Roda Kehidupan

Firsty Elsa
Chapter #32

Unspoken Grievances

Setelah kejadian malam itu, perubahan sikap Tania dan Rivera mulai terasa. Mereka jarang sekali datang berkunjung ke rumah Rayan dan Hira. Bahkan, Shofia juga mulai menjaga jarak, seolah tidak ingin terlalu sering terlibat lagi dalam urusan keluarga. 

Rayan dan Hira pun menyadari hal ini dan mulai membuat keputusan-keputusan berbeda. Mereka tidak lagi meminta Tania dan Rivera untuk menemani Nenek Amina dalam berbagai kegiatan. Kini, Rayan dan Hira memutuskan untuk selalu mengajak sang ibu ke mana pun mereka pergi. Termasuk ketika ada urusan jauh sekalipun, seperti mengunjungi Calla di luar kota. Meskipun perjalanan jauh dan melelahkan, Nenek Amina tetap ikut serta.

Keputusan ini diambil bukan hanya demi menjaga kebersamaan keluarga, tetapi juga agar Hira dan Rayan bisa lebih memastikan kondisi Nenek Amina terjaga dengan baik. Meski perasaan sedih karena renggangnya hubungan dengan saudara tetap ada, Hira dan Rayan terus berupaya untuk fokus pada keluarga inti mereka dan menjaga keharmonisan di rumah.

Calla pun akhirnya memilih untuk mengambil jarak dari saudara-saudaranya yang bermasalah. Hubungan yang dulu baik-baik saja antara dirinya dan Rivera kini terasa jauh lebih canggung. Calla memutuskan untuk tidak lagi ikut campur dalam permasalahan keluarga Tante Tania dan Rivera. Baginya, masalah ini bermula dari Rivera. Calla tidak bisa memungkiri bahwa perasaan kecewanya semakin dalam.

Dalam pikirannya, andai saja Rivera tidak memperpanjang masalah tentang motor dan tidak membuka soal ponsel barunya, semuanya mungkin akan berjalan normal. Tidak ada yang akan mempersoalkan hal-hal kecil itu, dan tentu tidak akan ada keributan besar yang terjadi. Calla paham bahwa manusia sering kali membutuhkan validasi dalam hidupnya, namun dia tidak menyangka jika validasi itu bisa menyebabkan keretakan keluarga yang sedemikian parah.

Calla merasa lebih tenang dengan keputusannya untuk menjauh dari drama keluarga yang menurutnya tidak perlu diperpanjang. Baginya, menjaga ketenangan diri dan fokus pada masa depan jauh lebih penting daripada terjebak dalam konflik yang tidak ada habisnya.

Setelah Calla kembali ke kampus dan menjalani rutinitasnya, sikapnya berubah drastis. Calla yang biasanya ceria dan terbuka, tiba-tiba menjadi pendiam. Bithara, sahabat terdekatnya, merasa heran melihat perubahan ini. Tidak seperti biasanya, Calla kini lebih banyak diam saat kuliah, praktikum, atau bahkan dalam obrolan ringan di kampus. Tatapannya kosong, dan ketika teman-temannya mengajaknya berbicara, Calla hanya merespons seadanya.

Suatu hari, Bithara memutuskan untuk mengajak Calla keluar. Mereka memulai hari dengan pergi ke pusat perbelanjaan. Di sana, Bithara dengan penuh semangat mengajak Calla memilih pakaian, mencoba berbagai aksesoris, dan bercanda tentang tren mode terbaru. Tapi, meski Bithara berusaha keras menciptakan suasana yang ceria, Calla hanya tersenyum tipis dan lebih sering mengikuti tanpa banyak bicara.

Setelah berbelanja, Bithara membawa Calla ke sebuah kafe yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa. Mereka duduk di sudut ruangan, dengan suasana yang tenang dan kopi hangat di depan mereka. Bithara mulai berbicara, "Lo beneran nggak mau cerita sama gue, Cal? Demi apapun gue siap dengerin mau sampe subuh juga."

Calla memandang sahabatnya, kemudian menarik napas panjang. "Capek banget ya, Bith... Iya sih masalahnya udah selesai, tapi rasanya aneh, Bith. Beneran kaya hidup tuh ternyata penuh rasa iri, dengki, dan dendam."

Bithara mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Iya, lo bener. Bahkan semua orang di sekitar kita nggak ada yang nggak munafik. Temen-temen lo semua juga pasti punya titik iri-nya sendiri. Gue tahu ini berat, lo cukup jalanin dan gue yakin lo bisa lewatin semuanya." Bithara menarik nafasnya sebelum melanjutkan. "Lo nggak sendirian, Cal. Ada gue... bahkan Mas Nevan bakal tetep berpihak sama lo disaat semesta nggak adil sama hidup lo."

Setelah menghabiskan waktu di kafe, mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah taman kota. Di sana, mereka berjalan-jalan di bawah pohon rindang, mengobrol tentang hal-hal ringan. Bithara bahkan mengajak Calla mencoba naik sepeda tandem yang disewakan di taman. Sesekali, Calla tertawa kecil melihat tingkah konyol Bithara yang selalu tahu cara membuatnya tersenyum, meskipun sesaat.

Mereka juga mampir ke bioskop untuk menonton film yang sedang hits. Selama film berlangsung, Bithara dengan sengaja melemparkan komentar lucu, mencoba menghidupkan suasana. Calla akhirnya mulai tertawa lebih lepas, meskipun belum sepenuhnya kembali ke dirinya yang dulu.

Hari itu, setelah hampir 12 jam menghabiskan waktu bersama, Calla mulai merasa sedikit lebih ringan. Meskipun masih ada banyak yang harus dihadapi, kehadiran Bithara setidaknya membuatnya sadar bahwa dia tidak sendiri.

***

Setelah melewati masa-masa tegang dan emosional di rumah, Gretta fokus pada persiapan turnamen voli sekolah yang semakin mendekat. Dia terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam ajang bergengsi tersebut, dan Gretta sangat bertekad untuk memberikan yang terbaik. Rutinitasnya mulai terpusat pada latihan intensif, persiapan mental, dan strategi permainan.

Setiap pagi, Gretta bangun lebih awal untuk berlatih di lapangan sekolah. Dia sering terlihat berlatih keras bersama timnya, berlatih servis, blocking, dan teknik permainan lainnya. Teman-temannya di tim voli pun memberikan dukungan dan semangat, mengingat betapa pentingnya turnamen ini bagi mereka.

Pada saat Gretta pulang ke rumah, suasana di rumah nenek Amina terasa berbeda dari sebelumnya. Meski dia sering mendapati Rivera datang, Gretta berusaha mengabaikannya. Setiap kali Rivera muncul di rumah, Gretta memilih untuk tidak bertegur sapa atau bahkan menghindar jika tidak perlu bertemu langsung. Gretta berusaha keras untuk menjaga fokusnya pada turnamen voli, dan tidak ingin terpengaruh oleh dinamika keluarga yang rumit.

Gretta semakin sering menghabiskan waktu di klub voli. Latihan menjadi pelariannya, dan bersama Kak Aslan dan Kak Faris, Gretta menemukan semangat baru. Dua orang itu, yang sudah seperti kakanya sendiri, dengan gaya mereka yang santai, selalu menyelipkan candaan untuk membuat suasana latihan lebih hidup. Aslan, yang suka melontarkan guyonan receh, kerap kali membuat Gretta tertawa di tengah-tengah latihan intens mereka. Sementara itu, Faris dengan sifatnya yang tenang namun kocak, sering kali melemparkan komentar lucu ketika Gretta atau teman-temannya melakukan kesalahan kecil.

Di sisi lain, Gretta mulai menjaga jarak dengan Rivera, yang jarang ditemuinya lagi di rumah Nenek Amina. Setiap kali mereka kebetulan bertemu di rumah nenek, Gretta lebih memilih untuk tetap sibuk sendiri. Meski dia masih menjaga sopan santun saat berhadapan dengan Tante Tania, sikap Gretta terhadap Rivera sangat berbeda. Dia tidak lagi mengobrol seperti dulu, dan hanya memberikan anggukan kecil atau senyuman sopan jika terpaksa harus berinteraksi.

Di lapangan voli, Gretta menjadi lebih fokus. Kak Aslan dan Kak Faris sering memperhatikan perubahan dalam dirinya, namun mereka paham, dan lebih memilih untuk mengalihkan perhatiannya dengan latihan yang semakin menantang dan suasana yang penuh semangat.

Latihan voli Gretta selalu dipenuhi oleh canda tawa, terutama dengan kehadiran Aslan dan Faris, yang selalu bisa mencairkan suasana. Hari itu, mereka baru saja memulai pemanasan ketika Diego dan Farel datang terlambat seperti biasa.

"Kak Aslan, jangan kasih ampun! Udah telat terus alasan mules," ledek Gretta sambil menirukan gaya Diego yang memegang perut sambil cengengesan.

"Eh, jangan gitu. Ini mules beneran kok, kan Aslan yang bikin makanan pedes kemarin," jawab Diego dengan dramatis, sambil pura-pura kesakitan.

Aslan tertawa, "Makanya, makan mie pedes jangan tanding-tandingan, gue nggak tanggung jawab kalau perut lo mogok!"

Sementara Farel yang juga datang bersama Diego cuma nyengir lebar, "Udah lah, Lan. Yang penting kan kita udah datang. Gretta, tadi liat Alvin nggak? Biasanya kan dia yang dateng terakhir!"

Gretta tertawa, "Kak Alvin kuliah! Nggak tahu ya dia udah bebas dari latihan capek ini?"

Di tengah-tengah pemanasan, Faris tiba-tiba memulai permainan tebak-tebakan sambil dribbling bola voli, “Eh, tebak ya, apa bedanya Diego sama bola voli?”

Diego, yang sedang stretching, langsung menegakkan badan dan pasang muka penasaran. "Apa coba?!"

Faris tersenyum jail, "Kalo bola voli, makin dibanting makin bagus mainnya, kalo Diego dibanting, auto mules lagi!"

Semua langsung ngakak, termasuk Gretta yang udah susah napas karena ketawa. Diego malah pasang ekspresi tersinggung pura-pura, "Wah, enak aja! Lo cobain deh, banting gue, nanti gue buktiin!"

Farel nimpalin, "Iya, banting aja, tapi nanti Diego nggak mules lagi, malah pingsan!"

Canda tawa terus berlanjut sepanjang latihan, diselingi beberapa kali Kak Aslan dan Kak Faris memberi instruksi serius. Di tengah-tengah latihan passing, Gretta nyenggol Aslan, “Kak, bentar lagi turnamen nih. Lo sama Kak Faris yakin bisa bantu gue siap-siap?”

Aslan mengangguk sambil tersenyum lebar, “Tenang aja, kita udah latihan tiap hari, belum ditambahin ledekan dari Farel sama Diego, mental lo udah pasti kuat buat turnamen nanti.”

Gretta cuma geleng-geleng kepala sambil nyengir. Seserius apapun latihannya, mereka selalu bikin suasana jadi penuh tawa. Latihan voli terus berlanjut, dan suasana makin seru. Setelah sesi passing dan setting selesai, Aslan mulai mengajak semua untuk fokus ke permainan simulasi. Tapi sebelum itu, Diego tiba-tiba mendekati Gretta dengan wajah jahil. 

"Ta, lo udah siap kalah belum?" tanya Diego sambil melipat tangan di dada, gaya sok percaya diri.

Gretta hanya mengangkat alis, "Kalah? Yang bener aja, Kak. Lo kan telat mulu, mana bisa ngalahin gue." 

Diego langsung memasang ekspresi pura-pura tersinggung, "Waduh, parah. Yaudah, gue kasih lo bonus lima poin di awal deh. Biar adil!" 

Farel yang sedang berdiri di dekat net ikut menimpali, "Eh, Di, kayaknya yang butuh bonus lima poin itu lo, deh. Gue yakin lo bakal kebobolan duluan."

Semua langsung tertawa, termasuk Faris yang sudah dari tadi memerhatikan dari pinggir lapangan. 

Lihat selengkapnya