____________
Suasana rumah itu seketika memanas. Calla yang masih ditahan oleh Nevan berusaha menguatkan topangan dirinya agar tidak ikut melemah. Dalam hatinya sangat teriris melihat betapa sakitnya menjadi Rivera. Namun, perlakuan Rivera tidak bisa dibenarkan juga. Membuat banyak masalah tanpa berpikir panjang adalah sebuah kesalahan besar. Apalagi, membuat hubungan keluarga besar menjadi renggang.
"Bahkan, saat gue cari perhatian Tante Shofia aja keluarga lo nggak terima, Cal! Gue bikin cerita ke Tante Shofia itu bukan tanpa alasan, asal lo tau, Cal. Gue sengaja melakukan itu buat nyari perhatian dia. Lo tahu? Kalau gue nggak bikin cerita itu, belum tentu Tante Shofia mau bantu nambahin uang buat beli ponsel ini!" Rivera menarik napasnya lumayan panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Gue bukan lo yang bisa dengan gampang buat dapetin apa yang gue mau. Gue beli ponsel ini juga mikir dua kali, Cal. Gue ngumpulin duitnya juga dari lama. Tapi kenapa pas banget gue bisa beli itu, keluarga lo malah ngomong yang enggak-enggak tentang gue dan Ibuk?! Kenapa sih, Cal? KENAPA KELUARGA LO SELALU MENGHAMBAT KEINGINAN KELUARGA GUE??!!" Teriakan Rivera mampu membuat Calla sedikit tersentak, sampai Nevan merasakan keterkejutan Calla, karena tubuh gadis itu mundur sepersekian senti.
Dengan wajah merah dan nafas tersenggal-senggal, Rivera belum menyerah. Rivera masih terus meluapkan perasaannya yang penuh iri. Dia mengungkapkan dengan nada tinggi, “Gue cuma beli ponsel yang harganya nggak sampai 10 juta, dan lihat, satu keluarga langsung geger seolah-olah gue beli sesuatu yang salah besar! Kenapa nggak ada satu pun yang ngerti posisi gue sih?” Sorot matanya tajam menatap Calla, seakan menuntut jawaban.
"Kak, keluarga gue nggak pernah menghambat keinginan lo. Coba lo liat lagi, inget-inget lagi, Kak." Calla siap membalas perkataan sang kakak sepupunya itu. "Kalau lo lupa, ayah dan ibun selalu bantu finansial Tante Shofia. Lo pikir, uang KKN dan magang kemarin dari siapa, Kak? Tante Shofia? Itu uang ayah gue, Kak!"
Calla menyadari sedikit rasa terkejut dari Rivera, gadis itu terus melanjutkan. "Lo sendiri juga tahu, Kak, setiap bulan Ibun ngirim uang perawatan dan servis motor yang lo pakai. Kalau lo sama Tante Tania jagain nenek pas ditinggal ayah ibun pergi, kalian juga dikasi uang saku kan sama ayah? Lo pikir itu gue nggak tahu? Bahkan setiap sebelum lebaran, ibun nggak pernah tanggung-tanggung buat beliin lo baju, bantu beliin keperluan lebaran, sampai biaya kuliah lo aja ada kontribusi ayah gue, dan lo pikir semua itu apa, Kak?!" Calla juga bisa emosi.
"Sebanyak itu bantuan yang ayah sama ibun kasih, lo masih bisa bilang mereka nggak mau bantu?! Lo bisa mikir nggak sih, Kak?!"
Sentakan terkahir Calla mampu membuat Rivera tersudutkan. Dia mencoba menguasai dirinya.
"Kak..." Calla mulai melunak, merendahkan nada bicaranya dengan maksud agar Rivera bisa lebih tenang dan berpikir lagi. "Lo tahu apa yang bikin hati lo selama ini nggak pernah puas? Padahal gue tahu, banyak pencapaian yang bisa lo banggakan ketimbang sekedar punya ponsel keluaran terbaru. Lo selalu merasa iri, selalu merasa tidak adil, tapi lo nggak pernah benar-benar mengerti apa yang orang lain alami."
Rivera tertawa kecil, getir, lalu berkata, “Apa yang kalian alami? Kalian punya ayah yang selalu ada, ibu yang nggak pernah bikin masalah, kalian selalu bahagia, sedangkan gue? Gue harus berjuang sendiri! Bahkan untuk sekadar merasa bahagia, gue harus berusaha lebih keras! Sampai gue berani ngarang cerita bohong itu, gue masih belum bisa dapetin apa yang gue mau, Cal!”
Calla menatap Rivera dengan sorot mata yang penuh simpati namun tegas. “Kak, kebahagiaan kita bukan berarti kita nggak punya masalah. Tapi kita belajar untuk tidak menyalahkan orang lain atas apa yang kita alami.” Calla berhenti sejenak, menghela napas dalam. “Lo harus paham, iri hati nggak akan mengubah keadaan.”
Pertikaian itu terasa semakin memanas, namun kali ini, Calla memilih untuk mengakhiri adu mulut. Nevan sejak tadi diam saja. Dengan tenang, dia menepuk bahunya Calla, seolah memberi sinyal bahwa sudah waktunya untuk mengakhiri ini.
Tapi Rivera belum mau berhenti. “Selalu gue yang salah, ya? Kalian semua hidup nyaman, tapi nggak pernah lihat apa yang gue rasain!”
Calla mengambil napas panjang, berusaha tetap tenang di tengah amarah Rivera yang semakin meledak. “Gue nggak pernah bilang lo salah, Kak. Tapi jangan terus-menerus menyalahkan orang lain atas keadaan lo.”
Rivera semakin ngotot, nada suaranya semakin keras. "Gue nggak pernah nyalahin orang lain! Gue cuma benci Tante Hira, Cal. Dia selalu merasa keberatan kalau gue dapat apa yang gue mau. Contohnya ponsel itu! Kenapa gue nggak boleh punya sesuatu yang bagus?"
Calla menghela napas, matanya menatap Rivera meski sudah sangat lelah menghadapinya. "Kak, bukan maksud ibun keberatan. Ini bukan soal lo boleh atau nggak punya ponsel bagus. Masalahnya adalah waktunya yang nggak tepat. Kondisi keluarga lo lagi nggak stabil, harusnya lo bisa lebih selektif!"
Rivera memutar matanya, mencoba mengabaikan argumen Calla, namun dia tetap mendengarkan. "Selektif? Lo bicara seolah gue nggak paham keadaan! Gue tahu keluarga lagi kesulitan, tapi gue juga berhak dapat sesuatu yang aku mau. Ini cuma ponsel, Calla, kenapa harus ribet?"
Calla menggeleng, merasa bahwa Rivera benar-benar tidak memahami situasinya. "Kak, lo bilang paham tapi aslinya juga belum. Lo harusnya ngerti, ponsel itu bukan prioritas saat ini. Lo tahu kondisi keluarga lagi sulit, tapi lo malah lebih memilih ngikutin gengsi daripada bantu keluarga bertahan di masa sulit."
Rivera tertawa kecil, sarkastik, "Gengsi? Jadi lo pikir gue cuma gengsi? Lo nggak paham rasanya jadi gue, Cal. Lo nggak pernah kekurangan, selalu punya apa yang lo mau."
Calla menegaskan kembali dengan nada lebih lembut, tetapi tetap kuat. "Gue ngerti kok, Kak, kalau lo merasa kesulitan, dan gue nggak bermaksud merendahkan perasaan lo Tapi, waktu-waktu seperti ini, seharusnya prioritas lo adalah membantu keluarga, bukan menambah beban. Membeli ponsel baru di saat situasi sulit bukan solusi, itu cuma membuat keadaan lebih buruk."
Rivera masih tidak menyerah, tatapannya penuh amarah dan kecewa. “Lo gampang ngomong kayak gitu, Cal. Lo selalu dapat dukungan dari orang tua, terutama dari Ayah lo. Kalian nggak pernah tahu bagaimana rasanya jadi gue. Gue iri, Calla! Iri banget! Lo punya Ayah yang selalu ada buat lo dan Gretta. Sedangkan gue... gue nggak punya ayah lagi. Gue cuma bisa berjuang sendiri, bantu Ibuk, dan nggak ada siapa-siapa yang dukung.”
Mendengar itu, Calla terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. Dia tahu ini bukan hanya tentang ponsel, melainkan perasaan dalam yang sudah lama dipendam Rivera.
“Kak, gue nggak akan bilang gue ngerti 100% apa yang lo rasain. Tapi gue tahu ini lebih dari sekedar ponsel. Lo iri sama kehidupan gue dan Gretta, dan gue paham itu nggak mudah buat lo. Tapi lo nggak bisa terus-terusan nyalahin situasi. Nggak bisa terus-terusan cari pembenaran dengan mengorbankan prioritas keluarga lo.”
Rivera mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan emosi. “Jadi lo bilang semua ini salah aku?”
Calla menggeleng. “Gue nggak bilang lo salah, gue bilang lo harus bisa lihat lebih luas. Ini bukan cuma soal ponsel atau iri sama gue. Ini soal lo bisa memahami situasi keluarga lo. Kita semua punya masalah, Kak, tapi lo harus belajar untuk menempatkan prioritasmu dengan benar. Nggak selamanya dunia berputar mengitari lo, Kak. Nggak semua keinginan lo harus terwujud.”
Tiba-tiba, suara berat Nevan terdengar dari belakang Calla. “Calla benar, Riv. Kita semua punya keinginan, tapi ada saatnya kita harus mengorbankan keinginan itu demi hal yang lebih penting.”
Rivera menatap Nevan dengan pandangan sinis. “Lo nggak usah ikut campur ya! Lo tuh cuma orang luar!”
Nevan tetap tenang, matanya penuh empati. “Mungkin gue orang luar, tapi gue peduli sama Calla dan keluarganya. Gue juga peduli sama lo, Riv. Gue nggak bilang lo salah, tapi lo harus bisa melihat dari sudut pandang lain.”
Situasi makin tegang. Calla menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. “Kak, gue nggak mau kita terus-terusan kayak gini. Kalau lo memang mau bantuan, kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng. Tapi lo nggak bisa terus-terusan menuduh dan menganggap semua orang di sekitar lo salah.”
Rivera akhirnya tertunduk, emosinya perlahan mereda meski rasa kecewa masih tersisa di wajahnya. Dia tahu Calla dan Nevan benar, tapi sulit baginya menerima kenyataan itu.
“Coba pikirin lagi, Kak,” Calla menutup percakapan dengan lembut. "Kita keluarga, dan gue nggak mau kehilangan lo sebagai sepupu hanya karena masalah yang seharusnya bisa kita selesaikan dengan kepala dingin." Setelah mengatakan itu, Calla menarik lengan Nevan untuk keluar rumah. Sebelumnya memang dia sudah berpamitan dengan Mbak Sari—IRT di rumah nenek Amina—kalau dia dan Nevan akan keluar. Nevan yang ditarik hanya menurut saja karena mood Calla sudah memburuk. Rivera hanya diam dan tak mau menatap Calla maupun Nevan. Membiarkan dua orang itu pergi.
***
Setelah keluar dari rumah nenek Amina, Nevan dan Calla akhirnya melanjutkan perjalanan mereka ke mal untuk mencari kado pernikahan temannya. Di dalam mobil, suasana masih sedikit tegang. Calla terus mengomel, mencurahkan rasa frustrasinya setelah adu mulut dengan Rivera. Matanya memandang jalan di depan, tetapi pikirannya tampak terus berputar memikirkan kejadian barusan.
Nevan, yang duduk di kursi pengemudi, melirik ke arah Calla sesekali, mendengarkan setiap keluhannya dengan sabar. Dia tahu Calla butuh tempat untuk meluapkan emosi, jadi dia tidak langsung menenangkan, melainkan memberi ruang untuk Calla bicara.
“Aku benar-benar nggak paham deh, Mas! Kak Riv selalu merasa dia korban, selalu melihat semua masalah dari sudut pandangnya sendiri. Dan yang paling menyebalkan, dia bawa-bawa ibu!” Calla mengusap wajahnya dengan frustrasi.