Liburan kali ini, Calla pulang sedikit telat dari biasanya karena setelah ujian akhir semester kemarin dia sibuk mengurus berkas untuk pengajuan skripsi. Dan, karena dia pulang terlambat, tiket kereta pun juga sudah sold out. Akhirnya, Calla pulang bersama Alvin dengan motor. Calla sama sekali tidak masalah dengan hal itu, bisa pulang saja sudah syukur. Setelah menyelesaikan urusannya di kampus, Calla akhirnya merasa lega karena semua tugas dan kuliahnya selesai. Langit sudah lumayan mendung ketika Calla melangkah keluar dari gedung kampus. Cuaca sore itu cukup hangat, dengan langit yang teduh dan matahari sore yang tenang.
Calla memeriksa jam tangannya. “Kak Alvin udah dateng belum ya,” gumamnya sambil menghela napas. Dia menyesuaikan kerudungnya dan mengangkat tas yang agak berat ke bahunya. Beberapa teman kampusnya menyapanya saat dia melewati mereka, dan Calla membalas dengan senyuman lelah.
Setibanya di tempat parkir, Calla langsung mencari-cari sosok Alvin di antara mobil dan motor yang terparkir. Akhirnya, dia melihat Alvin mendekati tempatnya, sambil tersenyum lebar dengan motor yang tampak siap mengantarnya pulang. Calla menghampirinya dengan langkah cepat, namun ekspresi wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia merasa sedikit kesal.
“Kak, akhirnya! Lo datang juga,” kata Calla dengan nada cemberut, meskipun senyumnya tidak bisa tersembunyi sepenuhnya. “Tadi gue sudah hampir ketiduran di kampus saking nungguin lo. Kenapa sih? Kenapa lama banget?”
Alvin menyalami Calla dengan senyum nakal, mengabaikan keluhan gadis itu. “Maaf, Cal. Tadi macet banget di jalan. Lagian, lo juga yang telat keluar dari kampus.”
Calla mengerutkan dahi sambil menaiki motor. “Hah, padahal gue sudah nunggu di luar dari tadi. Lo aja yang telat. Tapi, ya udahlah, untung akhirnya datang juga.”
Sambil membonceng, Calla tidak bisa menahan diri untuk melanjutkan omelannya. “Gue masih ngantuk banget aslinya, Kak. Tapi nggak papa, semoga nggak sampai tidur di jalan aja.”
"Jangan tidur, Cal! Kalau lo jatuh, gue kena omel sana Nevan." kata Alvin mengingatkan
Calla tertawa mendengar perkataan Alvin. “Ya, nggak sampai jatuh lah. Tapi, gue nggak percaya Nevan ngomelin lo, orang kalian udah bestie gitu.”
“Nanti shalat maghrib-nya di jalan aja ya? Masih setengah lima, mayan lah dipakai jalan,” kata Alvin sambil menatap jalanan yang mulai gelap.
Sepanjang perjalanan, Alvin terus menggoda Calla dengan berbagai komentar lucu dan komentar ringan. Calla, meskipun masih merasa sedikit kesal, tidak bisa menahan tawa mendengar lelucon-lelucon Alvin. Mereka bercanda dan bertukar cerita, saling menggoda seperti kakak adik yang sering bertengkar namun selalu saling menyayangi.
"Eh Call, kira-kira liburan ini lo bakal lebih sibuk nggak?" tanya Alvin tiba-tiba.
"Iya, gue bakal balik di pertengahan Agustus, Kak. Ngurus SK skripsi sama magang. Lo sendiri bukannya iya ya?" tanya Calla, mengingat Alvin pernah cuti satu tahun sehingga membuatnya menjadi satu angkatan dengan Calla.
"Iya sama, niatnya gue mau magang di kota sendiri. Biar gampang balik ke rumah, kalau lo gimana?"
"Sama, gue juga. Sabi nggak sih cari di satu tempat kerja?"
"Sabi lah, ntar nyari bareng aja, Cal!"
Dua manusia itu memang sudah layaknya adik kakak meski tak memiliki ikatan darah. Alvin dan Calla mengenal sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dulu, mereka sering bermain bersama karena memiliki kesukaan yang sama. Namun, Calla masih malu-malu karena Alvin adalah kakak kelasnya. Mereka juga sempat lost contact selama 5 tahun karena perbedaan sekolah. Ketika masuk kuliah, ternyata Alvin satu kampus dengannya, ditambah juga Alvin bergabung di klub voli ayahnya, sehingga membuat mereka mau tak mau juga semakin dekat.
Berbeda dengan Aslan dan Faris. Aslan adalah adik kelas Calla yang artinya adalah adik kelas Alvin juga di sekolah dasar. Kebetulan, Aslan adalah adik sepupu dari teman dekat Calla saat kecil. Aslan dan Calla sejak kecil sering bermain bersama dan menghabiskan waktu bersama. Sedangkan Faris, baru mengenalnya saat tergabung di klub voli. Faris datang dari keluarga broken home karena sejak kecil orang tuanya sudah cerai, namun laki-laki itu memilih tinggal dengan kakek neneknya. Karena kebaikan Rayan dan Hira, tiga laki-laki itu menjadi sangat dekat dengan keluarga mereka. Bahkan, Rayan dan Hira sudah menganggap ketiganya sebagai anak-anaknya juga. Rayan dan Hira sering kali membantu mereka dari segi apapun. Itulah yang membuat mereka bertiga mendedikasikan hidupnya untuk keluarga Rayan.
Di tengah perjalanan pulang, matahari sudah benar-benar tenggelam, dan malam mulai menyelimuti. Alvin dan Calla memutuskan untuk berhenti di sebuah masjid yang terlihat cukup ramai. Masjid itu dihiasi dengan lampu-lampu yang berpendar hangat, menambah kesan damai di sekitarnya. Ketika mereka berhenti, terdengar suara adzan maghrib berkumandang, menandakan waktu shalat sudah tiba.
Calla dan Alvin turun dari motor, lalu saling mengangguk, sepakat untuk melaksanakan shalat maghrib di masjid tersebut. Mereka berjalan menuju tempat wudhu, berpisah untuk mengambil wudhu di area yang berbeda. Calla merapikan kerudungnya dan memastikan mukenanya rapi, sementara Alvin juga bersiap dengan langkah yang tenang.
Setelah mengambil wudhu, mereka bergabung dengan jamaah lainnya yang sudah bersiap di dalam masjid. Calla merasa nyaman berada di tempat yang penuh ketenangan ini. Suasana masjid begitu hangat, dihiasi suara murattal dari imam yang memimpin shalat dengan khusyuk. Calla dan Alvin, meskipun datang dari luar daerah, merasa diterima di antara jamaah lain yang menyambut mereka dengan senyuman ramah.
Setelah shalat maghrib berjamaah selesai, Calla dan Alvin keluar dari masjid dengan hati yang lebih tenang. Ketika mereka hendak kembali ke motor untuk melanjutkan perjalanan, seorang pengurus masjid menghampiri mereka dengan senyuman hangat.
“Assalamu'alaikum, Nak. Kalau kalian tidak buru-buru, silakan ikut menikmati sedikit makanan bersama kami. Setiap malam Jumat, kami memang mengadakan pembagian makanan gratis untuk para jamaah shalat maghrib,” ujar bapak itu sambil menunjuk ke arah meja yang sudah penuh dengan makanan.
Calla dan Alvin saling berpandangan sejenak. Meski awalnya ragu, mereka tidak ingin menolak kebaikan yang diberikan. Dengan senyuman, Calla mengangguk kepada bapak pengurus masjid itu. “Terima kasih, Pak. Kami sangat menghargai undangannya. Kami akan ikut makan bersama, kalau begitu.”
Mereka menuju ke arah meja makanan yang sudah disiapkan. Banyak jamaah lainnya juga ikut serta, menciptakan suasana yang akrab dan hangat. Calla dan Alvin mengambil piring mereka dan memilih beberapa makanan yang tersedia. Ada nasi kotak, kue-kue tradisional, dan teh hangat. Sungguh sederhana namun begitu menggugah selera.
Mereka duduk di sudut ruangan yang terpisah, menikmati makanan dengan perlahan sambil berbincang ringan. Calla merasa nyaman, perasaannya yang sempat kesal kini berangsur hilang. Suasana di masjid itu penuh kehangatan dan kebersamaan, membuatnya merasa lebih tenang dan damai.
“Maaf, Mbak, kalian ini darimana ya kalau boleh tahu?" tanya seorang ibu berkerudung merah tua yang duduk di sebelah Calla. Jika dilihat lagi, sang ibu sepertinya seumuran dengan neneknya di rumah.
Calla tersenyum sebelum membalas, "kami dari kota sebelah, Bu. Sedang melakukan perjalanan pulang kampung."
"Oh begitu ya. Kalian pacaran ya?" Kali ini bukan ibu berkerudung merah yang menjawab, melainkan gadis yang terlihat seumuran dengan Calla, memakai kerudung hitam. Gadis itu juga memang dari awal sudah memperhatikan Calla dan Alvin, sepertinya penasaran.
"Oh enggak, Kak. Kami adik kakak," balas Calla diiringi senyum manisnya. "Saya anak kedua dan itu kakak saya anak pertama." Calla menunjuk Alvin yang sedang mengobrol dengan para bapak jamaah. Mendengar jawaban Calla, gadis itu hanya tersenyum samar sebagai jawabannya.
Setelah selesai makan, Calla dan Alvin berterima kasih kepada pengurus masjid dan jamaah lainnya. Mereka merasa beruntung bisa singgah di tempat yang penuh kebaikan dan kehangatan seperti ini. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih ringan, perut yang kenyang, dan pikiran yang lebih tenang.
Kembali ke motor, Calla melirik Alvin dengan muka kesal. “Masa tadi ada yang ngira kita pacaran sih, Kak? Mana nanya-nanya lagi, yaudah gue jawab aja kita adik kakak.” Calla sedikit berbisik agar tidak terdengar orang lain.
Alvin tertawa kecil. “Masa sih? Padahal bapak-bapak yang sama gue nggak pada kepo. Malah nyuruh gue hati-hati bawa motornya karena bawa lo."
"Ya beda tahu, yang tanya bukan ibu-ibu, tapi seumuran kita kayanya."
Alvin yang sudah siap di atas motor tak begitu menanggapi karena tak mau Calla semakin melebar kemana-mana. "Udahlah biarin, ayok naik, keburu makin malam nanti gue kena marah sama Nevan." Ya, Alvin memakai nama Nevan sebagai alasan karena jika beralasan atas nama Rayan dan Hira pun percuma, mereka lebih percaya pada Alvin daripada Calla sendiri. Mereka melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang lebih baik, dan Calla tidak lagi mengomel tentang keterlambatan Alvin. Sore yang berubah menjadi malam itu, membawa mereka pada pengalaman yang tak terduga namun penuh makna.
***
Di klinik itu, suasana terasa tegang namun penuh harap. Shofia dan Razky terus berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tunggu, tampak jelas kecemasan dan kebahagiaan bercampur di wajah mereka. Ibu Sabrina duduk sambil berdoa, tangannya menggenggam erat tangan suaminya, berharap semuanya berjalan lancar.
Bidan Arsy, yang sudah sangat berpengalaman, menenangkan Sabrina dengan lembut. Mora, yang kebetulan mengetahui situasi ini melalui suaminya Galen, juga datang untuk memberikan dukungan. Proses persalinan berlangsung dengan baik, dan setelah beberapa waktu yang terasa seperti berjam-jam bagi keluarga yang menunggu, terdengar tangisan bayi yang pertama kali.
Wajah-wajah cemas itu pun berubah seketika. Shofia hampir menangis bahagia dan langsung memeluk Razky. Ibu dan ayah Sabrina tidak kuasa menahan air mata haru mereka. Mora juga tersenyum lega, bersyukur atas keselamatan Sabrina dan bayinya. Apalagi Gavin, dia yang berada di samping istrinya merasa sangat bahagia melihat perjuangan sang istri yang berkorban untuk anaknya.
Setelah beberapa saat, Bidan Arsy keluar dari ruang persalinan dengan senyum yang menenangkan. "Alhamdulillah, ibu dan bayi dalam keadaan sehat," katanya sambil mengangguk pada keluarga yang menunggu. Suasana tegang berubah menjadi lega dan bahagia. Shofia menutup mulutnya, menahan tangis haru. Razky menghela napas panjang, merasa seluruh beban di dadanya terangkat.
"Apakah kami sudah bisa melihat cucu kami?" tanya Shofia dengan nada bergetar, masih diliputi perasaan tidak percaya bahwa ia kini resmi menjadi seorang nenek.
"Sebentar lagi, Bu. Kami masih perlu membersihkan bayi dan menyiapkan Ibu Sabrina. Tapi semuanya baik-baik saja," jawab Bidan Arsy dengan lembut.
Bu Mirna, ibu dari Sabrina segera memeluk suaminya. "Kita punya cucu, Pak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Pak Karto hanya mengangguk, wajahnya penuh dengan rasa syukur.
Setelah beberapa menit yang terasa lama, akhirnya pintu ruang persalinan dibuka, dan perawat membawa bayi kecil yang dibungkus selimut hangat. Mereka mendekati Shofia dan Razky. Shofia menahan napas saat bayi mungil itu didekatkan padanya.
"Inilah cucu perempuan kalian," ujar perawat sambil tersenyum.
Shofia menatap wajah kecil itu dengan mata penuh cinta. "Dia sangat cantik," bisiknya, sementara Razky mengangguk setuju di sampingnya. Sabrina pun akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan, dan keluarga diperbolehkan masuk untuk melihatnya.
"Terima kasih, Sayang, sudah memberikan kami cucu yang sehat dan cantik," ujar Shofia sambil memegang tangan Sabrina yang terlihat lelah namun bahagia.
Sabrina tersenyum lemah, "Alhamdulillah, semuanya lancar. Terima kasih juga sudah menunggu dan mendukungku."
Kehadiran bayi kecil ini membawa kehangatan dan kebahagiaan baru dalam keluarga. Semua kesulitan dan kecemasan sebelumnya terasa sirna saat mereka menyambut anggota keluarga baru yang begitu dinanti-nantikan.
Hari berganti, keluarga besar berkumpul di klinik untuk melihat bayi yang baru lahir. Razky dan Shofia masih merasakan euforia menjadi kakek dan nenek. Mereka membawa bunga dan beberapa bingkisan kecil untuk Sabrina dan bayinya. Galen dan Mora juga datang, membawa putri mereka, Nazeea, untuk melihat adik sepupunya.
Ketika memasuki ruang perawatan, suasana hangat langsung terasa. Sabrina tampak duduk bersandar di tempat tidur, masih terlihat lelah namun dengan senyum bahagia. Di sampingnya, Gavin, suaminya, menggendong bayi mungil mereka dengan penuh kasih sayang. Keduanya tampak begitu bahagia, meski malam sebelumnya begitu melelahkan bagi mereka.
Nazeea yang penasaran, menarik tangan Mora. "Mah, aku boleh lihat adiknya nggak?"
Mora tersenyum, "Boleh, sayang. Tapi pelan-pelan ya, adiknya masih kecil."
Nazeea mendekat dengan hati-hati, matanya berbinar melihat sepupunya yang masih merah. "Dia kecil banget, Mah," ujarnya takjub.
"Iya, seperti kamu dulu waktu lahir," Mora menjawab sambil membelai kepala putrinya dengan lembut.
Sementara itu, Shofia mendekat ke Sabrina dan mengusap rambut menantunya dengan sayang. "Terima kasih ya, Nak. Sudah berjuang untuk keluarga kecilmu."
Sabrina tersenyum lemah. "Ini semua untuk keluarga kita, Buk. Aku sangat bersyukur semuanya berjalan lancar."
Galen yang berada di sudut ruangan mengambil kesempatan untuk mengabadikan momen tersebut. "Ayo, kita foto bersama," serunya sambil mengeluarkan ponselnya.
Seluruh keluarga berkumpul di sekitar tempat tidur Sabrina. Razky berdiri di belakang Shofia, merangkul pundaknya. Gavin masih memegang bayi mereka, sementara Mora menggendong Nazeea yang duduk manis di samping Sabrina. Mereka semua tersenyum, dan Galen mengambil beberapa jepretan.
"Ini akan jadi kenangan indah," kata Galen sambil menunjukkan hasil fotonya pada yang lain. Mereka semua setuju, momen ini adalah awal dari babak baru dalam keluarga mereka.
Setelah beberapa saat bercengkerama dan berbagi cerita, keluarga perlahan pamit untuk memberikan waktu istirahat bagi Sabrina dan bayinya. Razky dan Shofia menjadi yang terakhir meninggalkan ruangan, memberikan kecupan lembut di kepala Sabrina dan berterima kasih sekali lagi.
"Jaga kesehatanmu, ya. Kami akan selalu ada untukmu dan bayi ini," pesan Shofia sebelum keluar.
"Terima kasih, Pak, Bu," ujar Sabrina dengan tulus. Setelah pintu tertutup, dia menatap bayinya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Gavin.
Momen ini menjadi bukti bahwa keluarga adalah sumber kekuatan dan kebahagiaan. Kehadiran anggota baru telah memperkuat ikatan di antara mereka, membawa harapan dan cinta yang tak terbatas.
***
Malam itu, rumah Sabrina dan Gavin terasa lebih hidup. Setelah tiga hari sejak kepulangan dari klinik, suasana rumah mulai kembali tenang, namun malam ini berbeda. Keluarga Rayan datang berkunjung, membawa keramaian dan keceriaan. Hira, Nenek Amina, Calla, dan Gretta datang membawa bingkisan dan kado kecil untuk Naira, bayi mungil yang menjadi pusat perhatian malam itu.
Sabrina menyambut mereka dengan hangat, didampingi oleh ibunya. "Masuk, masuk! Ayo, silakan duduk," ujarnya sambil mengarahkan ke ruang tamu yang sudah disiapkan.
Gretta langsung mendekati tempat tidur bayi di sudut ruangan. "Lucu sekali, adik Naira. Dia nggak tidur ya, Mbak?" tanya Gretta kepada Sabrina.
Sabrina tersenyum sambil menggendong Naira. "Iya, hari ini dia lagi ceria. Mungkin senang banyak yang datang menengok."
Calla menghampiri Sabrina dan bercanda, "Wah, adik Naira pinter banget, langsung tahu kalau banyak tamu mau datang, jadi nggak mau ketinggalan."
Gavin yang mendengar candaan itu tertawa kecil. "Pede banget ya Onty Calla," katanya sambil geleng-geleng kepala. "Pasti nanti Naira jadi bestie nih sama Onty Calla."
Calla menyipitkan mata ke arah Gavin. "Bagus dong! Biar nanti aku ajakin main odong-odong."
Semua orang di ruangan tertawa mendengar interaksi mereka. Calla dan Gavin memang sering terlibat dalam adu mulut kecil yang selalu berujung lucu. Nenek Amina yang duduk di sebelah Rayan dan Hira ikut tertawa. Dia merasa bahagia melihat suasana hangat ini.
"Naira ini mirip sekali sama Gavin waktu bayi," kata Nenek Amina sambil mengamati wajah bayi mungil itu. "Matanya yang bulat, hidungnya juga."
Hira menimpali, "Iya, benar, Buk. Tapi lihat, ada juga sedikit mirip Sabrina, terutama bibirnya."
"Iya, semoga nanti sifatnya juga mewarisi kebaikan ayahnya," Gavin menggoda Sabrina, membuat semua orang tertawa lagi.
"Ya, ampun, kamu ini. Ayahmu memang baik , Nak, tapi dulu nakalnya juga nggak tanggung-tangguh," Sabrina menimpali dengan tawa yang ditahan.
"Jangan ya dek, yaa..." sahut Gretta dengan nada khas-nya. Semua orang yang mendengarnya pun ikut tertawa.
Keluarga Sabrina, terutama ibunya, tampak sangat senang melihat betapa harmonisnya hubungan antara keluarga besannya. Ayah Sabrina bahkan ikut dalam percakapan, mengenang masa-masa ketika Gavin masih kecil. Mereka berbagi cerita dan canda, menciptakan suasana yang hangat dan penuh kasih sayang.
Gretta yang biasanya pendiam, ikut dalam keramaian. Dia menggoda Calla yang sempat hampir jatuh saat menimang Naira. "Kak Cal, lo dulu pas gue bayi pasti nggak pernah gendong gue ya?"
Calla mencibir. "Siapa bilang? Ini cuma licin aja," jawabnya, membuat yang lain tertawa.
Tak lama kemudian, hidangan malam pun disiapkan. Keluarga duduk bersama di ruang makan, menikmati hidangan sederhana namun penuh rasa kekeluargaan. Pembicaraan berlanjut dengan topik-topik ringan, sesekali terdengar gelak tawa atau celetukan lucu dari salah satu anggota keluarga.
Naira yang digendong Sabrina sesekali merengek kecil, namun segera tenang saat dibelai lembut oleh ibunya. Calla yang masih penasaran dengan bayi itu, mendekat dan berkata, "Naira, kamu jadi memang bintang utama malam ini, ya. Semua orang fokus ke kamu."
Gavin menimpali, "Ya iyalah, siapa yang bisa ngalahin pesona anak aku nih!"