipun dalam hati ia merasa percakapan ini sedikit tidak adil. Namun, dia tahu ini bukan tempatnya untuk ikut campur.

Tiba-tiba, Tante Shofia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, "Tapi kenyataannya sekarang, Hira nggak mau minjemin motornya lagi ke Rivera. Malah, Tania kemarin bilang kalau dia buat makan aja udah susah. Gimana bisa Hira nggak ngerti keadaan mereka?"

Rayan mulai merasakan panas di dadanya. Istrinya, Hira, dituduh seperti itu tanpa dasar. Ia tak bisa lagi menahan emosinya, apalagi ketika menyangkut keluarganya.

“Mbak, jangan ngomong begitu. Rivera baru aja beli ponsel keluaran terbaru dengan harga yang lumayan mahal, lho. Kalau buat makan aja susah, gimana bisa dia beli ponsel kayak gitu?” Rayan keceplosan mengungkapkan isi hatinya yang sudah lama terpendam.

Tante Shofia sedikit terkejut mendengarnya, tetapi dia bisa mengontrol raut wajahnya dengan cepat. Karena Tante Shofia sendiri yang kemarin membantu menambahkan uang untuk pembelian ponsel baru. Dia juga sudah tahu alasan-alasannya apa. "Ya itu kan nggak seberapa, Yan. Rivera beli itu juga buat tugas kuliahnya. Ponsel lamanya itu sudak nggak kuat buat kuliah lagi. Kasihan kalau dia nggak beli baru. Apalagi dia juga lagi sibuk skripsi sekarang." Tante Shofia jelas membela Rivera, karena selama ini yang membantu pekerjaan rumahnya adalah Rivera dan Tante Tania.

"Ya kalau bisa beli ponsel sebagus itu harusnya punya uang buat makan kan? Berani mengambil keputusan besar harusnya berani juga menanggung resiko." Rayan jelas juga tersulut emosi. Dia berusaha tidak membentak karena mau bagaimana juga Tante Shofia adalah kakak tertua.

Gretta yang sejak tadi diam, langsung terpaku mendengar ayahnya berkata demikian. Ia tahu, ini adalah hal yang selama ini dipendam oleh keluarganya. Tiba-tiba, tanpa sadar Gretta ikut terbawa suasana.

"Ngerjain skripsi kok di ponsel, nggak make sense banget. Padahal laptopnya juga bagus, baru ganti memori juga," gumam Gretta menambahkan, suaranya sedikit lirih tapi terdengar jelas.

Tante Shofia terdiam, terlihat sedikit tersentak dengan informasi yang baru ia dengar. Rayan segera melanjutkan, suaranya lebih tenang tapi tegas.

“Mbak, kita semua tahu Tania dalam situasi yang sulit, dan aku sama Hira selalu bantu semampunya. Tapi, Rivera tuh bukan anak kecil lagi, dia udah dewasa. Kalau dia bisa beli ponsel baru, berarti ada prioritas yang salah di situ. Jadi jangan bilang Hira nggak peduli. Hira selalu mikirin Rivera, tapi masa harus terus berkorban tanpa pertimbangan?"

Suasana mendadak menjadi lebih berat. Tante Shofia tak lagi berkata-kata, mungkin terkejut dengan kenyataan yang baru terungkap. Gretta merasa campuran antara lega dan tegang setelah ia tanpa sengaja ikut menambahkan informasi yang mungkin membuat situasi semakin rumit.

Setelah beberapa saat terdiam, Tante Shofia hanya menunduk sedikit, tanpa melanjutkan percakapan yang lebih jauh. Rayan mengajak Gretta untuk segera pamit, agar suasana tidak semakin keruh.

Dalam perjalanan pulang, Rayan menatap putrinya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kamu tahu ponsel barunya Rivera harga berapaan, Ta?”

"Kata temen aku bisa lebih 8 jutaan sih, Yah. Itu baru yang second, nggak tahu kalau yang ori," balas Gretta. Untungnya, kemarin gadis kecil itu sempat bertanya pada teman-temannya sehingga dia punya jawaban yang jujur.

Gretta hanya tersenyum tipis, merasa lega tapi juga sedikit bersalah. Namun, yang pasti, suasana di keluarga besar mereka kini tidak lagi sehangat sebelumnya.

***

Setelah kejadian di rumah Tante Shofia, suasana di dalam keluarga besar mulai berubah. Tidak ada lagi kehangatan seperti biasanya. Rayan dan Hira merasa sedikit tersisih, terlebih setelah percakapan itu. Gretta yang sempat keceplosan juga merasa canggung setiap kali bertemu dengan Rivera atau Tante Tania.

Waktu terus berjalan, dan Hira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan masalah ini. Dia tetap fokus dengan urusannya sendiri, terutama persiapan CPNS yang semakin dekat. Rayan pun tetap mendukung istrinya dengan penuh, meskipun sesekali ia teringat kembali dengan ucapan Shofia dan Tania tentang Hira yang dianggap tidak peduli. Mereka berdua tahu itu tidak benar, tapi tetap saja, rasanya menyakitkan jika orang lain beranggapan seperti itu.

Di sisi lain, Gretta terus memperhatikan tingkah laku Rivera. Setelah kejadian di rumah Tante Shofia, Rivera dan Tania memang jarang sekali berkunjung ke rumah Nenek Amina. Jika biasanya mereka selalu datang minimal sekali seminggu, sekarang hampir dua minggu berlalu tanpa kabar. Gretta yang biasanya mudah mengekspresikan diri, kini merasa bingung dan tidak nyaman saat berada di sekitar keluarga sepupunya itu.

Suatu hari, saat mereka sedang makan malam di rumah, Hira tiba-tiba berbicara.

“Yah, kamu tahu nggak? Rivera sekarang jarang ke sini. Biasanya kan sering banget mampir, minimal buat ngeliat ibuk,” ucap Hira sambil menyendok sayur.

Rayan mengangguk, terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. "Iya, aku juga perhatiin. Mungkin mereka lagi sibuk, kan Rivera juga lagi sibuk persiapan sidang."

Gretta yang duduk di seberang meja, memasukkan garpu ke piringnya dengan perlahan. "Tapi, kayaknya bukan cuma karena sibuk deh, Yah. Sejak kejadian waktu itu, aku juga merasa mereka kayak menjauh."

Hira melirik putrinya, terlihat sedikit khawatir. "Iya, Ibun juga ngerasain hal yang sama. Tapi, mungkin kita harus kasih mereka waktu dulu."

Rayan menaruh sendoknya dan menatap Hira serta Gretta. "Mungkin ini memang cuma fase aja. Tapi kalau begini terus, nanti aku coba bicara sama Tania. Kita nggak bisa biarin masalah kecil kayak gini bikin hubungan keluarga jadi rusak."

Obrolan di meja makan pun berlanjut dengan topik lain, tetapi suasana hati mereka tetap agak berat. Semuanya berharap agar hubungan keluarga bisa kembali seperti dulu, meskipun sulit untuk memulai percakapan yang jujur dan terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi.

***

Setelah kejadian beberapa waktu yang lalu itu, keluarga mereka berubah total. Hubungan persaudaraan antara Shofia, Tania, dan Rayan masih diliputi rasa dendam satu sama lain. Suatu hari, Shofia dan Tania kembali tenggelam dalam percakapan penuh sindiran dan rasa kesal yang semakin dalam terhadap Hira dan Rayan. Duduk di ruang keluarga di rumah Shofia, mereka berdua mulai membahas banyak hal yang berhubungan dengan adik bungsu mereka, Rayan, dan istrinya, Hira.

Tania, yang dari awal sudah menyimpan rasa tak puas, membuka pembicaraan dengan nada sinis. "Aku tuh ya, Mbak, makin lama makin nggak ngerti sama Rayan. Dulu, waktu dia belum nikah sama Hira, dia itu nurut banget sama kita. Selalu dengerin saran kita. Tapi sekarang, sejak ada Hira, semua berubah."

Shofia, yang mendengar ucapan itu, segera menyahut dengan kesal. "Iya, aku juga ngerasain itu. Dulu Rayan nggak pernah nolak kalau kita kasih saran. Tapi sekarang, semua keputusan dia kayak diatur sama Hira. Nggak ada lagi tuh rasa hormat dia ke kita, mbak-mbaknya. Padahal kita ini yang ngebesarin dia."

Tania menatap kakaknya dengan penuh emosi, lalu melanjutkan. "Ingat nggak waktu mereka hampir kelilit utang ratusan juta? Untung aja waktu itu kamu mau bantuin nyicil hutang-hutangnya. Tapi apa? Hira seolah nggak pernah tahu terima kasih. Malah aku dengar, mereka sampai mau gadaiin rumah peninggalan bapak buat bayar utang. Rumah yang seharusnya jadi warisan keluarga kita!"

Shofia mengangguk setuju. "Iya, aku inget banget itu. Dan Hira sama sekali nggak bilang terima kasih waktu kita bantu. Dia tuh nggak ada sopan-sopannya sama kita. Nggak cuma itu, sekarang ibuk juga sering sakit-sakitan dan jadi pikunan. Aku yakin, itu semua gara-gara ulah mereka juga."

Tania mengerutkan kening. "Maksudnya, gara-gara mereka? Gara-gara Rayan dan Hira?"

Shofia mendesah panjang, penuh kemarahan yang terpendam. "Iya, coba pikir deh. Sejak mereka nikah, hidup ibuk jadi makin nggak tenang. Rayan yang harusnya merawat ibuk, malah sibuk ngurusin Hira sama anak-anak mereka. Ibuk jadi terabaikan. Sekarang, Ibuk sering sakit-sakitan, dan aku yakin itu juga karena pengaruh dari tekanan yang dia rasakan."

Tania mengangguk dengan pandangan penuh tuduhan. "Iya, iya. Mungkin ada benernya juga, Kak. Soalnya, selama ini kan Hira juga nggak pernah ngelihat ibuk seperti kita. Mungkin aja ibuk jadi stres karena ngerasa nggak diperhatiin."

Percakapan mereka semakin panas, penuh dengan prasangka dan tuduhan yang semakin melebar. Segala hal yang berhubungan dengan Hira dan Rayan dibahas, seolah setiap masalah yang ada di dalam keluarga bisa dikaitkan dengan mereka berdua.

Shofia menghela napas berat sebelum melanjutkan lagi, "Aku benar-benar nggak ngerti, kenapa Rayan berubah begitu setelah menikah sama Hira. Padahal dulu dia selalu mendahulukan kita. Sekarang, apa pun yang dia lakukan, kayaknya selalu untuk Hira dan anak-anak mereka."

Tania menyambung, "Iya, dia tuh kayak udah lupa sama keluarganya sendiri. Kita ini mbak-mbaknya, loh. Kita yang selama ini bantu dia, tapi dia lebih memilih ikut kata-kata Hira."

Shofia semakin kesal. "Betul, Tan. Dan yang paling bikin aku marah, mereka selalu tampil seolah mereka keluarga paling harmonis, paling sempurna. Padahal di balik itu, banyak banget masalah yang mereka sembunyikan. Termasuk masalah utang dan rumah peninggalan Ayah."

Lihat selengkapnya