Dulah terpojok di gang buntu. Di belakangnya dinding rumah; di depan para pengejarnya; di kanannya entah bangunan apa, dan di kirinya pagar yang cukup tinggi. Ia bisa melompatinya, tapi sepertinya tak ada lagi kesempatan baginya untuk melarikan diri. Ia sudah terkepung, dan tak tahu harus melakukan apa kecuali melawan sebisa-bisanya. Masuk rumah sakit ataupun kuburan sama-sama bukan pilihan.
Gegas, Dulah mengambil batu di bawah kakinya. Ada beberapa di sana, dan dipilihnya yang sebesar mangga dan berpermukaan kasar seperti kulit badak. Ia menggenggamnya kuat-kuat. Matanya melotot. Hidungnya mendengkus-dengkus. Rahangnya mengeras, membentuk bangun persegi.
“Berani mendekat, kupecahkan kepala kalian!”
Anak SMK bertampang lebih tua daripada umurnya itu tak mengubah ekspresinya yang sedingin es batu, bahkan lebih beku lagi. Rambutnya gondrong. Ada codet di pipinya. Ia terus memutar-mutar rantai yang ujungnya dipasangi gir sepeda motor itu. Namun, ia tak segera menyergap. Tampaknya ia ragu untuk memulai serangan.
“Kecoa yang satu ini kita matiin aja, Rock!” ucap yang berkaus oblong bergambar tengkorak dan bunga mawar.
“Bikin hancur mukanya!” sahut yang bertopi bertuliskan merek sebuah mobil dari Eropa.
Yang dipanggil Rock tak menyahut, terus memutar-mutar rantai mautnya; memperhitungkan segala kemungkinan. Yang berkaus dan yang bertopi berdiri berjajar di kanan-kirinya. Masing-masing memegang balok kayu sepanjang dua meter yang tadi mereka rampas dari toko mebel di dekat jembatan layang. Mulut mereka tak henti-henti memprovokasi, memanas-manasi.
Dulah terus memasang kuda-kuda; sedikit menekuk kaki kanannya. Matanya lekat memandangi gerak-gerik tiga orang di hadapannya.. Ia sudah mengambil keputusan; tak akan ragu menghantamkan batu di tangan kanannya itu kepada siapa saja yang berani mendekatinya. Asalkan tanpa senjata, ia masih sanggup menghadapi dua orang sekaligus. Namun, situasi saat ini berbeda. Apalagi lawannya yang bersenjatakan rantai bergerigi itu terlihat sangat bernafsu untuk menghabisinya.
Sesekali Dulah menggertak, maju selangkah sambil mengangkat tangan kanannya lalu mengayun-ayunkannya. Seketika ketiga anak SMK itu bergerak mundur sambil terus bersikap waspada. Lain kali Rock bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari kesempatan menghantamkan rantai bergeriginya. Pada saat yang sama dua temannya bergerak mengimbangi, dan terus berteriak riuh dan gaduh.
“Hancurkan, Rock! Hancurkan kepalanya! Bikin mampus!”
Di tengah-tengah suasana yang panas dan tegang itulah suara ribut tiba-tiba terdengar; teriakan dan derap langkah kaki pada jalan beton selebar dua meter. Asalnya dari mulut gang yang berjarak dua puluh lima meter dari calon tempat pembantaian itu.