Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #31

A Night of Unspoken Truths

_______

Tania tampak tegang, wajahnya mengeras. “Bukan masalah besar, cuma kesalahpahaman,” jawabnya singkat, berusaha menghindari konflik lebih jauh.

Namun, Shofia tidak puas dengan jawaban itu. Dia menatap Hira dengan pandangan tajam. “Kenapa kalian nggak bilang langsung soal motor ini, Hira? Rivera jadi kesulitan waktu itu. Apa susahnya bicara langsung?”

Hira, yang tadi berusaha tenang dan menghindari pertengkaran, kini merasa sudut pandangnya terdesak. “Aku sudah bilang berkali-kali, Mbak. Aku sudah minta Rivera ambil motornya, tapi dia nggak pernah datang. Waktu itu aku juga udah rencana ngambil motornya karena ada kebutuhan lain.”

Suasana kembali memanas. Rayan mencoba menengahi, tapi kali ini nada Shofia semakin tegas. “Tapi kalian tahu sendiri, anakku nggak punya banyak waktu luang. Rivera sibuk kuliah, bimbingan, skripsi, segala macam. Kalian bisa lebih sabar, kan?”

Calla yang mendengarkan dari pintu masuk, semakin khawatir. Dia tahu betul jika percakapan ini terus berlanjut, emosi akan semakin memuncak. Nevan yang berdiri di sebelahnya berbisik pelan, “Kayaknya makin rumit, ya?”

“Banget,” Calla berbisik balik. “Aku nggak mau ini berlarut-larut, tapi kayaknya kita nggak bisa ikut campur.”

Di ruang tengah, Rayan akhirnya angkat bicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Mbak, aku ngerti kamu mau ngebela Rivera, tapi kita nggak bisa terus-terusan gini. Masalah motor udah selesai, yang kita butuh sekarang adalah komunikasi yang lebih baik ke depannya. Nggak ada yang salah di sini, semua cuma kesalahpahaman. Kita harus berhenti saling menyalahkan.”

Tapi Shofia tampak belum puas. “Kalau memang nggak ada yang salah, kenapa masalah ini sampai gede begini? Aku cuma nggak mau lihat keluarga ini makin renggang gara-gara hal-hal kayak gini. Kita harusnya bisa lebih baik dari ini.”

Suasana semakin tegang, Tania diam seribu bahasa, sementara Rivera hanya menunduk, merasa tidak nyaman. Hira mencoba menahan diri, tapi jelas ada perasaan tersinggung di wajahnya.

Akhirnya, Hira bicara dengan nada yang lebih lembut. “Mbak, aku paham maksudmu. Tapi tolong, jangan berpikir kalau kami sengaja bikin Rivera susah. Kami semua di sini sayang sama dia, sama kamu juga. Cuma, kadang situasi nggak selalu sesuai harapan kita.”

Suasana di ruang tengah semakin memanas. Shofia, yang sudah tersulut amarah, berdiri dengan wajah memerah, menunjuk langsung ke arah Hira. "Kamu nggak tahu diri, Hira! Selalu saja kamu yang bikin masalah! Dari mobil baru sampai motor itu, semuanya kamu yang mulai!" Suaranya menggelegar, memecah keheningan yang sebelumnya hanya diisi dengan ketegangan.

Hira mundur selangkah, matanya sedikit berkaca-kaca. Tapi kali ini, dia tidak bisa diam. "Aku nggak pernah minta lebih, Mbak. Aku cuma mau bantu. Motor itu aku pinjamkan, dan aku tawarkan untuk diambil lagi. Kamu tahu itu!"

Shofia mengibaskan tangannya dengan marah, seperti menepis semua penjelasan Hira. "Oh, tolong, Hira. Jangan bersikap seolah kamu korban di sini. Kamu selalu berpura-pura peduli, tapi sebenarnya kamu cuma mikirin diri sendiri!"

Tiba-tiba, Rayan meledak. "Sudah cukup, Mbak! Jangan bawa-bawa istriku ke dalam masalah ini!" Suaranya menggema, penuh kemarahan yang sudah lama ia tahan. Tangannya mencengkeram lengan kursi, seolah siap bangkit dan menghadapi kakaknya secara fisik.

Shofia tak gentar. Dia melawan dengan tatapan penuh dendam. "Rayan, kamu pikir kamu bisa menutupi semua masalah ini? Aku tahu apa yang terjadi. Ibu makin sakit karena kamu! Kamu yang dulu berurusan dengan debt collector, nyaris bikin keluarga ini bangkrut, dan sekarang kamu biarkan istrimu campur tangan di urusan keluarga!"

Rayan melangkah maju, wajahnya penuh amarah. "Aku nggak akan diam saat kamu fitnah istri dan keluargaku. Kamu pikir kamu bisa bicara seenaknya tanpa tahu apa-apa?"

Di sudut ruangan, Tania menangis pelan, sesekali melirik Rivera yang hanya duduk membatu. Tania mencoba berbicara, suaranya lirih dan gemetar. "Kak, tolong, jangan begini... Rivera nggak bermaksud apa-apa soal motor itu. Dia juga nggak mau ada masalah."

Tapi Shofia tak menggubrisnya. "Tania, kamu selalu melindungi anakmu. Padahal dia nggak lebih baik! Motor itu masalah kecil. Tapi kamu semua nggak pernah berpikir tentang keluarga besar ini. Kalian cuma peduli pada urusan kalian sendiri!"

Hira, yang masih mencoba tenang, akhirnya angkat bicara lagi. "Aku nggak pernah ingin bikin masalah, Mbak. Aku cuma mau bantu Rivera, itu saja. Aku minta dia ambil motor itu berkali-kali, tapi dia nggak datang. Apa salahku?"

Tania hanya bisa menangis lebih keras, sementara Shofia semakin meledak. "Salahmu? Salahmu adalah ikut campur dalam urusan yang bukan urusanmu! Kau pikir dengan bantu-bantu kecil itu, kamu bisa mengendalikan semuanya?"

Di saat itu, Rayan benar-benar tak bisa lagi menahan amarahnya. "Kamu udah kelewatan, Mbak! Ini bukan cuma soal motor atau mobil, ini tentang bagaimana kamu selalu menyalahkan orang lain tanpa pernah introspeksi!"

Shofia mendengus, memandang Rayan dengan penuh kebencian. "Kamu bicara soal introspeksi? Kamu yang dulu bikin Ibu stress dengan masalah finansialmu! Sekarang kamu malah biarin istrimu bikin masalah lagi!"

Ketegangan semakin tak terkendali. Rayan menggeram, matanya tajam menatap Shofia, tapi Hira menariknya mundur, berusaha menenangkan. "Rayan, sudah... jangan tambah panas. Kita harus selesaikan ini baik-baik," katanya, dengan suara yang hampir pecah.

Namun, suasana sudah terlalu panas. Pertarungan verbal ini berubah menjadi ledakan emosi yang mengungkap luka-luka lama, ketidakpuasan yang selama ini tersembunyi, dan dendam yang tak pernah hilang.

Semua diam. Tapi diam yang bukan karena damai—ini adalah diam yang dipenuhi dengan kemarahan yang menunggu untuk meledak lagi.

Di dapur, Gretta dan Nevan bekerja sama untuk menahan Calla agar emosinya tidak muncul sekarang. Mereka bertiga hanya diam tapi bukan berarti mereka diam saja jika ibunya sampai dinistakan seperti itu.

Calla melangkah maju dengan tatapan yang dingin dan teguh. Di belakangnya, Nevan terus memegang pergelangan tangannya, mencoba menahan agar dia tidak terbawa emosi. Tapi, kali ini Calla sudah tidak bisa diam. Di sudut matanya, dia melihat Gretta yang bersembunyi di belakang Nevan, matanya basah oleh tangis yang tertahan, wajahnya menunjukkan ketakutan dan kebingungan. Calla tahu, dia harus melindungi keluarganya sekarang.

Ketika Shofia melontarkan tuduhan terakhir bahwa Hira, ibunya, telah meracuni pikiran ayahnya dan membuat nenek Amina sakit-sakitan, Calla tidak bisa lagi menahan dirinya. Langkahnya mantap menuju ruang tengah, membuat semua yang ada di sana menghentikan pertengkaran mereka sejenak.

“Cukup, Tante,” suara Calla terdengar tegas, namun tetap tenang. Dia berdiri di depan ibunya, sebagai tameng, melindungi Hira dari setiap kata-kata kejam yang dilontarkan Shofia. “Apa pun yang terjadi di keluarga ini, bukan salah Ibun. Jangan tuduh Ibun seenaknya.”

Shofia, yang biasanya selalu bisa mendominasi setiap percakapan, terdiam sebentar, terkejut dengan keberanian Calla yang tak biasa. Mata Shofia menyipit, mencoba membaca niat keponakannya itu. "Kamu belain ibumu, Cal? Kamu masih terlalu muda untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini."

Calla tidak mundur. Dia tetap berdiri tegak, tatapannya penuh keyakinan. "Terlalu muda atau tidak, yang jelas, aku tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ibun nggak pernah minta yang macam-macam dari kalian, Tante. Kalau ada masalah soal motor atau yang lainnya, itu masalah yang bisa dibicarakan dengan baik, bukan dilemparkan dengan cara seperti ini.”

Nevan di belakangnya tetap diam, tapi kehadirannya membuat Calla lebih kuat. Hira menatap anaknya dengan haru, seakan tak percaya melihat Calla yang biasanya pendiam kini berdiri untuk membelanya.

“Dan soal nenek,” Calla melanjutkan, suaranya semakin rendah namun tajam, “Tante tahu kan? Sakitnya nenek itu sebuah hal wajar karena beliau juga terbatas umur. Sadar, Tan, nenek udah nggak semuda itu. Ditinggal pergi sama suaminya juga bisa menjadi salah satu faktornya. Sakitnya nenek nggak bisa sembuh cepat karena memang faktor usia. Ayah dan Ibun sudah mati-matian menjaga nenek, memberikan perawatan yang terbaik untuk nenek.”

Shofia mencoba menyela, tapi Calla melanjutkan, kali ini lebih tegas, “Tante Shofia, keluarga ini bukan tempat untuk saling menyalahkan. Kita udah cukup punya masalah tanpa harus menambah dengan fitnah dan prasangka. Apa nggak cukup sampai di sini?”

Di belakangnya, Gretta menyeka air matanya, mencoba menenangkan diri. Melihat kakaknya berdiri begitu kuat di hadapan Shofia membuatnya merasa sedikit lebih aman. Gretta tahu, Calla akan melindungi mereka, tidak peduli apa yang terjadi.

Lihat selengkapnya