Mirna mengusap air mata yang menggenang di kedua sudut matanya. Kulit muka perempuan berumur empat puluh lima tahun itu tampak merona merah di beberapa bagian. Rambutnya yang hitam tertutup kerudung putih. Sorot matanya yang lembut terlihat tak berdaya. Tangan kanannya meremas-remas tisu untuk meredakan kecemasannya. Tangan kirinya bertumpukan pada pahanya yang berbalutkan celana jin.
Sementara itu, Herman terus melirik-lirik ke arah sel tak jauh dari WC, sepuluh meter dari ruang kantor yang sempit dan pengap itu. Ukuran sel itu tak lebih luas daripada gardu ronda. Jendelanya berupa teralis besi seukuran jempol kaki. Pintu besinya tertutup rapat; gemboknya segede jam weker. Anaknya mungkin di dalamnya. Bisa jadi telah digunduli. Ditelanjangi. Muka bonyok. Bibir pecah. Gigi rompal.... Herman tak sanggup membayangkan lebih jauh lagi.
“Anak jangan terlalu dimanja! Bahaya! Kerja keras mencari duit boleh saja. Tapi anak tetap harus diperhatikan! Dinomorsatukan! Dididik sebaik-baiknya!” polisi gendut itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi, tersenyum. “Kalau tadi terjadi apa-apa pada anak Bapak-Ibu, bagaimana?”
Herman tak menyahut. Baju kotak-kotak yang dikenakannya terasa sesak. Tubuh laki-laki setengah baya itu terlihat lasak; terus bergerak. Berkali-kali ia menggeser-geserkan kakinya yang berbalutkan sepatu kulit mengkilat ke lantai keramik putih kualitas murahan. Lagi-lagi ia menoleh ke arah sel, kembali mencari-cari, tapi matanya gagal menemukan yang dicari, kecuali bayangan-bayangan buruk yang terus melintas di pikirannya.
“Harapan bangsa berada di pundak para pemuda. Mereka calon pemimpin di masa depan,” polisi yang murah senyum itu meneruskan ceramahnya. “Kalau hari-harinya hanya diisi tawuran, mau dibawa ke mana bangsa ini nantinya?”
Mirna yang sejak semula hanya menunduk tiba-tiba menegakkan punggung. Sesaat kemudian ia menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu melebarkan bibirnya yang tersaput gincu warna merah muda, dan matanya masih berkaca-kaca.
“Tapi anak kami boleh kami bawa pulang, kan, Pak Polisi?” katanya.
“Tentu saja boleh,” polisi gendut dan berkumis itu tersenyum tipis, tetap menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, ”tapi tidak sekarang.”
“Tapi--“
“Biar merasakan tidur di dalam sel barang sehari! Siapa tahu kapok,” sahut si polisi, lalu kembali tersenyum tipis.
Seketika Mirna mengatupkan sepasang bibirnya yang mungil. Matanya makin berkaca-kaca. Ia mencoba menahan tangis, tapi justru membuat dadanya sesak; napas tersengal-sengal. Untuk menenangkan istrinya, Herman menepuk-nepuk pundak Mirna. Seolah-olah belum cukup, Herman juga mengelus-ngelus lengan sang istri yang berbalutkan kaos berbahan satin itu.
“Tapi kami boleh melihat keadaannya barang sebentar, kan, Pak Polisi?” desak Mirna, kembali memandang polisi di hadapannya; penuh harap.
“Boleh saja,” sahut si polisi, lalu kembali tersenyum, “tapi tidak sekarang. Anaknya baik-baik saja, kok! Ee..., siapa tadi namanya?”
“Abdullah, Abdulah Arsyad,” sahut Marni cepat-cepat.
“Dulah tidak apa-apa. Jangan khawatir!” si polisi lagi-lagi tersenyum. “Di dalam sel, temannya banyak!”
***
Sebuah mobil SUV warna merah marun meninggalkan Kantor Polisi Sektor Gambir, melaju tenang di samping Patung Kuda, lalu lurus ke arah Cempaka Putih. Dullah duduk di kursi tengah, masih berseragam putih-abu-abu. Tas ransel warna biru berisi beberapa biji buku tergeletak di sampingnya, di atas jok warna krem. Kulit muka Dulah bentol-bentol. Bahkan, di beberapa bagian tampak lecet; bekas garukan. Sang mama duduk di depan; tak banyak bicara. Matanya terlihat sembab. Sepertinya habis menangis lagi. Sementara itu sang papa yang berpenampilan tenang terus berkonsentrasi pada lalu lintas yang sedang ramai.
Sebelumnya, setengah jam lalu, Dulah dan dua puluh pelaku tawuran yang tertangkap disuruh menghormat bendera merah-putih yang berkibar gagah di halaman kantor polisi; tiga menit lamanya. Setelah itu, para pelajar yang lagi sial itu disuruh menyanyikan Indonesia Raya; selantang-lantangnya. Selanjutnya mereka disuruh push up seratus kali, menandatangani surat pernyataan tidak bakal mengulangi perbuatan mereka, lalu dipersilakan pulang.
“Tidur di dalam sel, enak?” Herman memecah kesunyian, melirik rear-vision mirror,.
spion yang menempel di plafon mobil di sebelah kiri atas kemudi.
“Nggak enak,” sahut Dulah, “lantainya dingin. Nyamuknya banyak. Satu batalyon!”
“Memangnya tidak ada kasur? Tidak diberi selimut? Tidak ada kelambu?” tanya Mirna.
“Memangnya hotel?” Dulah balik bertanya. “Mama ini ada-ada saja.”