Hari demi hari berlu begitu cepat. Pada akhirnya, semua kembali seperti semula. Seolah masalah besar yang menimpa kemarin hanyalah badai besar yang lewat. Sekuat apapun badai yang berhasil dilewati, pasti ada luka yang ditinggalkan. Meski hubungan persaudaraan antara anak-anak nenek Amina membaik, tentu tidak seperti sebelumnya. Namun, mereka kembali fokus dengan hidupnya masing-masing. Shofia, sebagai anak pertama dan kakak tertua, kali ini dia belajar intropeksi diri dengan lebih memperhatikan kesehatan sang ibu. Shofia sadar, bahwa selama ini hanya Rayan dan Hira yang rela merawat ibunya dengan sekuat tenaganya. Jika dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya jauh lebih lama bersama dan lebih tahu tentang keadaan ibunya. Shofia dan Razky, sekarang sedang menunggu kelahiran cucu keduanya dari hasil pernikahan Gavin dan Sabrina. Meski bukan yang pertama, namun keduanya sangat antusias karena mereka sudah lama tidak menimang bayi.
Begitu juga Tania dan Rivera. Mereka kembali sibuk dengan kesehariannya. Tania yang bekerja sebagai karyawan toko memang sedikit berbeda dengan adik dan kakaknya yang sudah menjadi PNS. Alasannya, karena memang dari semua anak-anak Nenek Amina, hanya Tania yang setelah lulus sekolah tidak mau melanjutkan pendidikan dan memilih untuk menikah. Meski begitu, Tania tidak pernah menyesal sama sekali. Laki-laki yang menikahi Tania adalah laki-laki bertanggung jawab dalam keluarganya. Namun, takdir baik tak berpihak padanya waktu itu. Tepat di usia Rivera menginjak remaja (14 tahun), dia ditinggalkan oleh ayahnya untuk selama-lamanya. Semua berubah, semenjak kehilangan sosok laki-laki dalam hidup kedua perempuan itu, tak ada lagi yang dapat dipertahankan. Sempat mereka jatuh, sejatuh-jatuhnya. Hampir kehilangan asa untuk bertahan hidup. Beruntung, Shofia dan Rayan selalu membantu mereka. Rivera tumbuh dewasa tanpa sosok laki-laki yang katanya dianggap cinta pertama anak perempuan itu. Saat semua teman-temannya berbondong-bondang membanggakan ayahnya, Rivera hanya bisa membanggakan ibunya yang selalu bertarung nyawa untuknya. Benar, semua perjuangan Tania untuk Rivera tidak pernah main-main. Keduanya berjuang bersama untuk bertahan hidup. Saat ini, Rivera sibuk dengan kuliahnya. Dia fokus mengerjakan skripsinya sedangkan Tania juga sibuk mengurus pekerjaannya. Meski begitu, mereka juga masih menyempatkan mengunjungi nenek Amina saat longgar.
Hidup Rayan dan Hira mulai kembali tenang dan harmonis seperti biasa. Hira juga akhirnya berhasil menjadi PNS tanpa harus pindah tempat kerja. Gretta juga berhasil mendapatkan juara 3 dalam turnamen voli antar SMA yang diadakan oleh pemerintah kota. Tentu hal ini sangat membanggakan karena Gretta termasuk pemain unggulan di tim-nya. Selain itu, teman-temannya alias kakak-kakaknya di klub sanggat bangga pada gadis kecil itu. Mereka yang selama ini membantu dan memberikan dukungan penuh pada Gretta turut senang dengan pencapaiannya. Begitu juga dengan Calla, dia kembali dengan kehidupannya sebagai mahasiswa yang sangat sibuk.
Namun, kali ini Calla sangat tidak ingin melewati hari ini dengan cepat. Hari dimana dia harus berpisah dengan Nevan. Iya, jatah cuti Nevan telah habis yang artinya dia harus kembali bekerja di Batam sehingga mereka akan kembali LDR. Calla benci perpisahan, meski sementara rasanya Calla ingin skip saja. Hari itu tiba, hari terakhir Nevan dan Calla bersama sebelum Nevan kembali ke Batam untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah beberapa minggu bersama-sama, saat yang paling Calla takutkan akhirnya datang. Pagi hari terasa sunyi. Calla duduk di teras rumah Nevan sambil menatap kosong ke luar jendela, berusaha menahan perasaan yang mulai memenuhi dadanya. Nevan, dengan ekspresi yang tak kalah berat, sibuk memeriksa barang-barangnya di koper sambil berusaha untuk tidak menunjukkan terlalu banyak emosi di hadapan Calla.
“Sudah siap, Sayang?” suara Nevan pelan namun hangat, mencoba untuk mencairkan suasana.
Calla tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan tanpa menatapnya. Dia tahu, kalau dia bicara sekarang, mungkin suaranya akan bergetar dan air mata yang sudah sejak tadi tertahan akan jatuh. Hati Calla terasa begitu berat, seolah ada yang menghimpit setiap kali dia mengingat bahwa ini adalah hari terakhir mereka bersama.
Di perjalanan menuju bandara, suasana di dalam mobil terasa begitu berbeda. Di belakang, ada Bithara yang sedang mengunyah sarapannya. Bithara ikut, karena memang itu memakai mobil Bithara yang dibawa dari kos. Biasanya, Nevan selalu bisa membuat Calla tertawa, mencairkan setiap kebekuan dengan candaan-candaan konyolnya. Namun kali ini, keduanya lebih banyak diam. Sesekali Nevan melirik Calla yang termenung di sampingnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membuat gadis itu lebih tenang, namun dia sendiri merasakan hal yang sama. Diam-diam, Nevan juga tak ingin pergi. Cuti yang dia perpanjang hanya untuk menemani Calla sudah habis, dan dia harus kembali menjalankan tanggung jawabnya.
Tiba di bandara, mereka berjalan berdampingan menuju terminal keberangkatan. Koper Nevan tergulung pelan di belakangnya, namun hati Calla terasa jauh lebih berat daripada itu. Mereka duduk di kursi tunggu, menanti saat panggilan boarding diumumkan. Calla masih diam, sementara Nevan mencoba mengisi waktu dengan mengobrol, walau sadar bahwa pikiran Calla sedang tidak ada di sana.
“Calla, hey…” Nevan memanggilnya lembut, meraih tangannya. Calla menoleh dengan tatapan yang terlihat begitu sedih.
“Aku gak mau kamu pergi,” kata Calla akhirnya, suaranya pecah. Tangan Calla gemetar saat dia mengeratkan genggaman pada tangan Nevan. Air mata mulai membasahi pipinya.
Nevan tersenyum pahit dan menarik Calla ke dalam pelukannya. “Aku tahu, Sayang. Aku juga gak mau pergi, tapi kamu tahu, aku harus kembali kerja. Ini juga untuk masa depan kita…”
Calla menggelengkan kepalanya dalam pelukan Nevan, air matanya semakin deras. “Aku tahu, tapi aku gak siap. Aku gak tahu kapan kita bisa ketemu lagi, aku gak tahu berapa lama lagi aku harus menunggu…”
Nevan menunduk, mencium puncak kepala Calla dengan lembut. “Kita akan baik-baik saja, Calla. Kita selalu berhasil melewati ini, kan?”
Tapi Calla merasa berbeda kali ini. Rasa takut dan rindu sudah memenuhi hatinya bahkan sebelum Nevan pergi. “Tapi aku gak mau…,” Calla semakin erat memeluk Nevan, seolah tak ingin melepaskannya. Tubuhnya gemetar dalam pelukan kekasihnya itu.
Saat pengumuman boarding akhirnya terdengar, seolah waktu seakan berhenti sesaat. Calla menatap Nevan dengan mata yang penuh air mata. Nevan, meski hatinya juga terasa sangat berat, tetap berusaha tersenyum untuk Calla.
“Aku harus pergi sekarang,” kata Nevan pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia menatap Calla yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus berpisah.
Namun Calla tidak melepaskan pelukannya. Tubuhnya menempel erat pada Nevan, seolah jika dia cukup kuat memeluknya, Nevan tidak akan pergi. Tangannya menggenggam erat punggung Nevan, memohon agar waktu bisa berhenti hanya untuk mereka berdua.
“Calla…,” Nevan berbisik lembut di telinga gadis itu. “Aku janji kita akan bertemu lagi secepatnya.”
Calla hanya bisa menangis dalam diam, tubuhnya masih bergetar. Nevan mencoba sedikit melonggarkan pelukan itu, namun Calla tetap tidak mau melepaskan. Suara pengumuman boarding semakin nyaring di seluruh bandara, namun mereka berdua seolah tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
“Aku gak bisa,” Calla berkata pelan, suaranya pecah penuh air mata. “Aku gak siap kehilangan kamu lagi…”
Nevan menelan emosinya yang hampir meledak. Dengan hati-hati, dia menyeka air mata Calla dan menatap gadis itu dengan penuh kasih. “Kamu gak kehilangan aku, Calla. Aku akan selalu ada buat kamu, walaupun kita terpisah sementara.”
Akhirnya, dengan berat hati, Calla melepaskan pelukannya. Dia menatap Nevan dengan tatapan penuh rindu yang sudah menguap bahkan sebelum Nevan pergi. Nevan mengusap pipi Calla yang masih basah, menatap gadis itu dengan penuh cinta.